2:25 PM -
No comments
No comments
Terimakasih
Cangkir kopiku
telah habis. Ini sudah cangkir kedua. Kopiku kopi hitam yang terlalu manis jika
bagimu yang menyukai kopi tanpa gula. Tapi ini hanya kopi sobek yang sering kau
nyinyiri. Sekarang hanya ini yang
mampu kuseduh. Yang rasanya mudah untuk kuseduh sendirian, tanpamu lagi. Sudah berlembar-lembar
tulisan kuketik sedari matahari mulai lengser dari tahtanya hari ini. Sekarang bulan
pun sudah mulai lengser. Tapi aku belum juga lengser dari mejaku dan merebah ke
kasur. Sudah beberapa hari ini aku memejamkan mata setelah adzan subuh selesai
berkumandang. Mungkin karena kopi hitam yang bagimu terlalu manis ini aku tidak
dapat memejamkan mata tepat waktu seperti biasanya. Atau mungkin seperti kata
orang, saat kita tidak dapat tertidur, berarti kita sedang hadir dalam mimpi
seseorang. Anggap saja lah ketidak mampuanku memejamkan mata tepat pada
waktunya karena kopi hitam yang belakangan semakin sering kusesap.
Hidup itu
terus berjalan ke depan dan tidak pernah berputar kembali. Menghadapi dan
menjalani apa yang ada di hadapan kita. Lalu bagaimana jika dapat kembali ke
masa lalu? Nyatanya toh, aku tidak dapat kembali ke masa lalu. Aku tidak
menjumpai adanya mesin waktu yang dapat mengembalikanku ke masa lalu. Bukan kah
masa lalu adalah dimensi waktu yang berbeda yang tidak lagi dapat dihidupi oleh
orang yang sama. Karena masa lalu membuat masing-masing dari kita berubah
menjadi manusia yang berbeda setiap saatnya. Seperti halnya aku.
Semua mimpi
pada akhirnya hanya butuh keseriusan untuk dijadikan nyata oleh si empunya. Mimpi
hanya akan menjadi mimpi dan harapan hanya akan menjadi harapan, jika si
empunya tidak benar-benar serius mewujudkannya. Aku belajar banyak darimu untuk
itu. Aku belajar bagaimana kata-kata tidak mampu meyakinkan mimpi dan harapan
untuk berubah menjadi nyata. Mereka butuh lebih dari kata-kata dan janji untuk
masa depan. Bahkan janji hanya akan menjadi luka pada akhirnya jika si empunya
memilih untuk menanggalkannya dan melupakannya, lalu menganggapnya tidak pernah
terucap. Hidup tidak semudah saat kamu menyerah dan berkata “memang aku yang
tidak dapat memenuhi janji dan sekarang aku takut untuk membuat janji”. Hidup
tidak semudah seperti halnya kita mengucap janji di saat kita bahagia dan
mengucap amarah disaat kita kecewa.
Tahu kah
kamu, bahwa semua penggembaraan hidup pada akhirnya akan menemukan muaranya. Hati
akan tahu dimana rumahnya. Sebuah awal akan sampai pada sebuah akhir. Lalu sebuah
akhir akan menjadi sebuah awal yang baru. Padang pasir yang gersang dan teramat
luas menjadi bidang yang paling sukar saat dilewati oleh para penggembara. Termasuk
juga untukku. Aku sudah merasakan bagaimana lelahnya berjalan sendirian. Merasakan
lelahnya berjalan menyeret hal yang ternyata tidak ingin bergerak bersamaku. Merasakan
mati-matian mempertahankan hal yang pada akhirnya dengan mudah melepaskan
dirinya. Jujur, aku merasakan satu penyesalan saat memilih keputusan yang pada
akhirnya akan aku sesali di sepanjang hidupku. Dan kamu, memilih untuk tidak membantuku
meringankan rasa sesal itu. Karena apa yang telah terjanjikan menguap dengan
mudahnya, semudah saat janji itu tercetus.
Tapi satu
hal yang membuatku masih mampu berjalan, Tuhan ternyata masih ada di dekatku
dan sangat dekat dari yang pernah kukira. Tuhan masih tersenyum dan mengulurkan
tangan-Nya, bahkan setelah aku tidak lagi mengingatnya secara utuh. Tuhan masih
dengan siaga mendengarkan setiap kata-kata dari mulut, hati, dan fikiranku,
tanpa peduli waktu. Jika bukan lagi padamu aku bercerita maka, kini aku tahu
kepada siapa aku harus bercerita. Jika bukan di hadapanmu lagi aku harus
menangis maka, kini aku tahu di hadapan siapa aku harus menangis. Jika bukan
tubuhmu lagi yang memelukku maka, kini aku tahu siapa yang akan selalu
memelukku tanpa jeda. Jika semua kesalahanku sudah tidak mampu membuatmu
merasakan kekecewaan yang membuatmu menyerah maka, kini aku tahu siapa yang
tetap akan memaafkan dan menerimaku, sekalipun kesalahanku seperti buih di
lautan. Jika kau sudah tidak lagi mampu menjadi obat bagiku maka, kini aku tahu
siapa yang akan selalu menjadi obatku.
Terimakasih
untuk semua rasa sakit berkali-kali yang pada akhirnya tidak lagi mampu kau
sembuhkan. Terimakasih untuk rasa kecewa berulang kali yang pada akhirnya tidak
mampu untuk diperbaiki. Terimakasih sempat membawaku mengenal kesalahan dan
penyesalan, hingga pada akhirnya mengantarkanku kembali kepada yang Maha
Pengampun. Terimakasih pada akhirnya membuatku lebih mengenal penciptaku.