Wednesday, August 27, 2014

6:29 PM - No comments

Luka Kekasih

Kami sama – sama terluka oleh cinta
Dia yang pertama melukai wanitanya, lalu dilukai
Aku yang pertama dilukai lelakiku lalu aku pun ternyata melukai


Jika hidup adalah berpasangan
Maka, kami telah menemukan pasangan – pasangan dalam hidup kami
Kami bertemu karena takdir luka
Tanpa perlu kami berusaha untuk bertemu
Karena luka yang menggiring kami untuk bertemu
Lalu siapa yang ingin terlukai?
Aku rasa tidak, termasuk juga engkau, kekasih


Jika boleh memilih untuk tidak melukai,
Maka aku akan memilih
Jika saja dia tidak memilih untuk melukai,
Maka ia tidak akan terluka
Karena cinta adalah saling melindungi
Sekalipun terluka, maka akan berusaha untuk saling menyembuhkan
Terluka kah kamu membaca ini, kekasih?


Jika saja aku memilih untuk tidak melukaimu…


Tapi aku perlu obat untuk lukaku,
Obat yang tak pernah kau berikan kepadaku


Andai saja tak ada cinta,
Mungkin tak ada luka yang harus disembuhkan…



Untuk luka yang terlanjur ada, sembuhlah...
Kau berhak untuk sembuh...

J



Wednesday, August 13, 2014

4:24 PM - No comments

Rindu ?





Jika rindu adalah suatu permulaan yang harus diakhiri dengan pertemuan. Harus berujung pada sepasang tatapan hangat yang penuh binar dan kadang dengan mata yang berkaca karena air mata. Harus bermuara pada suatu pelukan erat yang seakan tengah melepaskan seluruh energi potensial yang telah lama meringkuk. Yang harus mendarat pada suatu kecupan lembut yang seakan melandas setelah terbang begitu jauh dan lama di angkasa.

Maka, aku harus menyebut apa perasaan ini. Ingin bertemu dengan raganya yang telah lama tak dapat ku lihat apalagi ku sentuh. Ingin mendengar suaranya, lirih tawanya dan lenguh kesahnya yang telah lama absen dari pendengaranku. Ingin menciumi aroma tubuhnya yang begitu menyegarkan saat ia baru saja mandi, aroma keringatnya yang sedikit asam ketika ia usai berolahraga, semuanya lama tak mampir di penciumanku.

Ini bukan masalah jarak yang begitu jauh untuk ditempuh agar dapat sampai pada akhir dari sebuah rindu. Ini bukan tentang air mata yang tak dapat tumpah ruah untuk menyambut ujung dari sebuah rindu. 

Ini semua tentang sebuah perbedaan yang begitu terasa dan begitu nampak. Suatu batas yang tak nampak tapi terasa. Aku dan dia. 

Jika aku hanya dapat menapaki bumi yang ada di bawahku dan menatap langit yang ada di atas ku berganti – ganti dari waktu ke waktu. Maka, aku tak tahu apa yang dapat dilakukannya di sana. Apakah ia masih dapat menginjakkan kakinya ke bumi dan menatap langit di atas seperti apa yang ku lakukan? 

Sampai saat ini, aku tak pernah tahu, berapa jauh kah jarak antara aku dan dia. Seperti apakah jalan yang harus ditempuh jika kami ingin mewujudkan suatu pertemuan untuk menyempurnakan rindu.

jika hanya ragaku yang masih bebas di bumi ini yang masih dapat mencarinya kemana pun, apakah akan dapat terwujud suatu pertemuan untuk menyempurnakan rindu?

Atau kah ragaku harus terkukung dulu oleh bumi, seperti raganya, agar kami dapat mewujudkan suatu pertemuan?

Jika rindu adalah hati dan jiwa, maka bukan lah ragaku yang harusnya berkelana.


Untuk waktu yang kesekian dan jarak yang tak pernah dapat ku ketahui. Mungkin benar ada rindu yang tak pernah dapat memiliki akhir karena ada jarak yang tak mampu tertempuh. Atau memang perasaan ini bukan lah rindu. Atau rindu yang masih dalam ruang tunggunya yang begitu absurd. 


Untuk jarak yang tak tertempuh, adakah kau mau memperdekat jarak antara kami. Agar aku dapat mengakhiri rindu ini.