Thursday, December 29, 2011

1:49 PM - No comments

Tarian Hujan

Segelas teh panas masih ada di hadapanku. Itu gelas keduaku. Aku masih saja setia dengan teh walau sudah sejak kecil aku menyeduhnya. Ibuku yang mengajarkanku untuk menyeduh teh. Bagi beliau teh adalah minuman terenak di dunia. Di luar hujan masih dengan bahagianya menari. Ia seperti melampiaskan rindunya kepada bumi. Entah sudah berapa lama ia tak menyapa bumi. Bumi pasti kering dan juga merindukannya.


Aku selalu jatuh cinta kepada hujan. Jatuh cinta tanpa syarat. Ia dingin dan melenakan. Saat kecil aku kerap bermain di bawah guyuran hujan. Aku berdansa dengan hujan di halaman depan rumahku dengan bebasnya. Dan bumi, seperti mengiringi tarian kami dengan irama khas nya. Aku suka itu. Hujan seperti meluruhkan segala lelah yang mengendap di tubuhku. Entah dengan sabun merek apa ia memandikanku, menghilangkan kuman lelahku dan membuat fikiranku menjadi harum.


Menginjak dewasa aku tak lagi berdansa dengan hujan, dan aku rasa hujan tak pernah marah padaku. Aku hanya tersenyum saat hujan tiba - tiba turun. Aku menyambutnya di teras rumah atau dari balik kaca jendela kamarku. Kali ini hatiku lah yang menari bersama hujan. Hujan tak pernah lelah memperlihatkan tariannya kepadaku. Ia selalu bersedia meliuk di hadapanku. Masih dengan segelas tehku tentunya, aku menyaksikan hujan mempertunjukkan tariannya. Kali ini, hujan tidak memandikanku. Ia seperti vacum cleaner yang menarik seluruh debu dari tubuhku. Ia tetap membersihkanku. Aku masih jatuh cinta kepada hujan.



Tuesday, December 27, 2011

Sunday, December 11, 2011

11:07 PM - No comments

5 Tahun Kemudian #2

Di sini di tanah yang lapang seperti tak bertepi
Aku masih merasa mampu menginjak bumi bersamamu
Angin masih mampu membelai wajah kita




Di sini di bumi yang tidak sepenuhnya rata
Aku masih mampu merasakan kerikil memijat lembut telapakku, tentunya masih bersamamu
Kamu masih tersenyum untukku





Di sini di tepian pantai berpasir putih
Aku masih mampu merasakan air laut sore membasuh hingga lutut
Aku masih mampu merasakan perihnya rindu





Di sini di tempat yang tak sama
Aku masih mampu mengingat kelebatan asa





Di sana di tempat yang tak sama
Mampukah kamu mendengar suaraku ?
"Ini hati, sayang"





Tak perlu memilih tempat untuk memudar, karena aku justru ingin melebur
Ini bukan kabur tak terarah





Lalu, 5 tahun kemudian...
Masih kah aku mampu mendengar guratan amarah?
Yang biasanya ternikmati dengan diam
Masih kah ada tangan yang erat menarik saat justru ada perintah untuk rubuh saja ke tanah?





Apakah 5 tahun kemudian masih ada imam yang sama berdiri tegap di depanku?




Aku atau pun kamu hanya mampu merajut untuk 5 tahun kemudian





Hanya doa yang mampu disertakan pada rajutan itu





Semoga saling menemani dan aku akan menyapa '5 tahun kemudian' dengan senyum penuh cinta :)