9:32 AM -
No comments
No comments
Dimana (mana) sawah (beton)
Ini awal tahun
2015. Dalam perjalanan saya mengunjungi rumah orang tua bapak saya, yang biasa
saya panggil simbah, di daerah
pesisir selatan. Saya kembali menyadari banyak hal yang berubah di sepanjang
perjalanan. Saya masih ingat betul, dulu sewaktu saya masih kecil. Dari balik
kaca bis antar kota yang saya naiki bersama keluarga saya, begitu luas
pemandangan hijau di kiri dan kanan jalan yang menemani pengelihatan saya. Saya
sempat berkata, “Pak, ini lautan hijau ya”. Karena begitu luas tanpa batas
sawah hijau saat itu. Begitu jarang rumah, warung, atau pun bangunan lainnya di
pinggir jalan. Hanya ada pohon – pohon lumayan besar dan lampu – lampu jalanan
yang berdiri tinggi sekali, serta beberapa tiang listrik dan telefon.
Tapi itu
pemandangan belasan tahun yang lalu.
Sekarang?
Pemandangan hijau
yang sering membuat saya bernyanyi ketika melihatnya itu kini sudah begitu
berubah. Banyak petak – petaknya yang tak lagi hijau. Petak – petak yang
menjadi sebuah tanah datar dan kering mulanya, bukan lagi tanah sawah, Petak –
petak yang sudah tertimpa tanah – tanah urug.
Lalu, beberapa waktu kemudian, berdiri lah kerangka – kerangka bangunan yang
disusul dengan bata – bata yang di tata ke atas dan semen – semen yang
ditempelkan pada bata – bata tersebut.
Taaaaarraaaammmm…
Jadilah sebuah
bangunan. Rumah. Warung. Toko. Kantor. Kios. Kebanyakan dari mereka tidak
terlalu bagus menurut saya. Kini, bangunan – bangunan itu seperti membuat pagar
bagi sawah – sawah yang masih ada.
Miris rasanya
Lalu bagaimana
dengan petani – petani yang dulunya menggarap sawah – sawah mereka yang kini
sudah tak lagi berupa sawah? Apa pekerjaan mereka saat ini? Bagaimana mereka
mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga? Pertanyaan yang terlalu polos
mungkin.
Simple-nya, mereka menjual tanah dan
mendapatkan uang yang lebih banyak daripada mereka hasil panen mereka selama
setahun. Uang itu dapat digunakan untuk membuat suatu usaha, membuka toko,
menyekolahkan anak mereka setinggi – tingginya hingga anak – anak mereka
mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk menghidupi kehidupan mereka
sekeluarga. Atau hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari –
hari. Mereka butuh begitu banyak uang bukan untuk hidup?
Tidak dosa bukan jika
mereka menjual tanah – tanah sawah mereka. Toh, itu hak mereka.
Tapi fikiran
saya tidak hanya melayang sampai di situ
Bukan kah
Indonesia adalah Negara agraris? Yang sebagian besar mata pencahariannya adalah
bercocok tanam. Makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beras.
Beras yang didapatkan dari sawah – sawah yang terhampar begitu luasnya. Jika semakin
bertambah penduduk Indonesia yang memakan beras, namun semakin berkurang sawah
yang ada, bagaimana penduduk Indonesia bisa makan? Bagaimana anak, cucu, dan
keturunan penduduk Indonesia lainnya bisa makan?
Jawabannya begitu
mudah
Import beras !
Beras impor
harganya lebih murah daripada beras lokal. Gula impor harganya lebih murah dan
lebih bersih daripada gula lokal. Daging impor harganya lebih murah daripada
daging lokal. Buah impor, terkadang juga harganya lebih murah daripada buah
lokal, juga rasanya lebih enak.
Lalu apa yang
dikhawatirkan dari kegiatan import
beras dan bahan pangan lainnya?
Akan lebih terasa ringan juga bagi masyarakat Indonesia untuk membeli produk import dibandingkan dengan produk lokal.
Jika untuk mencukupi
pangan pokok saja kita harus melakukan import.
Artinya, kita memiliki ketergantungan dengan Negara asal beras dan bahan pokok
tersebut. Kita akan menyetujui berapapun harga yang mereka tawarkan, karena
kita butuh untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kita. Ada juga kecenderungan
kita akan menuruti apa pun yang diminta Negara tersebut agar kita tetap bisa
mendapatkan pangan pokok tersebut. Kita begitu membutuhkannya bukan?
Masih merasa ini
semua simple?
Bagaimana sebuah
bangsa dapat menjadi besar dan merdeka, jika untuk mencukupi sendiri kebutuhan
pangan pokoknya saja tidak mampu dan harus bergantung pada Negara lain?
Bisnis properti
memang begitu menjanjikan keuntungan besar. Semua orang butuh tempat tinggal. Tapi
semua orang jauh lebih butuh untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Bukan kah
kita butuh makan nasi, bukan makan beton atau pun semen J
Semoga anak,
cucu, dan keturunan kita semua masih memiliki kesempatan untuk merasakan
nikmatnya hasil bumi dari nusantara J
*maaf untuk kata – kata yang kurang
berkenan*
0 komentar:
Post a Comment