12:19 PM -
No comments
No comments
17 Agustus ke-70
Sudah 70 kali, mungkin, hari ini diperingati dengan beberapa yang merasa haru dan beberapa merasa biasa saja. Sudah 70 kali, mungkin, upacara pengibaran bendera merah putih di pada pukul sepuluh pagi lebih sepuluh menit, lalu 70 kali sudah, mungkin, upacara penurunan bendera pada sore harinya. Sudah 70 kali, mungkin, terdengar suara orchestra yang melantunkan lagu kebangsaan yang tidak henti – hentinya membuat bulu kuduk merinding. Sudah 70 tahun, semenjak Soekarno membacakan teks proklamasi, beriringan dengan harapan yang tidak putus dari seluruh penjuru negeri agar Indonesia merdeka. Mungkin masih ada para veteran yang sudah merasakan 70 kali perayaan dari semenjak mereka tegap hingga kini merenta seiring usia.Sudah 70 tahun, Negara ini merdeka, namun masih terus memperjuangkan kemerdekaannya.
Kemerdekaan bukan
sebatas teks proklamasi yang dibacakan 70 tahun lalu. Kemerdekaan bukan hanya
sekedar menang dalam perang revolusi pasca tahun 1945. Kemerdekaan bukan
sekedar sebagai Negara, tapi juga bangsa. Kemerdekaan yang ternyata masih belum
dirasakan oleh beberapa orang yang tercatat sebagai warga Negara yang merdeka
sudah 70 tahun ini. Kemerdekaan bukan hanya sekedar kemeriahan pesta perayaan
dan sorak sorai pemuda – pemudi yang terus meneriakan kata “merdeka!” dalam euphoria perayaan.
Sudah kah lebih
baikkah kemerdekaan Indonesia? Atau justru semakin buruk kemerdekaannya?
Dulu, Negara ini
mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Dari sawah, ladang,dan kebun yang
digarap oleh para petaninya sendiri. Dari daging dan telur hasil ternakan para
peternak. Dari ikan – ikan hasil tangkapan para nelayan.
Dulu warga Negara
di Negara ini begitu bangga menjadi seorang guru. Menjadi seorang pengajar dan
pendidik. Mendidik, tidak hanya sekedar mengajar. Bahkan, Malaysia pun sempat
meng-import pengajar dari Indonesia.
Dulu, para
pejuang berperang dan melawan penjajah, penjajah lah yang dibunuh bukan rakyat Negara
ini. Para aparat Negara bertugas melayani masyarakat dengan kesadaran bahwa
mereka adalah pelayan bagi masyarakat. Pejabat menjabat dengan kesadaran bahwa
mereka bekerja untuk rakyat.
Sekarang?
Sudah sampai
mana titik “kemerdekaan”?
Kemerdekaan. Kata
– kata yang selalu diteriakan di setiap acara di stasiun – stasiun televisi
yang berlomba – lomba menampilkan tayangan terbaiknya dalam edisi khusus
kemerdekaan. Kata – kata yang tidak pernah absen dari naskah pidato dan
sambutan berbagai acara dan upacara kemerdekaan.
Tidak kah para
veteran yang masih mengikuti berita dan perkembangan Negara ini patut menangisi
dengan tragis kemerdekaan yang dulu mereka perjuangkan? Sudah kah generasi
setelah mereka sungguh – sungguh berterimakasih atas pengorbanan mereka yang
tidak mengenal batas?
Pada 17 Agustus
yang ke-70 ini, saya kembali teringat cerita – cerita perang yang dulu kerap
diceritakan oleh Eyang, ketika kami para cucu – cucunya berkumpul. Bagaimana ia
harus berpisah dengan anak istrinya saat perang geriliya. Bagaimana ia harus
rela berpisah dengan keluarganya dan mengungsikan keluarganya di tempat yang seaman
mungkin. Bagaimana ia harus merangkak dan berperang senjata langsung dengan
para penjajah dari sejak Belanda hingga Jepang dan kembali berperang dengan
Belanda. Kesedihan – kesedihan saat ia kehilangan sahabat – sahabat terbaiknya
di medan perang. Sahabat yang merenggang nyawa setelah terkena peluru musuh
atau setelah terkena ledakan bom. Masih teringat selalu, di setiap akhir
ceritanya, ia selalu berkata, “bersyukur lah kalian lahir setelah kemerdekaan.”
Beberapa kali
setelah ia menonton siaran berita di televisi, ia kerap berdecak heran dengan
keadaan Negara yang dulu kemerdekaannya diperjuangkan mati – matian. Semua tingkah
polah perangkat Negara yang dirasanya sudah jauh berbeda dari saat dulu ia
masih tegap. Konflik – konflik kegamaan yang selalu muncul terutama saat hari –
hari besar keagamaan. Sehela nafas panjang yang sedih pun tidak jarang
dihelanya pada akhir siaran berita.
Kalau Eyang masih
ada hingga 17 Agustus yang ke-70 ini, mungkin keheranannya akan semakin
berlipat ganda. Kesedihannya akan semakin bertambah setiap menonton siaran
berita di televisi atau setelah membaca surat kabar. Perasaan bersalahnya pada
sahabat – sahabatnya yang gugur di medan perang pun akan semakin berlipat
ganda.
Selamat 17 Agustus yang ke-70, Eyang. Selamat beristirahat di rumah terindah. Sampai jumpa lagi, nanti
~
Yogyakarta, 17 August 2015 ~
0 komentar:
Post a Comment