2 comments
Saya, espresso, dan Anda
Secangkir kopi adalah favorit saya. Saya tahu itu juga favorit anda (jika saya tidak salah tahu). Entah bagaimana kopi bagi anda. Tapi bagi saya kopi adalah bagian hidup. Bagian hidup yang memang tidak terlalu saklek, tapi tetap saya cintai. Entah berapa cangkir yang tubuh anda butuhkan setiap harinya untuk merasa nyaman.
Kopi hangat. Kopi hitam. Espresso. Mungkin itu lah kopi yang terbaik. Kopi yang paling klasik dan murni. Tanpa gula adalah pahit. Tapi lidah saya hanya memerlukan sedikit gula untuk membuatnya menjadi lebih nyaman. Saya bukan pecinta kembang gula atau gula batu. Saya tidak terlalu menyukai rasa manis. Saya hanya membutuhkan sedikit rasa nyaman untuk lidah saya. Mungkin cara saya dan anda dalam menikmati espresso adalah berbeda. Tapi itu lah hidup. Berbeda. Tak semua hal mutlak sama. Dan beruntungnya saya dapat menikmati hadirnya perbedaan itu.
Espresso memiliki warna hitam. Dengan crema sedikit lebih terang dibanding cairan di bawahnya. Mereka dua warna yang berbeda. Warna yang membentuk suatu batas. Tapi mereka adalah kombinasi dari suatu cita rasa. Cita rasa yang pahit dan pekat. Lalu menjadi manis saat suatu zat yang bernama gula dicampurkan ke dalam mereka. Tapi, rasa eneg akan dating saat mereka dikonsumsi secara berlebihan, bahkan asam lambung akan meningkat dengan drastisnya. Tapi, jika dalam kurun waktu tertentu ia tak dijumpai, maka lidah akan merindukan rasa manis dan pahit yang berbaur indah itu. Dan itu lah hidup menurut saya.
Hidup adalah berbeda. Tak hanya warna, tapi bisa juga cita rasa. Dimana semua telah ditakdirkan dan direncanakan Tuhan dengan rancangan terbaik tanpa ada yang dapat menandingi kesempurnaan tersebut. Perbedaan – perbedaan yang entah berapa banyaknya itu adalah kekuatan dari suatu keindahan, jika mereka dipadukan sesuai takaran yang telah ditentukan Tuhan. Tapi, jika manusia menakar kombinasi – kombinasi tersebut tidak sesuai seperti apa yang ditentukan Tuhan, maka jangan pernah sekali pun berharap bahwa, keindahan akan tiba di hadapan mereka. Mungkin, ya, keindahan itu akan menampakkan dirinya. Tapi apakah itu keindahan yang sesungguhnya?
Aroma kopi bagi saya adalah aroma yang paling membuat saya dapat meresapi bagaimana hati saya sungguh rapuh. Rapuh untuk mendapati bahwa saya tak sekuat aroma kopi tersebut. Saya tak dapat semenjulang asap yang terkepul dari secangkir kopi hangat. Terus meninggi sampai memasuki libang hidung, menjalari seluruh saluran pernafasan, dan mendarat di hati saya dengan begitu indahnya, sehingga saya harus mengatakan bahwa “saya mencintaimu”.
Sungguh saya berterimakasih kepada Tuhan saya yang begitu baik atas diperkenalkannya ‘kopi’ kepada hidup saya yang kecil ini. Kopi adalah sekelumit cerminan hidup yang paling saya sukai. Kopi memiliki semua titik ekstrem seperti hidup. Titik dimana saya dapat menyukainya dengan begitu menggila. Saya dapat merasa, saya tak dapat hidup tanpa kopi. Saya dapat begitu menciptakan suasana yang syahdu saat saya menyesap cairan lembutnya yang beraroma keras tersebut. Saya dapat merasakan sentuhan – sentuhan lembutnya pada syaraf – syaraf di mulut saya dan seluruh alat pencernaan saya. Bahkan, saya tahu bahwa hati saya begitu bergembira saat cairan tersebut memasuki tubuh saya. Tapi, kelamaan saya merasakan rasa pahit yang begitu memuakkan pada pangkal lidah saya. Saya merasakan betapa saya sungguh ingin muntah saat saya bangun tidur di pagi hari, setelah malam sebelumnya saya meneguk secangkir kopi. Lalu, saat rasa ngilu menghatam dada kiri saya, beberapa umpatan pasti akan saya lontarkan pada cangkir – cangkir kopi yang pernah saya teguk, lalu saya akan memutuskan untuk menjauhkan anda dari hidup saya sejauh mungkin.
Dan anda. Yang juga menjadi pecinta kopi. Saya memang tak mengenal anda sedetail saya mengenal diri saya sendiri. Tapi Tuhan saya yang baik sepertinya menghadirkan anda dalam hidup saya untuk suatu tujuan mulia. Untuk teman bagi saya menikmati cangkir – cangkir kopi tanpa batas dalam hidup saya dan anda. Untuk meresapi betapa hidup ini terlalu menyedihkan untuk dilewatkan tanpa berfikir, bertindak, lalu bersyukur. Anda adalah guru yang tak dikenal orang lain. Hanya saya yang mengenal anda sebagai guru. Anda seperti kopi. Begitu pekat dalam fikiran saya. Begitu harum dalam dunia kerinduan yang saya miliki. Tapi saya tidak pernah mengharapkan anda hadir seperti kopi yang lengkap dengan titik ekstrimnya.
Memang tak seluruh waktu saya habiskan bersama anda. Atau mungkin belum. Saya belum tahu. Tapi sekelumit waktu yang Tuhan ijinkan agar saya bersama anda telah menumbuhkan rasa syukur. Mengingatkan bahwa, saya bukan lah sesuatu dibanding banyak hal di dunia ini.
Anda telah jauh membuka fikiran saya. Kopi tak hanya hitam. Tak hanya espresso. Ada cremer yang mengencerkan kepekatan cita rasanya. Ada hazelnut yang membumbui keangkuhan aromanya. Ada vanilla yang memaniskan ketegasannya. Ada sebongkah es krim yang mendinginkan tampilannya. Anda lah pelengkap dari kopi dalam hidup saya.
Saya, espresso, dan anda. Adalah secangkir kopi kehidupan. Yang diolah seorang barista terhebat di dunia, yaitu Tuhan, dengan segala kesempurnaan-Nya. Tanpa ada yang dapat menandingi.