Sunday, March 20, 2016

2:25 PM - No comments

Terimakasih

Cangkir kopiku telah habis. Ini sudah cangkir kedua. Kopiku kopi hitam yang terlalu manis jika bagimu yang menyukai kopi tanpa gula. Tapi ini hanya kopi sobek yang sering kau nyinyiri. Sekarang hanya ini yang mampu kuseduh. Yang rasanya mudah untuk kuseduh sendirian, tanpamu lagi. Sudah berlembar-lembar tulisan kuketik sedari matahari mulai lengser dari tahtanya hari ini. Sekarang bulan pun sudah mulai lengser. Tapi aku belum juga lengser dari mejaku dan merebah ke kasur. Sudah beberapa hari ini aku memejamkan mata setelah adzan subuh selesai berkumandang. Mungkin karena kopi hitam yang bagimu terlalu manis ini aku tidak dapat memejamkan mata tepat waktu seperti biasanya. Atau mungkin seperti kata orang, saat kita tidak dapat tertidur, berarti kita sedang hadir dalam mimpi seseorang. Anggap saja lah ketidak mampuanku memejamkan mata tepat pada waktunya karena kopi hitam yang belakangan semakin sering kusesap.

Hidup itu terus berjalan ke depan dan tidak pernah berputar kembali. Menghadapi dan menjalani apa yang ada di hadapan kita. Lalu bagaimana jika dapat kembali ke masa lalu? Nyatanya toh, aku tidak dapat kembali ke masa lalu. Aku tidak menjumpai adanya mesin waktu yang dapat mengembalikanku ke masa lalu. Bukan kah masa lalu adalah dimensi waktu yang berbeda yang tidak lagi dapat dihidupi oleh orang yang sama. Karena masa lalu membuat masing-masing dari kita berubah menjadi manusia yang berbeda setiap saatnya. Seperti halnya aku.

Semua mimpi pada akhirnya hanya butuh keseriusan untuk dijadikan nyata oleh si empunya. Mimpi hanya akan menjadi mimpi dan harapan hanya akan menjadi harapan, jika si empunya tidak benar-benar serius mewujudkannya. Aku belajar banyak darimu untuk itu. Aku belajar bagaimana kata-kata tidak mampu meyakinkan mimpi dan harapan untuk berubah menjadi nyata. Mereka butuh lebih dari kata-kata dan janji untuk masa depan. Bahkan janji hanya akan menjadi luka pada akhirnya jika si empunya memilih untuk menanggalkannya dan melupakannya, lalu menganggapnya tidak pernah terucap. Hidup tidak semudah saat kamu menyerah dan berkata “memang aku yang tidak dapat memenuhi janji dan sekarang aku takut untuk membuat janji”. Hidup tidak semudah seperti halnya kita mengucap janji di saat kita bahagia dan mengucap amarah disaat kita kecewa.

Tahu kah kamu, bahwa semua penggembaraan hidup pada akhirnya akan menemukan muaranya. Hati akan tahu dimana rumahnya. Sebuah awal akan sampai pada sebuah akhir. Lalu sebuah akhir akan menjadi sebuah awal yang baru. Padang pasir yang gersang dan teramat luas menjadi bidang yang paling sukar saat dilewati oleh para penggembara. Termasuk juga untukku. Aku sudah merasakan bagaimana lelahnya berjalan sendirian. Merasakan lelahnya berjalan menyeret hal yang ternyata tidak ingin bergerak bersamaku. Merasakan mati-matian mempertahankan hal yang pada akhirnya dengan mudah melepaskan dirinya. Jujur, aku merasakan satu penyesalan saat memilih keputusan yang pada akhirnya akan aku sesali di sepanjang hidupku. Dan kamu, memilih untuk tidak membantuku meringankan rasa sesal itu. Karena apa yang telah terjanjikan menguap dengan mudahnya, semudah saat janji itu tercetus.

Tapi satu hal yang membuatku masih mampu berjalan, Tuhan ternyata masih ada di dekatku dan sangat dekat dari yang pernah kukira. Tuhan masih tersenyum dan mengulurkan tangan-Nya, bahkan setelah aku tidak lagi mengingatnya secara utuh. Tuhan masih dengan siaga mendengarkan setiap kata-kata dari mulut, hati, dan fikiranku, tanpa peduli waktu. Jika bukan lagi padamu aku bercerita maka, kini aku tahu kepada siapa aku harus bercerita. Jika bukan di hadapanmu lagi aku harus menangis maka, kini aku tahu di hadapan siapa aku harus menangis. Jika bukan tubuhmu lagi yang memelukku maka, kini aku tahu siapa yang akan selalu memelukku tanpa jeda. Jika semua kesalahanku sudah tidak mampu membuatmu merasakan kekecewaan yang membuatmu menyerah maka, kini aku tahu siapa yang tetap akan memaafkan dan menerimaku, sekalipun kesalahanku seperti buih di lautan. Jika kau sudah tidak lagi mampu menjadi obat bagiku maka, kini aku tahu siapa yang akan selalu menjadi obatku.

Terimakasih untuk semua rasa sakit berkali-kali yang pada akhirnya tidak lagi mampu kau sembuhkan. Terimakasih untuk rasa kecewa berulang kali yang pada akhirnya tidak mampu untuk diperbaiki. Terimakasih sempat membawaku mengenal kesalahan dan penyesalan, hingga pada akhirnya mengantarkanku kembali kepada yang Maha Pengampun. Terimakasih pada akhirnya membuatku lebih mengenal penciptaku.