Wednesday, April 16, 2014

11:32 PM - No comments

Happiness is you...


Happiness is when you are not afraid to lose
Happiness is when I see you smile because of me
Happiness is you…

Pasir pantai terlalu dingin untuk ditapaki oleh telapak kaki yang tak beralas. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hingar bingar pesta pernikahan Rasya sudah usai sedari satu jam yang lalu. Kini tinggal Raina yang masih dengan kebaya pestanya berjalan sendiri di tepian pantai The Bay Bali. Ia mengasingkan diri di antara manusia – manusia lain yang menikmati suasana The Bay Bali malam hari. Dijinjingnya heels yang tadi dikenakannya saat pesta pernikahan Rasya, sahabatnya. Dibiarkannya kakinya telanjang dan merasakan dinginnya pasir pantai malam. Sesekali dipejamkan matanya agar ia dapat betul – betul merasakan angin pantai di malam hari. Sudah lama sekali rasanya ia tak merasakan pantai di malam hari. Entah berapa tahun sudah ia merindukan suasana yang begitu menyegarkan ini. Di langit bintang sedang mengadakan pestanya sendiri. Dengan ceria mereka terus berdansa dan berkerlipan di langit malam. Sementara rembulan sabit dengan anggunnya seperti Ratu di antara para bintang. Terbesit sesuatu di fikiran Raina ketika melihat anggunnya bulan pada malam ini. Sesuatu yang membuat dadanya terasa semakin sesak.
***
Raina lalu memilih untuk duduk di pasir pantai, walau banyak kursi yang kosong yang khusus disediakan bagi para pengunjung. Ia tak lagi peduli seberapa mahal kebaya yang sedang digunakannya. Ia hanya ingin menikmati pantai pada malam hari yang entah kapan lagi dapat dinikmatinya. Senyum lalu mengembang di bibir tipis Raina setelah sehela nafas panjang dan dalam. Di tatapnya lagi langit yang begitu indah malam ini. Dinginnya pasir pantai tak mengganggu Raina. Ia hanya ingin bersama pantai.

Waktu seakan berjalan begitu cepat jika diingat – ingat kembali. Namun, terlalu lama jika sedang dijalani dan dirasakan. Ingatan Raina kebali lagi ke masa lalunya. Kembali kepada masa sebelum semua keputusan diambilnya. Sebelum kesepian menghinggapi hatinya begitu lama. Sebelum ia merasa kehilangan pantainya dan kembali ke samudera yang begitu luas tak terkira. Kembali kepada Jendra. Sahabat hatinya. Lelaki yang telah mengisi dan akhirnya mengosongkan lagi relung hati Raina. Sebutir air mata menetes ke pipinya. Hangatnya air mata itu menggelitik hati Raina kembali. Bagaimana ia belum dapat melupakan sosok Jendra. Bahkan saat ia sudah berada jauh dari pulau Jawa. Jendra seperti mengikutinya tanpa lelah. Selalu hadir dalam renungan – renungan Raina. Jendra seperti udara yang tak pernah terpisah dari Raina.

Masih jelas betul dalam ingatan Raina saat terakhir ia bertemu dengan Jendra. Saat Raina memutuskan untuk pergi dari kehidupan Jendra selamanya. Keputusan yang kini masih saja disesalinya. Keputusan yang membuat ia kembali merasakan samudera kehampaan lagi. Tidak mudah untuk pergi dari Jendra. Karena semua keseharian Raina sudah terbiasa dengan Jendra. Ini semua seperti kutukan yang ditimpakan Jendra kepada Raina.

“Kamu bisa mengelabuhi kilometer demi kilometer untuk pergi dari aku. Tapi kamu tidak akan pernah bisa mengelabuhi kenangan,,” kata – kata Jendra yang terakhir masih saja terngiang di telinga Raina seperti baru lima menit lalu didengarnya.
***
Ini bukan kali pertama Raina mengikuti kebaktian Minggu di gereja tempat Jendra biasa beribadah. Walaupun semua terasa asing dan aneh bagi Raina, tapi tetap saja Raina sumringah. Bukan karena kata – kata teduh dari sang pendeta ataupun doa – doa syahdu yang dilantunkan para jemaat. Tapi karena sosok lelaki di sampingnya yang sedang khusyuk beribadah. Begitu khusyuk dalam menyanyikan pujian – pujian. Lelaki yang akan sangat berbeda ketika ia dapati di luar gereja. Salvatorio Jendra Adhitiya.

Tapi pada kebaktian kali ini, Raina menaruh perhatian begitu besar pada sang pendeta yang tengah menyampaikan kutbahnya. Kutbah yang bercerita tentang kisah cinta beda agama. Kontan saja kutbah kali itu membuat Raina dan Jendra tercekat. Keduanya dia seribu bahasa. Ada ketegangan dan keharuan di antara mereka. Hanya saling pandang yang mereka dapat lakukan. Dalam pandangan itu ada hal – hal yang tak sanggup diterjemahkan dengan kata – kata. Hati keduanya terasa sama kelunya. Ada hasrat untuk menentang kata – kata dari sang pendeta. Pada kutbahnya kali itu Pendeta menyampaikan kutbah mengenai cinta yang berbeda agama. Dan kutipan salah satu ayat injil membuat keduanya, terlebih Jendra seperti kehilangan kekuatan. Senyum yang sedari tadi merekah di bibir keduanya perlahan pudar seiring kutbah Sang Pendeta yang bergema di seluruh penjuru ruangan.   

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?”

***
Semakin waktu beranjak, angin pantai terasa semakin dingin. Tapi bagi Raina, angin itu seolah menyegarkan hati dan fikirannya. Dipejamkannya kedua matanya untuk lebih merasakan belaian angin malam pada dirinya. Sekujur tubuhnya menyambut terbuka belaian angin malam yang bisa saja membuatnya masuk angin.

Sudah lebih dari dua tahun Raina mencoba mencari keyakinan akan hatinya. Mencoba merenungi dan mencari jawaban dari segala keraguannya. Tapi semuanya masih saja abu – abu. Tak ada satu petunjuk pun untuk hatinya. Hatinya masih saja belum dapat menyudahi semua perasaannya kepada Jendra. Mungkin karena Jendra tak pernah menuntut apapun dari Raina, kecuali untuk tetap membiarkannya mencintai Raina. Seperti kata Jendra, Raina tak akan pernah dapat mengelabuhi kenangan. Sejauh apapun ia berusaha berlari. Sedalam apapun ia berusaha mengubur.

***
Raina kembali ke tepian pantai di kala senja mulai menapakkan dirinya. Ketika matahari akan kembali keperaduannya dan berganti dengan bulan nantinya. Liburan kali ini, selain untuk menghadiri pernikahan Raisya, benar – benar dimanfaatkan Raina untuk menikmati pantai. Sudah dua tahun ini ia tinggal di Bali, namun jarang sekali ia dapat menikmati pantai sesantai dan semenyenangkan ini, apalagi menikmati pantai di The Bay Bali. Jika bukan karena janji Rasya di masa lalu, yang akan mengajak Raina merasakan tempat dimana nantinya pertama kali ia akan berbulan madu, belum tentu Raina berada di sini.

Pantai yang bersih dan biru membuat keindahannya tak pernah habis kapan pun untuk dinikmati. Tak hanya itu, kursi – kursi yang disediakan untuk berjemur atau sekedar duduk santai di tepian pantai membuat suasana santai dan nyaman bagi para pengunjungnya. Tak heran jika Rasya dan Damar memilih The Bay Bali sebagai tempat pernikahan dan bulan madu mereka.

Kali ini Raina tak lagi hanya asyik dengan dirinya sendiri. Ia memilih berbagi kebahagiaan dengan kameranya yang sudah lama tak digunakannya. Ia sengaja hunting foto di saat sunset. Tak hanya itu, Rasya dan Damar, suami Rasya pun ikut bersama Raina. Walaupun baru saja menikah, tak membuat Rasya dan Damar canggung untuk menikmati senja bersama sahabat mereka. Canda dan tawa pun mewarnai senja mereka kala itu. Tak Nampak kesan Rasya dan Damar yang tengah dalam masa bulan madu. Mereka justru Nampak seperti tiga sahabat yang tengah menghabiskan waktu bersama.

“Udah lama banget ya kita nggak sesantai ini, di pinggiran pantai, sunset, di The Bay Bali lagi! Asyik banget tempatnya!” seru Rasya yang tak pernah kehilangan senyumnya sejak kemarin.

“Iya, apalagi sejak Raina pindah ke Bali kita kan hampir nggak pernah ketemu,” sambung Damar yang juga asyik dengan kameranya. “Lo juga, Rai, betah banget di daerah orang. Nggak niat pulang lo?”

“Gimana niat pulang sih, babe, kalo di sini aja bagus kayak gini. Aku juga pengennya nggak pulang – pulang,” kata Rasya yang sedari tadi hanya duduk memandang pantai dan langit yang mulai senja. Hanya Rasya yang benar – benar ingin berinteraksi dengan senja sepenuhnya tanpa lensa kamera. Tawa pun pecah di antara ketiganya. Sudah lama mereka bertiga tidak tertawa seriang ini, semenjak Raina pindah ke Bali. 

“Ntar gue jugabalik, kalo hati gue udah lebih stabil. Masih belum sanggup gue kalo satu kota sama dia,” kata Raina kemudian.

Damar dan Rasya hanya dapat saling bertukar pandang. Mereka paham, bahwa yang dimaksud Raina adalah Jendra. Jendra adalah alasan mengapa Raina memilih untuk pindah ke Bali. Mereka berdua tahu, betapa sedihnya Raina saat memutuskan untuk pindah ke Bali. Perbedaan keyakinan antara Raina dan Jendra membuat Raina gamang terhadap cintanya pada Jendra. Di satu sisi ia begitu mencintai Jendra dan ingin hidup bersama Jendra. Tapi di sisi lain, ia tak ingin mengkhianati Tuhannya. Baginya seorang suami adalah seorang imam dalam hidupnya. Seorang yang nantinya akan menjadi pemimpin bagi kehidupan duniawi dan juga bagi keyakinannya. Tapi dengan keadaan yang terjadi di antara Raina dan Jendra, jangankan untuk membayangkan Jendra menjadi imam dalam setiap solat Raina, membayangkan Jendra akan menikahinya dengan cara islam pun tak mampu dilakukan Raina.

“Rai, sampai kapan lo mau kayak gini?” Rasya menepuk bahu Raina yang tengah asyik membidikkan kaemeranya pada matahari yang perlahan mulai lengser. “Ini namanya lo menyiksa diri lo sendiri. Lo harus bisa tentuin sikap, Rai. Lo terima Jendra. Atau lo lupain Jendra.”

You are a decision maker for your own happiness, Rai,” lanjut Rasya sambil tersenyum lalu memeluk Raina. “Happiness is when you are not afraid to lose.”

Raina menghela nafas panjang dan menutup matanya sesaat. Benar apa yang dikatakan Rasya. Hanya ada dua pilihan di hadapannya. Menerima Jendra dengan segala yang ada di antara mereka saat ini. Atau melupakan Jendra selamanya. Seketika tangis Raina pecah. Ia sadar selama ini ia hanya menyiksa dirinya sendiri dengan segala kebingungannya, dengan segala ketidak tegasannya pada hatinya sendiri. Ia sendiri yang menjauhkan kapalnya dari pantai dan mengendarainya menuju samudera kesepian yang begitu luas. Sejauh apapun ia berlari dan sedalam apapun ia mencoba mengubur. Ia tak dapat mengelabuhi kenangan.
“Manusia hidup selalu bersama kenangannya, Rai, sekalipun Jendra harus Cuma jadi kenangan buat lo, dia pasti akan jadi kenangan yang baik,” Rasya mengusap air mata pada wajah sahabatnya.

“Dan kalaupun Jendra adalah masa depan buat lo, pasti dia sudah yang terbaik ditakdirkan Tuhan buat lo,” sambung Damar sambil menepuk bahu Raina dan memberikan seulas senyu pada Raina.

“Ya ampun, babe, mataharinya udah tinggal separuh aja!” seru Raina memecah keharuan di antara mereka bertiga. “Semburat orange-nya pecaahhhh bangettt!”.

“Jendra, kalau sekali aja aku bisa ketemu kamu di sini, mungkin kamu nggak hanya kenangan,” kata Raina dalam hati ketika menyaksikan semburat jingga yang seolah menyebar ke seluruh langit.

***
Destiny is a big surprise from life. Siapa yang dapat menebak apa yang akan dihadirkan oleh takdir bagi kita? Tak ada satu pun yang dapat menjawabnya dengan pasti. Lagi – lagi hidup memberikan kejutan pada Raina. Setelah sekian lama hidup membiarkannya menyiksa dirinya sendiri dengan segala kebingungannya yang tak juga meneukan ujung. Tepat saat Raina, Rasya, dan Damar melintasi kolam renang ketika mereka ingin kembali ke kamar mereka masing – masing, sosok seorang Jendra tiba – tiba muncul tepat di hadapan mereka. Kontan keempatnya terperangah dan larut dalam keheningan yang cukup lama. Siapa yang menyangka mereka akan bertemu di tepat ini. Setelah lebih dari duatahun ini lah kali pertama Raina kembali bertemu dengan lelaki yang dulu pernah ditemaninya ke gereja. Saverio Jendra Adhitiya.

For God’s Sake! Jendra ?! Kita jodoh banget ya sampe di sini aja ketemu lagi sama lo,” Rasya kemudian mencoba memecah keheningan. Tatapannya bergantian menatap kepada Jendra dan Raina. Keduanya saling bertatapan seperti tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Rasya lalu menyenggol lengan Damar ketika suaranya tak mampu mengalihkan perhatian antara Jendra dan Raina.

“Hay, Ndra! Apa kabar lo?” Damar lalu menepuk bahu Jendra yang semakin bidang itu. Jika dilihat dari posturnya Jendra pasti semakin rajin melakukan fitness. Mungkin itu juga menjadi salah satu pelampiasannya setelah kepergian Raina.

“Hay, gue baik – baik aja kok. Kalian apa kabar? Gue denger – denger kalian mau married ya?” Jendra yang akhirnya tersadar dan perhatiannya beralih pada Damar.

“Barusan aja kemarin kita married di sini. Lo sih tau – tau hilang contact. Kita bingung deh gimana mau ngundang lo,” jawab Rasya dengan suara yang dibuat seceria mungkin agar Raina tak kembali merasakan kesedihannya. Ia tahu betul bagaiamana campur aduknya perasaan Raina saat ini.

“Wow, selamat ya, I’m so happy for you two,” segaris senyum di wajah Jendra membuat Raina tak sadar ikut tersenyum. Senyum yang begitu dirindukan Raina selama dua tahun lebih kini benar – benar ada di hadapannya.

Anyway, karena kita udah sama – sama di sini gimana kalo kita dinner bareng di Bumbu Nusantara. Reunion gitu. Gue jamin rame tempatnya!” masih dengan suaranya yang seceria mungkin Rasya mulai mencoba mengakrabkan kembali hubungan Raina dan Jendra. “Sekalian kita recharge night”.

***
Ini adalah kali pertama Raina duduk satu meja makan dengan Jendra setelah dua tahun lebih. Aura kecanggungan terlihat di antara mereka berdua. Percakapan di antara mereka hanya sekedar menanyakan kabar masing – masing dan hanya dijawab “baik” oleh masing – masing keduanya. Jendra sendiri lebih banyak mengobrol bersama Damar, mungkin karena mereka sama – sama lelaki dan lama mereka tidak berjumpa.

Rasya emang hampir tak pernah salah dalam memilih tempat untuk makan atau sekedar kongkow. Pilihannya kali ini benar – benar tepat. Tempat makan yang tepat berada di pinggir pantai dengan suasana alam yang segar dan nyaman, serta menu makanan khas nusantara. Rasya betul – betul tahu bahwa, Raina menyukai suasana di pinggir pantai seperti ini. Rasya berharap di tempat ini Raina dapat merasa lebih nyaman dan rileks, walaupun kecanggungan nampak jelas di wajah Raina dan Jendra. Namun sebisa mungkin Rasya dan Damar mencoba mencairkan ketegangan di antara Raina dan Jendra, sehingga tawa pun perlahan mulai pecah di antara mereka. Tak hanya itu, Rasya dan Damar juga berusaha mencairkan kecanggungan antara Raina dan Jendra dengan mengajak mereka ikut dalam acara Recharge Night.

“Lama ya kita nggak di pantai bareng,” Jendra menghampiri Raina saat acara Recharge Night yang sedari tadi menatap ombak – ombak kecil yang menghampiri pantai lalu kembali lagi ke lautan. Hanya segaris senyum yang kemudian membalas Jendra. 

“Akhirnya jadi juga ngikut Rasya honeymoon?” Tawa kecil kemudian pecah di antara mereka.

“Iya,” jawab Raina. Raina selalu tertawa jika mengingat perjanjian lamanya dengan Rasya. Jika salah satu dari mereka berbulan madu maka, yang lain juga harus ikut ke tempat bulan madu. “Konyol ya.”

“Jadi kapan mau ajak Rasya ngikut bulan madu?” pertanyaan Jendra menghentikan tawa Raina. Ada rasa tak enak saat mendengar pertanyaan itu. Seperti ada kupu –kupu yang berputar – putar seenaknya di perut Raina. Seakan tak ada lagi kata – kata untuk menjawab.

My happiness is when I see you smile. Never change,”  kata – kata Jendra seperti ombak yang menghantam tubuh Raina dan melemparnya jauh ke tengah lautan lalu berputar – putar dengan pusara ombak di tengah lautan sana. “Kita nggak akan mendapatkan jawaban dari semua kebingungan kita ini. Kita yang harus menjawabnya. Sampai kapan kita mau menyiksa diri kita masing-masing?”

Air mata perlahan menetes di pipi Raina. Semua kerinduan dan kebingungannya selama ini kian melebur menjadi satu. Semuanya seakan sampai pada titik puncaknya saat ini. Saat kembali di hadapan Jendra. Raina tak sanggup membayangkan jika benar – benar harus melepaskan Jendra. Hatinya seakan tak pernah sanggup. Namun, ia juga tak tahu bagaimana caranya agar dapat bersama dengan Jendra.

“Mungkin yang kita butuhkan adalah waktu, karena kita nggak pernah tahu seperti apa masa depan nantinya,” sekuat tenaga Raina mencoba mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Ia tahu bahwa dengan pergi begitu saja dari Jendra bukan lah suatu penyelesaian. “Kamu masih sanggup untuk memberi waktu kesempatan untuk menjawab semuanya? Sekalipun itu akan menjadi perjalanan yang begitu panjang?”

“Kalau aku tahu bahwa, kebahagiaanku adalah bersama kamu. Maka, aku akan sanggup untuk memberi seberapa lama pun waktu siap untuk menjawab,” Jendra meraih tangan Raina yang masih sama lembutnya seperti terakhir kali ia menggenggamnya erat. Tangan yang selalu mengacak – acak rambutnya ketika mereka tengah bercanda. Tangan wanita yang mampu membuatnya tersenyum dan menangis di saat bersamaan. Tangan bidadari yang diturunkan Tuhan dari surga-Nya.

Kini Raina merasa kapalnya mulai meninggalkan samudera yang begitu luas. Kapalnya mulai kembali ke pantainya yang telah lama ditinggalkannya. Pantai yang membuat ia begitu bahagia hanya dengan menghirup udaranya saja. Inilah kebahagiaannya. Happiness is you, katanya dalam hati.

“Jika Tuhan menghendaki kita untuk saling jatuh cinta maka, ada kehendak baik pula setelah itu. Meskipun kita belum tahu saat ini,” air mata kesedihan Raina kini berganti dengan air mata kebahagiaan. Meskipun ia tahu bahwa, ini bukan lah ujung dari semua penggembaraan mereka.



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with www.thebaybali.com & Get discovered!