Tuesday, July 13, 2010

10:42 PM - No comments

AKU dan Sang Pengata

Tak ada yang pernah tahu bahwa aku sedang sakit
Hanya bantal, guling, kasur, selimut, dan ranjangku yang tahu
Kalian tahu kenapa?
Karena aku tak mau berbicara
Hanya karena aku tak mau berbicara
"Bukan hanya!", teriak suara dari luar pintu kamarku
"Berbicara lah maka, mereka akan tahu"
Tapi untuk apa?
Hanya untuk memperlihatkan kelemahanku?
Hanya untuk mengundang belas kasih mereka?
"Bukan!" suara itu makin lantang
Lalu apa gunanya?
Toh mereka tak akan pernah mampu menggantikan aku pada sakitku
Mereka tak akan dapat menggantikan aku atas takdirku
Ini sudah milikku, ini sudah jatahku
"Mereka menyayangimu" suara itu melirih
Sayang?
Aku makin betanya di balik selimutku yang hangat, tapi tubuhku tetap saja terasa dingin
Apa itu sayang?
Dunia ku kah?
Atau makananku kah?
Aku masih menggigil sendirian di atas ranjangku
Masih memeluk erat gulingku yang tak pernah merasa sesak nafas jika ku dekap erat
Bantalku masih menjadi sandaran kepalaku yang begitu pening
"Bodoh kau!" suara itu meninggi
Aku bodoh?
Sepandai apa kau wahai pengata?!
Apa takaranmu hingga kau mengataiku "bodoh"?!
"Kau ini disayang! Kau ini dirindukan!"
Sayang? Rindu?
Peduli setan aku!
"Setanmu begitu mulia rupanya! Begitu memikat hidupmu!"
Oh.. begitu mulianya kah kau wahai pengata?
Tahu apa kau tentangku?
Bahkan tak ada seorang pun yang tahu tentangku!
Berkali ku ingin mengucap, tapi mereka justru sibuk dengan khayalnya masing-masing
Aku enggan lagi mencoba
Penatku sudah membuncah!
"Penat?! Kau hiraukan penatmu yang menumpulkan pena hidupmu? Itulah BODOH-mu!"
Hahhh!
Tak mau tahu aku tentang rasa sayang, rindu dan sebagainya!
Aku menjalani hidupku dengan kedua kakiku
Tak ada kaki mereka yang menopangku
Aku merasa sakit dengan hatiku
Tak ada hati mereka bagikan bagiku untuk sedikit menyesap sakitku ini,
Dan aku merubah takdirku dengan diriku sendiri,
Tak ada diri mereka di sampingku untuk menepuk pundakku!
Tak satu pun!
Hanya AKU!
"SOMBONG! ke-AKU-an mu itu hanya sementara! Tuhanmu akan menghujammu dengan perih yang tak kau nyana!"
Tuhanmu?
Sampai mana aku mengenal-Nya?
Sampai mana aku memahami ada-Nya?
Aku benar-benar sendiri
Di sini..
Aku berbaring dan terlelap dalam sepi
Walau di luar sana hiruk pikuk
Sudah lah! Lepaskan saja lengkinganmu itu! Karena otakku sudah enggan mencerna pengata sepertimu!
Sang pengata itu justru tertawa keras, seolah ia memenangkan sesuatu
Peduli apa aku padanya, peduli apa aku pada mereka di luar sana
Tak satu pun mereka peduli padaku
"Turun lah kau dari ranjangmu! buka lah pintumu dengan kedua tangan lemahmu! Lalu tatap lah sekelilingmu!"
Sadarku tercekat, seolah ia baru saja bangun
Untuk apa?, aku bertanya pada otakku yang terus berputar, berfikir
Kaki kananku sudah beranjak turun dari ranjangku, keluar dari balutan selimutku
Sementara itu, kaki kiriku masih enggan mengikuti kaki kananku
Hingga otakku menginstruksikan kedua kakiku turun dari ranjang dan tubuh lemahku ini mengikutinya
Tuhan.... bibir gemetarku ini menggumam
Dan mataku serasa perih
Rasanya lama air mata tak mengalir keluar dari peraduannya, karena tak ada lagi hal yang patut untuk ditangisi
Sesaat kemudian kedua tangan lemahku bersamaan menggenggam gagang pintu yang berdebu, Lama rasanya tak tersentuh
Karena aku membiarkannya tak tersentuh sedikit pun
Dengan bergetar aku mengayunkan gagang pintu itu dan lalu terbuka
Mataku lalu silau oleh cahaya yang menyeruak menghantamku
Seakan cahaya itu tertahan begitu lama dan kini tak lagi ada penghalang baginya
Saat mataku terbelalak sedikit demi sedikit, aku melihat hamparan tanah hijau yang menyejukkan
Berbagai bunga berkelompok sesuai warnanya dan memberi paduan yang anggun
Lalu kupu-kupu bersayap anggun melengkapi keanggunan hamparan hijau itu
Aliran sebuah sungai kecil yang lembut dan menimbulkan suara gemericik air yang syahdu
Kedua indera pendengaranku seperti terbasuh olehnya
Dan ternyata kedua indera pendengaranku telah tuli
Tuhan...
Kembali bibirku yang bergetar ini menggumam
Hatiku yang seolah bercangkang ini pun bergetar, ku rasa cangkangnya retak
Mataku serasa sembab
Keringnya perlahan hilang
Air mata itu kini kembali mengalir
Berkali-kali kuucap lagi, Tuhan...
Semakin berguncanglah hatiku, lalu terisak
Aku kemudian hingga bersimpuh di hamparan hijau
Kurasa lututku menyentuh sejuknya dan menjalar hingga ke sekujur tubuhku
Dan terus saja ku sebut, Tuhan...
Tanpa ada kata lainnya, seolah bibirku terlalu lemah untuk mengucap kata yang lain
Hingga tubuhku tak sanggup lagi untuk tak berebah, masih lah bibirku mengucap Tuhan...
Kini Ia menjalari seluruh tubuhku
Menelesap dalam sisa-sisa nafas yang mampu aku hela
Sudah sebegitu jauh aku dengan-Nya
Dan kini aku ingin didekap tangan-Nya
Sampai tergeletak tubuhku di hamparan hijau yang sejuk bibirku masih terus bergerak Menggumam walau tak lagi bersuara
Serasa memang Dia benar-benar dekat

0 komentar:

Post a Comment