Wednesday, April 27, 2011

1:03 AM - No comments

~ #2

Dalam hati aku berkata, “Ini Tuhanku”.

Lalu aku bertanya, “Ada berapa Tuhan?”

Aku lalu berfikir dan bagiku, “hanya ada satu Tuhan. Tuhan itu Esa”.

Ya. Tuhan itu satu. Bukan dua, tiga, atau lima.

Lalu mengapa kami menyebut Tuhan dengan berbagai nama dan menyembah – Nya dengan berbagai cara?

Itu keyakinan. Ya. keyakinan. Aku meyakini dengan caraku, dengan lafal yang kerap kuucap. Mereka pun begitu. Aku tidak menyalahkan mereka yang berbeda dariku. Entah sesungguhnya aku salah atau tidak?

Bukan kah Tuhan sudah membentangkan banyak jalan dan cara? Lalu kita manusia dipersilahkan memilihnya. Tuhan tidak pernah memaksa, bukan? Jika Tuhan memaksa, maka jadi lah kami ini berpegang pada keyakinan yang sama. Jadi lah kami menyebut Tuhan dengan satu nama, jadi lah kami ini menyembah Tuhan dengan satu cara.

Tuhan itu sempurna. Ia indah. Ia mengesankan.

Dengan sempurna Tuhan menciptakan awal kehidupan sampai akhir kehidupan. Dengan sempurna Tuhan mengadakan aku di tengah keluarga yang menjadi tempatku hidup dan aku berharap suatu saat menghidupi. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan KALIAN. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan rasa saling membutuhkan diantara kami. Satu sama lain. Dengan sempurna Tuhan menjauhkan hampa saat kami bertemu. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan rasa rindu untuk nantinya bahagia saat bertemu.

Tuhan itu sempurna. Ia menciptakan manusia yang berasal dari tanah. Adakah dari kita yang mampu menjadikan segenggam tanah itu menjadi hidup, bergerak, bernafas, memiliki rasa, menyayangi, mencintai, merindukan, membenci, dan saling memaafkan?

Jika Tuhan sempurna, mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia secara sempurna?

Jika Tuhan menciptakan manusia secara sempurna, maka tidak akan ada yang namanya persahabatan. Tidak akan ada yang namanya saling menolong dan membutuhkan. Tidak akan ada yang namanya saling mengasihi, mencintai, dan menjaga. Jika manusia sempurna, maka manusia akan hidup sendiri – sendiri. Tidak akan pernah ada yang namanya rasa hampa dan merindukan manusia yang lain.

Bagiku Tuhan tetap lah sempurna. Bagimu? Itu pilihanmu untuk mendefinisikan Tuhan. Dan setiap pilihan berhak untuk dihargai, bukan? :)

Sunday, April 24, 2011

11:06 PM - No comments

Dear, Senja dan Jingga

Dear, Senja dan Jingga.

Hay, apa kabar kalian? Tahu kah aku selalu merindukan kalian?

Ya. aku teramat merindukan kalian. Di setiap pagi, siang, dan malam. Bahkan, kala sore datang tak jarang aku juga merindukan kalian. Rasanya begitu lama aku tak bercengkerama dengan kalian. Rasanya lama sekali aku tak tertawa dan menatap keindahan kalian. Kalian. Ya. kalian.

Kalian tahu? Malam kerap mencoba mengobati rinduku terhadap kalian. Kerap ia menampilakn bintang yang begitu bertabur dan bulan yang entah itu sedang sabit, separuh, atau penuh. Ia juga kerap menghadirkan belaian anginnya yang sejuk. Tapi, tahukan kalian, itu semua tidak akan mampu mengobati rinduku terhadap kalian.

Tahu kah juga kalian, bahwa siang juga kerap mencoba menghapuskan rinduku pada kalian. Ia kerap menjadi teduh kala aku menyapa jalanan. Tak jarang pula ia berbaik hati mengundang gerimis lembut yang cantik. Tapi tetap saja kerinduan akan kalian tidak pernah dapat terobati.

Masih dapat aku membayangkan angin sore lembut yang menyapa wajahku saat aku menapaki trotoar kota. ya. saat aku menyapa kalian. Aku banyak bercerita pada kalian. Tentang semua lelah, harapan, kebahagiaan, keputus asaan, dan segalanya. Dan aku suka saat kalian tersenyum. Entah tersenyum karena kekanak – kanakanku, atau tersenyum meneduhkan gelisah jika ia tengah menari dalam diriku.

Kalian tahu? Aku benar – benar merindukan aroma tanah di halaman rumah yang baru saja disiram oleh anak – anak si pemilik. Aku juga rindu dengan suara rewel anak – anak yang disuapi makan sore oleh ibu mereka. Dan itu semua tidak pernah dapat dihadirkan oleh malam atau pun siang.

Hay, senja dan jingga…

Suatu hari nanti, aku berjanji menyapa kalian lagi dengan waktu yang benar – benar lapang. Aku akan bercerita lagi kepada kalian tentang banyak hal seperti biasanya. Aku akan tertawa saat kalian hadir. Dan aku akan melambaikan tangan saat kalian berpamitan pergi.

Sejuta rindu untuk kalian, senja dan jingga J

Monday, April 4, 2011

12:29 AM - No comments

Di Sudut Merah

Di Sini. Ya. Di sudut yang berwarna merah ini. Aku dapat melihat hujan bergulir dari langit.dengan cantiknya. Tapi maaf, dia tak mampu membuat aku basah. Bukan aku tak mau ia membasahiku, tapi ini belum waktunya. Sebentar lagi. Ya. Tunggu aku sebentar lagi, dan aku akan dengan sangat senang hati ia membuatku basah kuyup.

Di sini, Di sudut yang menjadi rutinitasku aku mampu begitu merasakan kerinduanku. Kerinduan akan senja yang bebas tak berarah. Kerinduan suasana sore di pinggiran kota. Kehangatan ibu - ibu muda yang menyuapi anak - anak balitanya makan sore. Atau orang - orang yang menyapu halaman rumah mereka dengan sesekali menyapa dan tersenyum pada tetangganya yang tengah lewat. Sungguh itu semua kini adalah langka bagiku. Tapi, ya, ini lah pilihan, dan aku bahagia atas pilihan. Aku bahagia memiliki rindu itu.

Di sini, di sudut merah temaram ini. Aku dapat lebih mengenal hidup. Aku dapat lebih mengenal 'arti'. Ternyata aku jauh dari mereka. Aku belum cukup baik mengenal mereka. Sudut ini juga lebih mendekatkan aku pada rasa 'syukur'. Ya. Ternyata aku tak sedekat itu selama ini.

Di sini, di sudut merah ini, aku dapat merasakan dinginnya hujan di luar sana. Menggigit. Tapi ia selalu aku rindukan. Aku selalu bergumam, “cantik” selebat apa pun dia turun. Ya. Aku jatuh cinta pada hujan, sejak aku mulai dapat mengenal huruf.

Di sini, di sudut merah yang syarat dengan aroma kopi kesukaanku. Aku belajar. Belajar yang tak mampu aku dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah. Belajar bahwa hidup tak hanya sebuah kotak yang tersusun rapi. Kotak itu memiliki siku yang saling melekat. Aku belajar membuka lekatan siku itu. Ya. Aku belajar membuka kotakku dengan penuh kehati – hatian. Perlahan ku buka satu siku saja, aku membukanya bukan berarti aku menghilangkan lekatannya. Suatu hari pasti lah aku butuh untuk melekatkan siku itu. Dan ketika kotakku terbuka, ya, aku dapat lebih banyak belajar.

“Ini lah hidup, nak,” ujar hal dari luar kotakku. “Tak selalu kau tenang di dalam kotak itu”.

Aku hanya tersenyum pada hal di luar kotakku.

“Kau memang harus membuka kotakmu, nak, tapi bukan berarti kau kehilangan aroma kotakmu. Jangan sekali pun kau rubah aromamu, karena suatu saat kau harus kembali ke kotakmu. Jangan sampai kotakmu sendiri asing akan dirimu, nak. Ini lah hidup,” lanjut hal dari luar kotakku.

Ya. Ini lah hidup. Aku dan kotakku, serta hal dari luar kotakku.

Di sini, di sudut merah yang mungil ini, aku bersahabat dengan malam dan tengah hari. Dengan kepulan asap yang dulu aku benci. Dengan kebingaran obrolan atau hanya bualan orang yang tak ku kenal. Aku bersyukur.

Di sini, di sudut merah yang tak seberapa ini, suatu saat akan menjadi bahan ceritaku. akan menjadi komposisi kenangan dalam masa depanku nanti.

"Ini lah hidup. Aku mencoba membuka kotakku dengan hati – hati. Hidup tidak harus selalu kotak yang tersusun rapi"

Saturday, April 2, 2011

4:47 PM - No comments

Pojokan Perempatan

Kota sudah banyak berubah. Ya. Seiring dengan waktu dan hal yang dinamakan ‘pembangunan’. Bahkan bangunan belanda di pojokan perempatan itu sudah runtuh. Bangunan yang selalu membuat saya terpukau setiap pulang sekolah dulu. Kini bekas bangunan itu akan dibuat sebuah square. Entah akan jadi seperti apa nantinya. Sampai saat ini saya juga masih heran, kenapa bangunan kuno sebagus itu harus dihancurkan.

Otomatis, semenjak bangunan kuno itu dihancurkan, tak ada lagi yang membuat saya terpukau saat tengah melewati perempatan itu. Hanya nyala lampu lalu lintas saja yang saya perhatikan. Sampai di suatu sore tiga hari yang lalu pandangan saya terpaku pada satu titik. Titik yang baru saya sadari tidak berunah, tidak mengikuti perubahan yang bernama ‘pembangunan’.

Seorang wanita seumuran ibu saya itu masih saja sama seperti saat pertama saya mendapatinya. Saat saya masih SD. Ia duduk di trotoar dengan alas terpal putih yang digelarnya sedari sore mulai lamat menggeser siang. Di hadapannya tertata rapi jagung rebus dan kacang – kacangan rebus. Dulu, setiap selesai les menggambar, ayah saya selalu mengajak saya untuk mampir membeli jagung rebus di situ.

Kini, setelah duabelas tahun sejak pertama kali saya melihatnya, Wanita itu masih sama. Duduk di trotoar pojokan perempatan itu. Masih dengan gaya rambut yang sama. Masih dengan gaya bicara yang sama. Hanya kerut di wajahnya yang semakin Nampak jelas. Serta, tatapan matanya yang Nampak lebih lelah dari biasanya dulu. Dulu, mata itu berbicara, “sore akan segera habis, nak. Sebentar lagi malam dan saya akan segera pulang”. Namun kini, seiring waktu mata itu seolah berbicara, “sore baru saja datang, nak. Ia masih panjang dan malam masih jauh. Saya mungkin kelamaan akan seperti bangunan itu. Hilang dari pojokan perempatan ini”.

Dengan seikat jagung rebus saya meninggalkan wanita itu yang masih menunggu dagangannya habis. Bersama seikat jagung rebus itu pula saya semakin mengerti bahwa, waktu memang merajai hidup, tapi waktu tak pernah mampu merajai kenangan.