Friday, March 18, 2011

9:22 AM - No comments

Delapan Tahun, Seribu Hari


Entah ini sudah pagi keberapa saya menyadari saya kehilangan. Delapan tahun, seribu hari. Dua kehilangan terbesar dalam hidup saya yang berkumpul menjadi satu. Dan anda tahu rasanya? Rasanya saya hanya ingin tidur lagi dan tak pernah terbangun untuk merasakan kehilangan.


Masih di atas ranjang saya berharap saat saya menoleh ke arah kanan mereka berdiri di depan pintu dan tersenyum kepada saya. Saya berharap mereka mengucapkan, “Selamat pagi” sembari ada harum nasi goreng hangat dari meja makan. Tapi saat saya menoleh ke arah kanan, saya hanya menemukan pintu masih tertutup. Tak ada siapa pun. Saya hanya dapat menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan. Itu kerinduan. Yang kini semakin susah terobati.


Sudah ada delapan kalender yang tertumpuk di dinding kamar ibu saya. Lembar Oktober terbuka pada tumpukan yang paling bawah. Ya. Kehilangan besar saya yang pertama. Tumpukan kalender itu seperti tumpukan kerinduan juga kehilangan. Masih dapat saya ingat betul senyum teduh itu. Wajah ramah yang begitu penyayang itu. Masih pula dapat saya rasakan belaian yang menenangkan walau hanya lewat ingatan. Ya. Saya bersyukur masih dapat mengingat. Melalui ingatan pula, saya masih dapat mendengar suara keibuan yang tak pernah saya dengar ada sedikit pun nada marah. Sungguh semuanya tidak pernah hilang.


Kelebatan bayangan tentang jalan – jalan sore di kota kecil pun masih dapat saya rasakan kebahagiaannya. Ya. Saya masih dapat mengingat bagaimana kebahagiaan seorang anak kecil yang mendapatkan sebatang coklat atau sekotak es krim coklat. Serasa semuanya belum terlewat dari duabelas jam yang lalu.


Selembar foto di sudut meja rias ibu saya membawa saya kepada kenyataan yang saat ini ada. Ya. Hari ini. Hanya ada sebuah ruang hampa yang kini telah tertutup tanah. Ingin rasanya ruang hampa itu tidak pernah tertutup tanah, sehingga saya dapat masuk ke dalamnya kapan pun itu. Hanya doa di penghujung sholat yang dapat sedikit mengobati kerinduan. Hanya dua buah batu nisan yang berdampingan mesra yang dapat sedikit meluruhkan kehilangan. Ya. Sampai sekarang saya masih ingin berada di antara dua nisan itu. Delapan tahun, seribu hari, atau bertahun – tahun lamanya, rasanya tetap sama. Kehilangan. Kerinduan.


Salam sayang dan kangen untuk Eyang J

0 komentar:

Post a Comment