No comments
Di Negeri yang Disebut Agraris
Tidak asing bukan dengan istilah Negara agraris. Ya. Indonesia sebagai Negara agraris di samping Negara maritim. Sedari kita belajar di sekolah dasar (SD) kita telah mengenal bahwa Indonesia adalah Negara agraris. Dimana pertanian menjadi sumber mata pencaharian utama penduduknya. Sedari SD juga kita telah diberi bayangan bahwa Negara ini memiliki bumi yang subur dan laut yang luas. Hasil bumi dan laut yang melimpah. Yang ada di bayangan kita adalah rakyat Negara ini tidak akan kekurangan pangan yang layak.
Tapi lihat saja di berita televisi, Koran, dan media lainnya. Rakyat yang masih susah untuk membeli bahan pangan justru banyak. Di Negara yang konon katanya memiliki hasil bumi yang berlimpah ini, rakyat masih saja kesulitan untuk makan. Walau sekedar makan beras, lalu tak jarang nasi aking menjadi pilihannya. Di Negara yang konon katanya adalah Negara agraris ini masih saja ada rakyat yang begitu kesulitan untuk mampu memiliki beras dan bahan pokok lainnya.
Mau hal yang lebih nyata lagi?
Lihat saja di sekitar kita. Banyak sawah yang sudah menghilang dan berganti dengan bangunan – bangunan. Di kota Jogja saja saya sudah begitu lama tidak melihat sawah. Justru yang ada bangunan – bangunan baru yang berdiri. Entah itu rumah atau ruko (rumah-toko). Tak hanya di kota Jogja, saat saya tengah berjalan ke daerah Bantul, perubahan banyak tertangkap oleh mata. Dulu sewaktu saya kecil, sawah hijau begitu luas membelalak. Tapi sekarang? Ya, sawah hijau itu masih ada, tapi tembok – tembok yang saling terhubung dan membentuk sebuah ruang itu semakin banyak. Tak jarang saya melihat sawah yang dikeringkan lalu diuruk. Bayangkan saja jika ego semua orang untu memiliki rumah meningkat tanpa memperdulikan lahan untuk pertanian. Dimana petani akan bekerja? Bagaimana kebutuhan rakyat negeri ini dapat terpenuhi? Impor? Perdagangan bebas?
Sewaktu kecil saya memiliki anggapan bahwa profesi petani adalah profesi yang menjanjikan. Bagaimana tidak? Semua orang jelas membutuhkan pangan. Petani menanam bahan pangan. Jelas lah hasil tani mereka begitu dibutuhkan. Tapi ternyata anggapan saya itu tidak sepenuhnya benar. Yang saya temui belakangan adalah banyak petani yang hanya menjadi buruh tani. Petani yang hanya menjadi tenaga untuk mengerjakan sawah orang. Lalu hasil tani pekerjaan mereka dibagi dua dengan si pemilik tanah. Tak sampai di situ saja. Hasil tani mereka pun kebanyakan tidak untuk dijual, namun untuk dikonsumsi sendiri. “Yang penting cukup pangannya dulu, masalah kebutuhan yang lain itu bisa dicari walau serabutan,” itu lah jawaban mereka setiap saya bertanya mengapa banyak dari mereka yang tidak menjual hasil taninya.
Ironis memang. Di negeri yang memiliki julukan agraris ini profesi petani ternyata masih sulit untuk mencapai makmur. Di negeri yang digadang – gadangkan agrarisnya kepada anak bangsa ini, ternyata sawah dan lahannya justru dirubah menjadi bangunan – bangunan. Di negeri yang bertitel agraris ini, petani kebanyakan hanya lah sebagai buruh. Lalu masih kah pantas negeri ini menyandang keagrarisannya sepuluh atau duapuluh tahun mendatang?

