1:49 PM -
No comments
No comments
Tarian Hujan
Segelas teh panas masih ada di hadapanku. Itu gelas keduaku. Aku masih saja setia dengan teh walau sudah sejak kecil aku menyeduhnya. Ibuku yang mengajarkanku untuk menyeduh teh. Bagi beliau teh adalah minuman terenak di dunia. Di luar hujan masih dengan bahagianya menari. Ia seperti melampiaskan rindunya kepada bumi. Entah sudah berapa lama ia tak menyapa bumi. Bumi pasti kering dan juga merindukannya.
Aku selalu jatuh cinta kepada hujan. Jatuh cinta tanpa syarat. Ia dingin dan melenakan. Saat kecil aku kerap bermain di bawah guyuran hujan. Aku berdansa dengan hujan di halaman depan rumahku dengan bebasnya. Dan bumi, seperti mengiringi tarian kami dengan irama khas nya. Aku suka itu. Hujan seperti meluruhkan segala lelah yang mengendap di tubuhku. Entah dengan sabun merek apa ia memandikanku, menghilangkan kuman lelahku dan membuat fikiranku menjadi harum.
Menginjak dewasa aku tak lagi berdansa dengan hujan, dan aku rasa hujan tak pernah marah padaku. Aku hanya tersenyum saat hujan tiba - tiba turun. Aku menyambutnya di teras rumah atau dari balik kaca jendela kamarku. Kali ini hatiku lah yang menari bersama hujan. Hujan tak pernah lelah memperlihatkan tariannya kepadaku. Ia selalu bersedia meliuk di hadapanku. Masih dengan segelas tehku tentunya, aku menyaksikan hujan mempertunjukkan tariannya. Kali ini, hujan tidak memandikanku. Ia seperti vacum cleaner yang menarik seluruh debu dari tubuhku. Ia tetap membersihkanku. Aku masih jatuh cinta kepada hujan.