Thursday, June 24, 2010

11:38 PM - No comments

Mahasiswa dan Kedewasaan Intelektualnya Secara Sederhana

Mahasiswa berasal dari dua suku kata yaitu, maha dan siswa. Maha adalah sesuatu yang besar atau tinggi. Sementara siswa adalah pelajar atau yang mempelajari sesuatu. Jadi jelas mahasiswa adalah murid atau siswa yang memiliki tingkatan paling tinggi.

Kekayaan dan kecerdasan intelektual pada mahasiswa seharusnya lebih baik dibandingkan dengan murid SMA dan dibawahnya atau masyarakat yang tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Karena untuk sampai pada jenjang mahasiswa, jelas tidak lah membutuhkan waktu yang singkat. Butuh waktu setidaknya duabelas tahun. Melalui proses Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP, dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam waktu yang lebih dari satu dasawarsa tersebut, jelas pembelajaran, pendidikan, dan pendewasaan intelektual terjadi secara perlahan. Proses perlahan yang bertahap dan selayaknya sudah mampu mencapai suatu titik dimana dapat disebut ‘dewasa’. Konteks dewasa di sini adalah suatu kematangan dalam berfikir. Suatu kematangan dalam mengambil sikap untuk menangani suatu hal.

Jika mendengar cerita – cerita dari kedua orang tua saya yang Alhamdulillah pernah mengalami masa menjadi seorang mahasiswa, mereka kerap bercerita bahwa, mahasiswa sekarang jauh lebih dipermudah dengan segala kemudahan sistem dibanding dengan mahasiswa di jaman mereka. Dulu, saat seorang mahasiswa tidak mampu lulus dalam suatu mata kuliah, maka mahasiswa tersebut harus mengulang seluruh mata kuliah pada tahun tersebut. Betapa sangat berbeda bukan dengan sistem perkuliahaan masa sekarang? Saat kita tidak lulus satu mata kuliah saja, maka kita hanya perlu mengulang mata kuliah yang tidak lulus tersebut, bahkan ada juga beberapa kampus yang menerapkan sistem remidi, dimana mahasiswa hanya perlu mengulang ujiannya saja. Kedua orang tua saya juga kerap mengatakan bahwa, jaman dulu, jika seorang mahasiswa lulus kuliah dalam waktu yang lama adalah hal yang wajar, dan sungguh suatu hal yang terlalu jika di jaman sekarang ini masih saja ada mahasiswa yang lulus kuliah dalam waktu yang begitu lama.

Bukan hal berapa lama seorang mahasiswa menyelesaikan kuliahnya yang ingin saya beberkan di sini. Hal di atas hanya sebuah contoh kecil pembanding saja. Bagaimana sudah jauh lebih mudahnya sistem yang ada saat ini. Seharusnya, dengan segala kemudahan tersebut mahasiswa dapat lebih meningkatkan produktivitasnya. Harus dapat lebih mendewasakan intelektualnya. Dapat lebih berfikir jauh ke depan. Karena tidak ada opportunity things yang harus dikorbankan seperti halnya mahasiswa di jaman bapak dan ibu saya dulu.

Lalu yang terjadi?

Yang terjadi adalah terlihat tidak terlalu dewasanya intelektual mahasiswa Indonesia. Mengapa saya dapat mengatakan hal ini? Apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, dan apa yang saya alami membuat saya dapat mengatakan demikian. Banyak sekali siaran berita dan media massa yang memberitakan kebrutalan mahasiswa di daerah tertentu. Hal – hal pemicunya pun beragam. Ada yang karena masaah pribadi merembet menjadi masalah kelompok dan masalah – masalah lainnya. Solidaritas itu memang perlu, dan begitu diperlukan oleh bangsa ini dalam kehidupannya yang lebih dalam. Tapi apakah harus dengan adu otot? Saling lempar batu? Saling menunjukkan siapa yang paling berhasil menghancurkan kampus? Mahasiswa dididik dan diajar bukan untuk menjadi seorang petarung atau tentara perang. Mahasiswa dididik dan diajar untuk menjadi pemikir dan pemimpin bangsa di masanya nanti. Universitas atau setaranya adalah laboraturium kecil suatu bangsa. Lalu, apa jadinya jika di dalam suatu laboraturium kecil suatu bangsa justru terjadi adu jotos? Sepertinya lebih baik bangsa ini menambah satu harapan paling besar lagi untuk waktu ke depannya, yaitu menjadi bangsa petarung tinju terhebat di dunia. Bukankah mahasiswa diajari bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan kepala dingin? Bagaimana berfikir logis dan tidak merugikan orang lain. Dalam organisasi kemahasiswaan pun sebenarnya mahasiswa dilatih untuk menghadapi konflik dengan cara – cara yang berpendidikan. Bukan denga cara yang bar – bar. Lalu, jika acara ‘tawuran’ yang pada akhirnya menjadi ujung, apa bedanya seorang mahasiswa dengan seorang pelajar SMP atau SMA? Apakah kapasitas intelektual seorang mahasiswa tak ada bedanya dengan murid SMP atau SMA? Apakah nantinya, bangsa ini juga akan menyelesaikan permasalahannya dengan ‘tawuran’?

Pada awal kita memasuki bangku kuliah, kedua orang tua kita pasti lah menginginkan sepenuhnya waktu kita digunakan untuk belajar. Harapan untuk dapat menyelesaikan kuliah pun juga pastinya mengiringi langkah kita memasuki gerbang perkuliahan. Tapi, semakin lama beberapa dari kita sadar, bahwa yang dibutuhkan oleh masa depan kita tidak lah hanya kuliah saja. Tidak hanya bergumul dengan buku dan membalutkan teori – teori tersebut di otak kita. Lalu, antara lain jawabannya adalah organisasi kemahasiswaan. Ya. Organisasi adalah salah satu cara lain bagi mahasiswa untuk mengembangkan dirinya. Bagaimana kita dapat belajar menerapkan dan melatih manajemen konflik kita. Bagaimana kita dibiasakan menghadapi permasalahan dengan berbagai watak manusia yang berbeda – beda. Bagaimana kita dikenalkan mengerjakan sesuatu dalam tekanan dan perbedaan konsep, lalu bagaimana cara kita mempersatukan konsep agar tujuan tercapai. Itu adalah beberapa hal yang organisasi kemahasiswaan tawarkan kepada para mahasiswa. Lebih lanjutnya lagi, diharapkan dengan organisasi kemahasiswaan, kita dapat memiliki link untuk mempermudah kita nantinya dalam mencari suatu pekerjaan.

Permasalahan yang timbul dan menguji kedewasaan seorang mahasiswa adalah saat seorang mahasiswa dihadapkan pada dua permasalahan yang sama – sama penting. Kuliah atau organisasi?

Tugas utama seorang pelajar dan mahasiswa adalah belajar. Tapi, seorang mahasiswa yang juga merupakan seorang organisator juga harus memiliki loyalitas terhadap organisasi yang diikutinya. Tugas seorang organisator adalah mengabdi kepada mahasiswa. Sering saya mendengar selogan “Organisasi jangan sampai mengganggu kuliah”, dan kemudian sering diplesetkan “Kuliah jangan sampai menganggu organisasi”.

Saya akui, keloyalan dan idealisme tidak lah dimiliki oleh semua mahasiswa. Tapi, amat sangat disayangkan jika loyalitas dan idealisme tersebut disalah gunakan. Seperti yang telah saya katakan, kewajiban utama seorang mahasiswa adalah belajar. Tapi, loyalitas seorang organisator memang sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana, jika seorang mahasiswa lebih mementingkan organisasi dibandingkan kuliahnya? Saya tidak berhak menghakimi mahasiswa yang memiliki pilihan demikian. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan pilihannya bukan?

Lalu bagaimana pula jika seorang mahasiswa meninggalkan organisasinya begitu saja sebelum habis periode kepengurusannya demi mengejar gelar sarjana? Apakah itu berarti mahasiswa tersebut tidak memiliki loyalitas? Apakah organisasi telah gagal mendidik dan mengajarinya menjadi seseorang yang loyal dan bertanggung jawab? Saya juga tidak dapat menghakimi mahasiswa yang memiliki pilihan ini.

Organisasi juga bukan lah ajang untuk mempamerkan popularitas atau kekuasaan. Organisasi lebih dalam lagi adalah suatu tanggung jawab. Bagaimana seorang organisator bertanggung jawab pada mahasiswa yang notabenenya adalah si empunya tertinggi suatu organisasi kemahasiswaan. Bagaimana keberlangsungan suatu organisasi kemahasiswaan tak hanya berdasarkan proker (program kerja) suatu periode kepengurusan. Karena, menurut saya, jika keberlangsungan suatu organisasi hanya berdasarkan suatu proker, maka organisasi tersebut sama halnya tak berjalan dengan hatinya sendiri. Di sini lah kedewasaan intelektual seorang mahasiswa dilatih, bagaimana para mahasiswa yang menjadi pengurus organisasi mampu menjalankan proker dengan baik, serta mampu menjalankan organisasi semakin ke depan dengan tetap menggunakan ‘hati’ organisasi tersebut.

Kedewasaan intelektual tidak hanya tercermin dari kemampuan mahasiswa dalam menghasilkan karya – karya tulis yang begitu memukau. Tidak juga sebatas indeks prestasi yang tinggi atau bahkan sempurna. Juga tidak berarti hanya sebatas keberhasilan seorang mahasiswa dalam mengembangkan organisasi kemahasiswaan yang diikutinya.

Kedewasaan intelektual sejatinya adalah serangkaian pemikiran dan sikap yang pada akhirnya dimiliki oleh seorang mahasiswa. Kemampuan untuk berfikir dan mengambil sikap sesuai yang dibutuhkan keadaan tertentu. Bagaimana seorang mahasiswa memilik tanggung jawab penuh atas kewajiban utamanya dan konsekuensi atas apa yang telah menjadi pilihan hidupnya.

Kedewasaan intelektual ini lah yang nantinya menjadi suatu cikal bakal kemajuan suatu bangsa. Kedewasaan intelektual ini bukan lah suatu revolusi atau hal yang instan. Ia membutuhkan proses yang lebih dari sati dasawarsa. Maka, kemajuan suatu bangsa juga bukan suatu hal yang mudah semudah menggembar – gemborkan pembangunan infrastruktur. Kemajuan atau lebih tepatnya kedewasaan suatu bangsa hanya akan terjadi jika para mahasiswanya memiliki kedewasaan intelektual yang arif.

Memilih adalah bagian dari suatu kehidupan. Setiap mahasiswa berhak memilih untuk menentukan pilihan hidupnya. Hanya saja bagaimana merekan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut.

0 komentar:

Post a Comment