11:32 PM -
No comments
No comments
Happiness is you...
Happiness
is when you are not afraid to lose
Happiness
is when I see you smile because of me
Happiness
is you…
Pasir pantai terlalu dingin untuk
ditapaki oleh telapak kaki yang tak beralas. Waktu sudah menunjukkan pukul
sebelas malam. Hingar bingar pesta pernikahan Rasya sudah usai sedari satu jam
yang lalu. Kini tinggal Raina yang masih dengan kebaya pestanya berjalan
sendiri di tepian pantai The Bay Bali. Ia mengasingkan diri di antara manusia –
manusia lain yang menikmati suasana The Bay Bali malam hari. Dijinjingnya heels yang tadi dikenakannya saat pesta
pernikahan Rasya, sahabatnya. Dibiarkannya kakinya telanjang dan merasakan
dinginnya pasir pantai malam. Sesekali dipejamkan matanya agar ia dapat betul –
betul merasakan angin pantai di malam hari. Sudah lama sekali rasanya ia tak
merasakan pantai di malam hari. Entah berapa tahun sudah ia merindukan suasana
yang begitu menyegarkan ini. Di langit bintang sedang mengadakan pestanya
sendiri. Dengan ceria mereka terus berdansa dan berkerlipan di langit malam.
Sementara rembulan sabit dengan anggunnya seperti Ratu di antara para bintang.
Terbesit sesuatu di fikiran Raina ketika melihat anggunnya bulan pada malam ini.
Sesuatu yang membuat dadanya terasa semakin sesak.
***
Raina lalu memilih untuk duduk di
pasir pantai, walau banyak kursi yang kosong yang khusus disediakan bagi para
pengunjung. Ia tak lagi peduli seberapa mahal kebaya yang sedang digunakannya.
Ia hanya ingin menikmati pantai pada malam hari yang entah kapan lagi dapat
dinikmatinya. Senyum lalu mengembang di bibir tipis Raina setelah sehela nafas
panjang dan dalam. Di tatapnya lagi langit yang begitu indah malam ini. Dinginnya
pasir pantai tak mengganggu Raina. Ia hanya ingin bersama pantai.
Waktu seakan berjalan begitu
cepat jika diingat – ingat kembali. Namun, terlalu lama jika sedang dijalani
dan dirasakan. Ingatan Raina kebali lagi ke masa lalunya. Kembali kepada masa
sebelum semua keputusan diambilnya. Sebelum kesepian menghinggapi hatinya
begitu lama. Sebelum ia merasa kehilangan pantainya dan kembali ke samudera
yang begitu luas tak terkira. Kembali kepada Jendra. Sahabat hatinya. Lelaki
yang telah mengisi dan akhirnya mengosongkan lagi relung hati Raina. Sebutir
air mata menetes ke pipinya. Hangatnya air mata itu menggelitik hati Raina
kembali. Bagaimana ia belum dapat melupakan sosok Jendra. Bahkan saat ia sudah
berada jauh dari pulau Jawa. Jendra seperti mengikutinya tanpa lelah. Selalu
hadir dalam renungan – renungan Raina. Jendra seperti udara yang tak pernah
terpisah dari Raina.
Masih jelas betul dalam ingatan
Raina saat terakhir ia bertemu dengan Jendra. Saat Raina memutuskan untuk pergi
dari kehidupan Jendra selamanya. Keputusan yang kini masih saja disesalinya.
Keputusan yang membuat ia kembali merasakan samudera kehampaan lagi. Tidak
mudah untuk pergi dari Jendra. Karena semua keseharian Raina sudah terbiasa
dengan Jendra. Ini semua seperti kutukan yang ditimpakan Jendra kepada Raina.
“Kamu bisa mengelabuhi kilometer
demi kilometer untuk pergi dari aku. Tapi kamu tidak akan pernah bisa
mengelabuhi kenangan,,” kata – kata Jendra yang terakhir masih saja terngiang
di telinga Raina seperti baru lima menit lalu didengarnya.
***
Ini bukan kali pertama Raina
mengikuti kebaktian Minggu di gereja tempat Jendra biasa beribadah. Walaupun
semua terasa asing dan aneh bagi Raina, tapi tetap saja Raina sumringah. Bukan
karena kata – kata teduh dari sang pendeta ataupun doa – doa syahdu yang
dilantunkan para jemaat. Tapi karena sosok lelaki di sampingnya yang sedang
khusyuk beribadah. Begitu khusyuk dalam menyanyikan pujian – pujian. Lelaki
yang akan sangat berbeda ketika ia dapati di luar gereja. Salvatorio Jendra
Adhitiya.
Tapi pada kebaktian kali ini,
Raina menaruh perhatian begitu besar pada sang pendeta yang tengah menyampaikan
kutbahnya. Kutbah yang bercerita tentang kisah cinta beda agama. Kontan saja
kutbah kali itu membuat Raina dan Jendra tercekat. Keduanya dia seribu bahasa.
Ada ketegangan dan keharuan di antara mereka. Hanya saling pandang yang mereka
dapat lakukan. Dalam pandangan itu ada hal – hal yang tak sanggup diterjemahkan
dengan kata – kata. Hati keduanya terasa sama kelunya. Ada hasrat untuk
menentang kata – kata dari sang pendeta. Pada kutbahnya kali itu Pendeta
menyampaikan kutbah mengenai cinta yang berbeda agama. Dan kutipan salah satu
ayat injil membuat keduanya, terlebih Jendra seperti kehilangan kekuatan. Senyum
yang sedari tadi merekah di bibir keduanya perlahan pudar seiring kutbah Sang
Pendeta yang bergema di seluruh penjuru ruangan.
“Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat
antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan
orang-orang tak percaya?”
***
Semakin waktu beranjak, angin
pantai terasa semakin dingin. Tapi bagi Raina, angin itu seolah menyegarkan
hati dan fikirannya. Dipejamkannya kedua matanya untuk lebih merasakan belaian
angin malam pada dirinya. Sekujur tubuhnya menyambut terbuka belaian angin
malam yang bisa saja membuatnya masuk angin.
Sudah lebih dari dua tahun Raina
mencoba mencari keyakinan akan hatinya. Mencoba merenungi dan mencari jawaban
dari segala keraguannya. Tapi semuanya masih saja abu – abu. Tak ada satu
petunjuk pun untuk hatinya. Hatinya masih saja belum dapat menyudahi semua
perasaannya kepada Jendra. Mungkin karena Jendra tak pernah menuntut apapun
dari Raina, kecuali untuk tetap membiarkannya mencintai Raina. Seperti kata
Jendra, Raina tak akan pernah dapat mengelabuhi kenangan. Sejauh apapun ia
berusaha berlari. Sedalam apapun ia berusaha mengubur.
***
Raina kembali ke tepian pantai di
kala senja mulai menapakkan dirinya. Ketika matahari akan kembali keperaduannya
dan berganti dengan bulan nantinya. Liburan kali ini, selain untuk menghadiri
pernikahan Raisya, benar – benar dimanfaatkan Raina untuk menikmati pantai. Sudah
dua tahun ini ia tinggal di Bali, namun jarang sekali ia dapat menikmati pantai
sesantai dan semenyenangkan ini, apalagi menikmati pantai di The Bay Bali. Jika
bukan karena janji Rasya di masa lalu, yang akan mengajak Raina merasakan
tempat dimana nantinya pertama kali ia akan berbulan madu, belum tentu Raina
berada di sini.
Pantai yang bersih dan biru
membuat keindahannya tak pernah habis kapan pun untuk dinikmati. Tak hanya itu,
kursi – kursi yang disediakan untuk berjemur atau sekedar duduk santai di
tepian pantai membuat suasana santai dan nyaman bagi para pengunjungnya. Tak heran
jika Rasya dan Damar memilih The Bay Bali sebagai tempat pernikahan dan bulan
madu mereka.
Kali ini Raina tak lagi hanya
asyik dengan dirinya sendiri. Ia memilih berbagi kebahagiaan dengan kameranya
yang sudah lama tak digunakannya. Ia sengaja hunting foto di saat sunset. Tak hanya itu, Rasya dan Damar, suami
Rasya pun ikut bersama Raina. Walaupun baru saja menikah, tak membuat Rasya dan
Damar canggung untuk menikmati senja bersama sahabat mereka. Canda dan tawa pun
mewarnai senja mereka kala itu. Tak Nampak kesan Rasya dan Damar yang tengah
dalam masa bulan madu. Mereka justru Nampak seperti tiga sahabat yang tengah
menghabiskan waktu bersama.
“Udah lama banget ya kita nggak
sesantai ini, di pinggiran pantai, sunset, di The Bay Bali lagi! Asyik banget
tempatnya!” seru Rasya yang tak pernah kehilangan senyumnya sejak kemarin.
“Iya, apalagi sejak Raina pindah
ke Bali kita kan hampir nggak pernah ketemu,” sambung Damar yang juga asyik
dengan kameranya. “Lo juga, Rai, betah banget di daerah orang. Nggak niat
pulang lo?”
“Gimana niat pulang sih, babe, kalo di sini aja bagus kayak gini.
Aku juga pengennya nggak pulang – pulang,” kata Rasya yang sedari tadi hanya
duduk memandang pantai dan langit yang mulai senja. Hanya Rasya yang benar –
benar ingin berinteraksi dengan senja sepenuhnya tanpa lensa kamera. Tawa pun
pecah di antara ketiganya. Sudah lama mereka bertiga tidak tertawa seriang ini,
semenjak Raina pindah ke Bali.
Damar dan Rasya hanya dapat
saling bertukar pandang. Mereka paham, bahwa yang dimaksud Raina adalah Jendra.
Jendra adalah alasan mengapa Raina memilih untuk pindah ke Bali. Mereka berdua
tahu, betapa sedihnya Raina saat memutuskan untuk pindah ke Bali. Perbedaan keyakinan
antara Raina dan Jendra membuat Raina gamang terhadap cintanya pada Jendra. Di satu
sisi ia begitu mencintai Jendra dan ingin hidup bersama Jendra. Tapi di sisi
lain, ia tak ingin mengkhianati Tuhannya. Baginya seorang suami adalah seorang
imam dalam hidupnya. Seorang yang nantinya akan menjadi pemimpin bagi kehidupan
duniawi dan juga bagi keyakinannya. Tapi dengan keadaan yang terjadi di antara
Raina dan Jendra, jangankan untuk membayangkan Jendra menjadi imam dalam setiap
solat Raina, membayangkan Jendra akan menikahinya dengan cara islam pun tak
mampu dilakukan Raina.
“Rai, sampai kapan lo mau kayak
gini?” Rasya menepuk bahu Raina yang tengah asyik membidikkan kaemeranya pada
matahari yang perlahan mulai lengser. “Ini namanya lo menyiksa diri lo sendiri.
Lo harus bisa tentuin sikap, Rai. Lo terima Jendra. Atau lo lupain Jendra.”
“You are a decision maker for your own happiness, Rai,” lanjut Rasya
sambil tersenyum lalu memeluk Raina. “Happiness
is when you are not afraid to lose.”
Raina menghela nafas panjang dan
menutup matanya sesaat. Benar apa yang dikatakan Rasya. Hanya ada dua pilihan
di hadapannya. Menerima Jendra dengan segala yang ada di antara mereka saat
ini. Atau melupakan Jendra selamanya. Seketika tangis Raina pecah. Ia sadar
selama ini ia hanya menyiksa dirinya sendiri dengan segala kebingungannya,
dengan segala ketidak tegasannya pada hatinya sendiri. Ia sendiri yang
menjauhkan kapalnya dari pantai dan mengendarainya menuju samudera kesepian
yang begitu luas. Sejauh apapun ia berlari dan sedalam apapun ia mencoba mengubur.
Ia tak dapat mengelabuhi kenangan.
“Manusia hidup selalu bersama
kenangannya, Rai, sekalipun Jendra harus Cuma jadi kenangan buat lo, dia pasti
akan jadi kenangan yang baik,” Rasya mengusap air mata pada wajah sahabatnya.
“Dan kalaupun Jendra adalah masa
depan buat lo, pasti dia sudah yang terbaik ditakdirkan Tuhan buat lo,” sambung
Damar sambil menepuk bahu Raina dan memberikan seulas senyu pada Raina.
“Ya ampun, babe, mataharinya udah tinggal separuh aja!” seru Raina memecah
keharuan di antara mereka bertiga. “Semburat orange-nya pecaahhhh bangettt!”.
“Jendra, kalau sekali aja aku
bisa ketemu kamu di sini, mungkin kamu nggak hanya kenangan,” kata Raina dalam
hati ketika menyaksikan semburat jingga yang seolah menyebar ke seluruh langit.
***
Destiny
is a big surprise from life.
Siapa yang dapat menebak apa yang akan dihadirkan oleh takdir bagi kita? Tak ada
satu pun yang dapat menjawabnya dengan pasti. Lagi – lagi hidup memberikan
kejutan pada Raina. Setelah sekian lama hidup membiarkannya menyiksa dirinya
sendiri dengan segala kebingungannya yang tak juga meneukan ujung. Tepat saat
Raina, Rasya, dan Damar melintasi kolam renang ketika mereka ingin kembali ke
kamar mereka masing – masing, sosok seorang Jendra tiba – tiba muncul tepat di
hadapan mereka. Kontan keempatnya terperangah dan larut dalam keheningan yang
cukup lama. Siapa yang menyangka mereka akan bertemu di tepat ini. Setelah lebih
dari duatahun ini lah kali pertama Raina kembali bertemu dengan lelaki yang
dulu pernah ditemaninya ke gereja. Saverio Jendra Adhitiya.
“For God’s Sake! Jendra ?! Kita jodoh banget ya sampe di sini aja
ketemu lagi sama lo,” Rasya kemudian mencoba memecah keheningan. Tatapannya bergantian
menatap kepada Jendra dan Raina. Keduanya saling bertatapan seperti tak percaya
dengan apa yang ada di hadapannya. Rasya lalu menyenggol lengan Damar ketika
suaranya tak mampu mengalihkan perhatian antara Jendra dan Raina.
“Hay, Ndra! Apa kabar lo?” Damar
lalu menepuk bahu Jendra yang semakin bidang itu. Jika dilihat dari posturnya
Jendra pasti semakin rajin melakukan fitness. Mungkin itu juga menjadi salah
satu pelampiasannya setelah kepergian Raina.
“Hay, gue baik – baik aja kok. Kalian
apa kabar? Gue denger – denger kalian mau married
ya?” Jendra yang akhirnya tersadar dan perhatiannya beralih pada Damar.
“Barusan aja kemarin kita married di sini. Lo sih tau – tau hilang contact. Kita bingung deh gimana
mau ngundang lo,” jawab Rasya dengan suara yang dibuat seceria mungkin agar
Raina tak kembali merasakan kesedihannya. Ia tahu betul bagaiamana campur
aduknya perasaan Raina saat ini.
“Wow, selamat ya, I’m so happy for you two,” segaris senyum
di wajah Jendra membuat Raina tak sadar ikut tersenyum. Senyum yang begitu
dirindukan Raina selama dua tahun lebih kini benar – benar ada di hadapannya.
“Anyway, karena kita udah sama – sama di sini gimana kalo kita dinner bareng di Bumbu Nusantara. Reunion
gitu. Gue jamin rame tempatnya!” masih dengan suaranya yang seceria mungkin
Rasya mulai mencoba mengakrabkan kembali hubungan Raina dan Jendra. “Sekalian
kita recharge night”.
***
Ini adalah kali pertama Raina
duduk satu meja makan dengan Jendra setelah dua tahun lebih. Aura kecanggungan
terlihat di antara mereka berdua. Percakapan di antara mereka hanya sekedar
menanyakan kabar masing – masing dan hanya dijawab “baik” oleh masing – masing keduanya.
Jendra sendiri lebih banyak mengobrol bersama Damar, mungkin karena mereka sama
– sama lelaki dan lama mereka tidak berjumpa.
Rasya emang hampir tak pernah
salah dalam memilih tempat untuk makan atau sekedar kongkow. Pilihannya kali ini benar – benar tepat. Tempat makan yang
tepat berada di pinggir pantai dengan suasana alam yang segar dan nyaman, serta
menu makanan khas nusantara. Rasya betul – betul tahu bahwa, Raina menyukai
suasana di pinggir pantai seperti ini. Rasya berharap di tempat ini Raina dapat
merasa lebih nyaman dan rileks, walaupun kecanggungan nampak jelas di wajah
Raina dan Jendra. Namun sebisa mungkin Rasya dan Damar mencoba mencairkan
ketegangan di antara Raina dan Jendra, sehingga tawa pun perlahan mulai pecah
di antara mereka. Tak hanya itu, Rasya dan Damar juga berusaha mencairkan
kecanggungan antara Raina dan Jendra dengan mengajak mereka ikut dalam acara Recharge Night.
“Lama ya kita nggak di pantai
bareng,” Jendra menghampiri Raina saat acara Recharge Night yang sedari tadi menatap ombak – ombak kecil yang
menghampiri pantai lalu kembali lagi ke lautan. Hanya segaris senyum yang
kemudian membalas Jendra.
“Akhirnya jadi juga ngikut Rasya honeymoon?” Tawa kecil kemudian pecah di antara mereka.
“Iya,” jawab Raina. Raina selalu
tertawa jika mengingat perjanjian lamanya dengan Rasya. Jika salah satu dari
mereka berbulan madu maka, yang lain juga harus ikut ke tempat bulan madu. “Konyol
ya.”
“Jadi kapan mau ajak Rasya ngikut
bulan madu?” pertanyaan Jendra menghentikan tawa Raina. Ada rasa tak enak saat
mendengar pertanyaan itu. Seperti ada kupu –kupu yang berputar – putar seenaknya
di perut Raina. Seakan tak ada lagi kata – kata untuk menjawab.
“My happiness is when I see you smile. Never change,” kata – kata Jendra seperti ombak yang menghantam
tubuh Raina dan melemparnya jauh ke tengah lautan lalu berputar – putar dengan
pusara ombak di tengah lautan sana. “Kita nggak akan mendapatkan jawaban dari
semua kebingungan kita ini. Kita yang harus menjawabnya. Sampai kapan kita mau
menyiksa diri kita masing-masing?”
Air mata perlahan menetes di pipi
Raina. Semua kerinduan dan kebingungannya selama ini kian melebur menjadi satu.
Semuanya seakan sampai pada titik puncaknya saat ini. Saat kembali di hadapan
Jendra. Raina tak sanggup membayangkan jika benar – benar harus melepaskan
Jendra. Hatinya seakan tak pernah sanggup. Namun, ia juga tak tahu bagaimana
caranya agar dapat bersama dengan Jendra.
“Mungkin yang kita butuhkan
adalah waktu, karena kita nggak
pernah tahu seperti apa masa depan nantinya,” sekuat tenaga Raina mencoba
mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Ia tahu bahwa dengan pergi begitu saja
dari Jendra bukan lah suatu penyelesaian. “Kamu masih sanggup untuk memberi waktu
kesempatan untuk menjawab semuanya? Sekalipun itu akan menjadi perjalanan yang
begitu panjang?”
“Kalau aku tahu bahwa,
kebahagiaanku adalah bersama kamu. Maka, aku akan sanggup untuk memberi seberapa
lama pun waktu siap untuk menjawab,” Jendra meraih tangan Raina yang masih sama
lembutnya seperti terakhir kali ia menggenggamnya erat. Tangan yang selalu
mengacak – acak rambutnya ketika mereka tengah bercanda. Tangan wanita yang
mampu membuatnya tersenyum dan menangis di saat bersamaan. Tangan bidadari yang
diturunkan Tuhan dari surga-Nya.
Kini Raina merasa kapalnya mulai
meninggalkan samudera yang begitu luas. Kapalnya mulai kembali ke pantainya yang
telah lama ditinggalkannya. Pantai yang membuat ia begitu bahagia hanya dengan
menghirup udaranya saja. Inilah kebahagiaannya. Happiness is you, katanya dalam hati.
“Jika Tuhan menghendaki kita
untuk saling jatuh cinta maka, ada kehendak baik pula setelah itu. Meskipun kita
belum tahu saat ini,” air mata kesedihan Raina kini berganti dengan air mata
kebahagiaan. Meskipun ia tahu bahwa, ini bukan lah ujung dari semua
penggembaraan mereka.
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with www.thebaybali.com & Get discovered!

