Wednesday, September 28, 2011

11:21 PM - No comments

Di Negeri yang Disebut Agraris

Tidak asing bukan dengan istilah Negara agraris. Ya. Indonesia sebagai Negara agraris di samping Negara maritim. Sedari kita belajar di sekolah dasar (SD) kita telah mengenal bahwa Indonesia adalah Negara agraris. Dimana pertanian menjadi sumber mata pencaharian utama penduduknya. Sedari SD juga kita telah diberi bayangan bahwa Negara ini memiliki bumi yang subur dan laut yang luas. Hasil bumi dan laut yang melimpah. Yang ada di bayangan kita adalah rakyat Negara ini tidak akan kekurangan pangan yang layak.

Tapi lihat saja di berita televisi, Koran, dan media lainnya. Rakyat yang masih susah untuk membeli bahan pangan justru banyak. Di Negara yang konon katanya memiliki hasil bumi yang berlimpah ini, rakyat masih saja kesulitan untuk makan. Walau sekedar makan beras, lalu tak jarang nasi aking menjadi pilihannya. Di Negara yang konon katanya adalah Negara agraris ini masih saja ada rakyat yang begitu kesulitan untuk mampu memiliki beras dan bahan pokok lainnya.

Mau hal yang lebih nyata lagi?

Lihat saja di sekitar kita. Banyak sawah yang sudah menghilang dan berganti dengan bangunan – bangunan. Di kota Jogja saja saya sudah begitu lama tidak melihat sawah. Justru yang ada bangunan – bangunan baru yang berdiri. Entah itu rumah atau ruko (rumah-toko). Tak hanya di kota Jogja, saat saya tengah berjalan ke daerah Bantul, perubahan banyak tertangkap oleh mata. Dulu sewaktu saya kecil, sawah hijau begitu luas membelalak. Tapi sekarang? Ya, sawah hijau itu masih ada, tapi tembok – tembok yang saling terhubung dan membentuk sebuah ruang itu semakin banyak. Tak jarang saya melihat sawah yang dikeringkan lalu diuruk. Bayangkan saja jika ego semua orang untu memiliki rumah meningkat tanpa memperdulikan lahan untuk pertanian. Dimana petani akan bekerja? Bagaimana kebutuhan rakyat negeri ini dapat terpenuhi? Impor? Perdagangan bebas?

Sewaktu kecil saya memiliki anggapan bahwa profesi petani adalah profesi yang menjanjikan. Bagaimana tidak? Semua orang jelas membutuhkan pangan. Petani menanam bahan pangan. Jelas lah hasil tani mereka begitu dibutuhkan. Tapi ternyata anggapan saya itu tidak sepenuhnya benar. Yang saya temui belakangan adalah banyak petani yang hanya menjadi buruh tani. Petani yang hanya menjadi tenaga untuk mengerjakan sawah orang. Lalu hasil tani pekerjaan mereka dibagi dua dengan si pemilik tanah. Tak sampai di situ saja. Hasil tani mereka pun kebanyakan tidak untuk dijual, namun untuk dikonsumsi sendiri. “Yang penting cukup pangannya dulu, masalah kebutuhan yang lain itu bisa dicari walau serabutan,” itu lah jawaban mereka setiap saya bertanya mengapa banyak dari mereka yang tidak menjual hasil taninya.

Ironis memang. Di negeri yang memiliki julukan agraris ini profesi petani ternyata masih sulit untuk mencapai makmur. Di negeri yang digadang – gadangkan agrarisnya kepada anak bangsa ini, ternyata sawah dan lahannya justru dirubah menjadi bangunan – bangunan. Di negeri yang bertitel agraris ini, petani kebanyakan hanya lah sebagai buruh. Lalu masih kah pantas negeri ini menyandang keagrarisannya sepuluh atau duapuluh tahun mendatang?

Tuesday, September 20, 2011

9:32 AM - No comments

Tentang Sahabat #3


You asked to me How do i spell it?
L.O.V.E.
You asked to me how do i call it?
H.E.A.R.T
You asked me what is it?
F.R.I.E.N.D.S.H.I.P

:*

Thursday, September 15, 2011

12:13 AM - No comments

Aku Sebut Ini Bahagia


Saat mata terbuka aku menemukan ucapan selamat pagi. Atau terkadang aku yang terlebih dulu mengucapkannya. Saat hawa senyap menelusuri hati dan lorong rusuk aku meretas rindu. Hey, kamu tahu aku bilang pelangi itu indah. Memang. Aku juga pernah bilang senja itu ganteng. Selalu. Tapi kau tahu, terik siang itu bisa saja membuat aku tertawa walau menyipitkan mata, saat kamu berkata bodoh.



Melihatmu tertidur bermalas – malasan dan aku selalu menjadi penganggu tidur siangmu. Kamu tahu aku bahagia setiap melihat lekuk cemberutmu saat kamu terbangun. Kamu marah? Iya pasti. Tapi aku bahagia.




Atau sekedar meracau panjang tak beraturan mengenai kamu. Semuanya yang ada pada kamu. Tidak ada maksud untuk menjadi pemerintah bagi hidupmu. Walau sering semua yang aku katakana kamu abaikan. Tapi aku bahagia.




Mendapati kata maaf setiap kamu selesai berlaku menyebalkan. Atau setiap kamu mengakhiri kebohongan bodohmu itu. Jengkel memang. Tapi sekali lagi itu bahagia.




Saat tengah malam atau sepanjang hari aku menangis. Air mata yang mungkin tidak pernah kamu tahu. Rasa sedih yang mungkin tidak pernah sampai padamu. Itu bagian dari ‘kita’. Dan ternyata aku bahagia..




Salah tingkahmu saat aku memintamu menjadi imam sholat maghribku. Hal menyebalkan memang. Tapi ternyata aku masih bahagia.




Bukan orang yang sempurna menurut idealku memang. Jauh dari sesuatu yang begitu aku inginkan. Tapi Tuhan sudah menakdirkan aku bahagia dengan jalan seperti ini.




Untuk rasa sakit yang suatu hari pasti akan datang, semoga kamu juga masih menyimpan kebahagiaan.




Untuk Tuhan yang sudah menuliskan takdir ini. Seribu maaf untuk semua salah.




Untuk kamu, apa pun itu suatu hari nanti. Aku sebut ini semua bahagia J

Wednesday, September 14, 2011

10:24 PM - No comments

Untuk Kamu


Entah ini hitungan waktu yang keberapa. Dalam dimensi yang bagaimana. Apa aku pernah peduli?

Entah ini seperti apa keliahatannya. Terlihat atau tidak. Apa aku pernah peduli?

Entah ini jalan yang bagaimana. Tikungan macam apa. Jalan buntu yang seperti apa. Apa aku pernah benar – benar peduli?




Mungkin mereka bilang aku sedang dalam posisi yang tak mampu melihat sisi lain

Atau aku tengah dalam keadaan dimana cahaya lain di sekitarku meredup

“Terserah”, itu kataku




Aku sudah tahu bagaimana rasanya air mata karenamu

Aku juga tahu bagaimana bahagianya tertawa karenamu

Atau sekedar menjadi malu hanya di hadapanmu

Aku sudah menemui hal yang lebih indah daripada bulan sabit yang tergaris di tengah bintang




Bukan karena coklat yang selalu ada di dalam tasku setiap hari

Bukan karena ucapan selamat pagi setiap mata terbuka

Bukan juga karena kata ‘maaf’ yang terucap setelah rasa beku menyesap




Cukup menatapmu saat tertidur lelah

Atau melihat bibirmu mengerucut saat tingkahku menyebalkan

Sekedar tawa kecil saat kamu mengakhiri tingkah bohongmu yang bodoh

Kamu tahu, kamu lebih pahit dari espresso

Mungkin juga akan lebih pekat dari espresso



Maaf untuk kata yang belum mampu aku ucapkan sekalipun sering kamu ucapkan

Mungkin aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkannya

Atau ini memang caraku untuk mengucapkannya



Terimakasih apa pun itu

Semoga saling menyelipkan nama dalam doa



P.S. sedang apa pun kamu sholatnya jangan lupa ya J