Sunday, January 4, 2015

9:32 AM - No comments

Dimana (mana) sawah (beton)

Ini awal tahun 2015. Dalam perjalanan saya mengunjungi rumah orang tua bapak saya, yang biasa saya panggil simbah, di daerah pesisir selatan. Saya kembali menyadari banyak hal yang berubah di sepanjang perjalanan. Saya masih ingat betul, dulu sewaktu saya masih kecil. Dari balik kaca bis antar kota yang saya naiki bersama keluarga saya, begitu luas pemandangan hijau di kiri dan kanan jalan yang menemani pengelihatan saya. Saya sempat berkata, “Pak, ini lautan hijau ya”. Karena begitu luas tanpa batas sawah hijau saat itu. Begitu jarang rumah, warung, atau pun bangunan lainnya di pinggir jalan. Hanya ada pohon – pohon lumayan besar dan lampu – lampu jalanan yang berdiri tinggi sekali, serta beberapa tiang listrik dan telefon.

Tapi itu pemandangan belasan tahun yang lalu.

Sekarang?

Pemandangan hijau yang sering membuat saya bernyanyi ketika melihatnya itu kini sudah begitu berubah. Banyak petak – petaknya yang tak lagi hijau. Petak – petak yang menjadi sebuah tanah datar dan kering mulanya, bukan lagi tanah sawah, Petak – petak yang sudah tertimpa tanah – tanah urug. Lalu, beberapa waktu kemudian, berdiri lah kerangka – kerangka bangunan yang disusul dengan bata – bata yang di tata ke atas dan semen – semen yang ditempelkan pada bata – bata tersebut.

Taaaaarraaaammmm…

Jadilah sebuah bangunan. Rumah. Warung. Toko. Kantor. Kios. Kebanyakan dari mereka tidak terlalu bagus menurut saya. Kini, bangunan – bangunan itu seperti membuat pagar bagi sawah – sawah yang masih ada.

Miris rasanya

Lalu bagaimana dengan petani – petani yang dulunya menggarap sawah – sawah mereka yang kini sudah tak lagi berupa sawah? Apa pekerjaan mereka saat ini? Bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga? Pertanyaan yang terlalu polos mungkin.

Simple-nya, mereka menjual tanah dan mendapatkan uang yang lebih banyak daripada mereka hasil panen mereka selama setahun. Uang itu dapat digunakan untuk membuat suatu usaha, membuka toko, menyekolahkan anak mereka setinggi – tingginya hingga anak – anak mereka mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk menghidupi kehidupan mereka sekeluarga. Atau hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Mereka butuh begitu banyak uang bukan untuk hidup? 

Tidak dosa bukan jika mereka menjual tanah – tanah sawah mereka. Toh, itu hak mereka.

Tapi fikiran saya tidak hanya melayang sampai di situ

Bukan kah Indonesia adalah Negara agraris? Yang sebagian besar mata pencahariannya adalah bercocok tanam. Makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beras. Beras yang didapatkan dari sawah – sawah yang terhampar begitu luasnya. Jika semakin bertambah penduduk Indonesia yang memakan beras, namun semakin berkurang sawah yang ada, bagaimana penduduk Indonesia bisa makan? Bagaimana anak, cucu, dan keturunan penduduk Indonesia lainnya bisa makan?

Jawabannya begitu mudah

Import beras !

Beras impor harganya lebih murah daripada beras lokal. Gula impor harganya lebih murah dan lebih bersih daripada gula lokal. Daging impor harganya lebih murah daripada daging lokal. Buah impor, terkadang juga harganya lebih murah daripada buah lokal, juga rasanya lebih enak.

Lalu apa yang dikhawatirkan dari kegiatan import beras dan bahan pangan lainnya?


Akan lebih terasa ringan juga bagi masyarakat Indonesia untuk membeli produk import dibandingkan dengan produk lokal.

Jika untuk mencukupi pangan pokok saja kita harus melakukan import. Artinya, kita memiliki ketergantungan dengan Negara asal beras dan bahan pokok tersebut. Kita akan menyetujui berapapun harga yang mereka tawarkan, karena kita butuh untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kita. Ada juga kecenderungan kita akan menuruti apa pun yang diminta Negara tersebut agar kita tetap bisa mendapatkan pangan pokok tersebut. Kita begitu membutuhkannya bukan?

Masih merasa ini semua simple?

Bagaimana sebuah bangsa dapat menjadi besar dan merdeka, jika untuk mencukupi sendiri kebutuhan pangan pokoknya saja tidak mampu dan harus bergantung pada Negara lain?

Bisnis properti memang begitu menjanjikan keuntungan besar. Semua orang butuh tempat tinggal. Tapi semua orang jauh lebih butuh untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Bukan kah kita butuh makan nasi, bukan makan beton atau pun semen J

Semoga anak, cucu, dan keturunan kita semua masih memiliki kesempatan untuk merasakan nikmatnya hasil bumi dari nusantara J


*maaf untuk kata – kata yang kurang berkenan*

0 komentar:

Post a Comment