No comments
Untuk Debu
Ada hal yang belum kamu ketahui tentang aku. Tentang bagaimana aku berusaha sekuat mungkin menutup pintu gudang itu. Ku ganjal dengan segala apa yang ada. Meja, kursi, lemari, batu, bahkan setumpuk kardus lusuh sekalipun. Dan justru perlahan kamu membuka pintu gudang itu. Perahan kamu singkirkan satu per satu ganjal yang tertumpuk di depan pintunya. Lalu kamu tekan gagang pintu itu ke bawah dengan perlahan. Kreeeekkkkk….. perlahan pintu itu pun terbuka. Kamu yang membukanya.
Dalam ketercengangan kita hanya mampu melihat tumpukan debu yang tebal. Ya. Hanya debu. Debu yang semakin menebal dari waktu ke waktu. Lalu debu itu berterbangan dan berhamburan ke wajahku. Menelusur ke dalam saluran hidungku hingga ke paru-paru. Sesak.
Ini rasa yang telah lama menghilang. Rasa yang lama aku kekang. Yang tak pernah lagi ingin ku rasakan. Lalu sesaat kemudian kamu pergi. Menghilang. Tanpa berbuat apa pun untuk mengurangi sesak karena debu yang berhamburan itu.
Aku lalu berusaha bertahan. Ku tutup mataku perlahan. Meminta pertolongan kepada kelopak mata agar bola mataku tak semakin terluka. Kugerakkan tanganku sendiri untuk menutup hidung dan mulutku dengan tangkupannya. Berharap debu itu tak lagi masuk ke dalam saluran pernafasan maupun pencernaanku. Perlahan aku berjalan mencoba menebak – nebak jalan yang benar. Jalan yang kini telah tertutup oleh debu yang berterbangan.
Setelah aku berhasil mencapai halaman yang sejuk, halaman yang menyegarkan, aku lalu merebahkan tubuhku di atas rerumputan hijaunya yang rapid an bersih. Ku belai rumput – rumput itu perlahan dengan jariku yang terselimuti debu tadi. Rumput – rumput itu degan suka rela menerima belaianku walaupun jari jemariku penuh debu. Mereka justru tersenyum dan berbisik “berbahagia lah kamu di sini”.
Lama aku berebah di atas rerumputan itu, hingga perlahan aku tertidur di bawah senja. Lalu seketika malam datang saat aku membuka mataku. “bersihkan lah debu itu. Sapu lah dia, bersihkan lah dengan kain basah hingga ia benar-benar hilang,” bisik rumput tepat di sebelah telingaku.
Aku pun beranjak masuk kembali ke dalam. Ku ambil sapu yang tergeletak di depan pintu masuk dan mulai ku sapu debu yang kini sudah tergeletak di lantai. Ku sapu dengan perlahan agar ia tak lagi berterbangan. Lalu ku ambil kain yang telah ku basahi. Perlahan kuusap lantai, dinding, dan apa pun yang ditempeli oleh debu. Beberapa saat kemudian debu itu pun menghilang. Bersih. Gudang itu telah bersih dari debu. Dan sebuah senyum tergaris saat aku kembali melangkah kan kakiku ke dalam gudang yang tadi telah kubersihkan. Ini yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Debu itu bukan untuk kuhindari. Gudang itu tak seharusnya kututup rapat – rapat. Kuputuskan untuk tetap membuka pintu gudang itu. Kubiarkan udara dapat bersirkulasi dengan baik di dalamnya.
Untuk debu, terimakasih telah hadir kembali walaupun menyesakkan J
0 komentar:
Post a Comment