Thursday, August 19, 2010

8:03 PM - No comments

Freelance Journalist-Kompas

Freelance Journalist Kompas memberikan kesempatan untuk berkarier sebagai Freelance Journalist (kode FJ) dengan kualifikasi sebagai berikut:

1. Have ability in writing

2. Willing to be assigned on shifting schedule

3. Must have smartphone or notebook

4. With internet connectivity

Adapun kualifikasi umumnya adalah sebagai berikut:

1. Have knowledge and interest in online journalism

2. Minimum 7 th semester in any discipline

3. Proactive, fast learn, challenger, creative, good personality, good team works.

Silakan kirim sebagai portofolio Anda bersama dengan resume Anda (tidak lebih dari 200 kb) ke rekrutmen_megaportal@kompas.com menuliskan nama Anda dengan posisi untuk menerapkan sebagai subjek email Anda. Untuk info lebih lanjut tentang perusahaan kami dan menentukan persyaratan Anda dapat mengunjung ihttp://www1.kompas.com/karier.php.

Sunday, August 15, 2010

12:06 AM - No comments

How Are You, Bii :J

Aku menyaksikannya dari jauh dan sangat jauh. Karena hanya itu yang dapat aku lakukan. Setiap aku mencoba memajukan langkahku ke arahnya, selalu ia melangkah mundur dariku. Aku tak mengerti apa yang diinginkannya. Ini bukan permainan Donald bebek anak kecil.

Aku mencibirnya selalu tiap ia berusaha melemparkan secarik kertas yang telah dijadikannya seperti bola kertas. Aku menggerutu tiap ia menyanyikan lagu-lagu yang tidak aku sukai. Tapi dia tak peduli. Mungkin memang dia tidak pernah peduli.

Aku mencoba menangkap kilatan matanya. Mencoba mengartikan symbol-simbol gaib yang direfleksikan oleh kedua matanya. Tapi semakin aku mencoba berkeras melakukan semua itu, Semuanya semakin sia-sia. Justru symbol-simbol gaib pada kedua mataku lah yang berhasil ia baca. Aku menunduk seketika saat ia tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi-gigi rapi nan bersihnya. Ia lalu memajukan langkahnya ke arahku. Bukan hanya satu langkah. Tapi beberapa langkah. Dan tidak seperti apa yang dia lakukan padaku saat aku mencoba memajukan satu langkah ke arahnya, aku diam menantinya sampai tepat di hadapanku. Aku mulai mengangkat kepalaku saat melihat tapak kakinya mendekat. Pasir putih itu membekaskan tapak kakinya yang panjang dan lebih besar dari tapak kakiku.

Ia adalah hal yang tidak pernah aku hindari. Tetapi aku tidak ingin meraihnya. Aku hanya ingin ia mendekat padaku dengan langkahnya sendiri setelah menyadari symbol-simbol gaib pada pancaran mataku.

Tidak seperti senja yang hanya seketika yang lalu berganti malam. Penantian itu panjang jika direnungi. Seperti saat aku merenungi begitu panjang waktu hampa yang aku miliki hanya dengan melihatnya dari jauh. Tapi aku tak pernah ingin merenungi penantian itu. Aku tidak pernah ingin meyakini ia akan datang padaku dengan sendirinya. Aku hanya ingin bayangannya jatuh tepat pada retinaku selalu.

Pada saat bumi tiba untuk diguyur hujan. Aku semakin bahagia melihatnya. Aku menangkap segala tentangnya tepat di retina mataku. Aku pun dapat mendengar segala fantasi jenaka yang diceritakannya dengan mengumbar tawa.

Setiap hari aku lalui dengan aliran dendangan yang memekakan hati. Membelalakan nurani. Semua yang menyebalkan menjadi menyenangkan saat bayangannya jatuh tepat pada retinaku. Ia bukan obat. Tapi ia mengobati kejenuhan dengan segala apa yang dapat kulihat darinya.

Semuanya sederhana. Dan aku ingin semuanya tetap sederhana. Sesederhana air yang melunturkan tinta. Sesederhana gaya gesek yang tercipta saat kedua benda bergesekan. Aku tak ingin menjadikannya menjadi kompleks. Seperti halnya syaraf menerima impuls berikut reaksinya.

Tidak ada lagi yang dapat diceritakan dari dirinya selain apa yang telah aku sebutkan. Aku masih menantinya dengan terus melihat ke arahnya. Aku mencoba tidak memenuhi bagian lain otakku dengan semua akan dirinya. Aku ingin dia menjadi satu titik dimana aku akan berkata, “Semua baik-baik saja.”

Di kemudian hari yang begitu lama, berikutnya aku menemukan dirinya alagi, setelah sekian lama ia menghilang tanpa ada petunjuk. Entah Tuhan mengabulkan keinginan hatiku yang iseng atau apa. Yang jelas, sedikit demi sedikit aku menemukannya. Serpihan – serpihan kecil akan hidupnya kutemukan dan ku rangkai perlahan dengan begitu hati – hati. Sungguh seperti negeri dongeng, menemukan dirinya kembali. Sesuatu yang selama ini hanya menjadi dendangan hidupku.

Seperti sebuah bola yang lama berada di atas sebuah dinding yang begitu tinggi dan memiliki energy potensial yang begitu besar. Lalu, seketika angin berhembus kencang, hingga membuat bola itu menggelinding menelusuri dinding dengan kecepatan tinggi dan energy kinetik yang besar pula. Seperti itu lah hatiku. Sekian lama tenang dan kini kembali terusik. Hanya euphoria mungkin. Ketakjuban akan takdir Tuhan.

Entah harus senang atau sedih. Tapi kini aku dapat membiarkannya di hadapanku dengan lebih tenang. Entah ia tengah memperhatikanku atau tengah menatapku. Toh, aku memiliki hidupku sendiri. Lebih dari sekedar menyadari kehadirannya di dalam hidupku. Ia hanya persinggahan yang begitu kecil. Sedikit meneguk secangkir espresso di kedai kopi. Setelah habis, aku akan pulang ke rumah.

Friday, August 13, 2010

10:26 AM - No comments

Kepada Tuhan dan Manusia Lain

Kepada

Yth.

Tuhan dan Manusia Lain


Dengan hormat,


Saya ini manusia. Manusia yang punya nafsu dan akal. Saya mempunyai banyak kesalahan serta ketidaktahuan. Entah mau anda sebut apa kesalahan dan ketidak tahuan saya itu. Saya memang tidak akan pernah mampu untuk menjadi sempurna. Karena Tuhan saya adalah yang MahaSempurna. Saya memang ditakdirkan penuh dengan kekhilafan dan mungkin bisa saja dengan kemunafikan. Lalu saya hanya mampu meminta maaf atas ketidak sempurnaan saya tersebut. Selanjutnya, Insya Allah, saya akan memperbaiki ketidak sempurnaan saya. Saya tahu, sebesar apapun upaya saya untuk memperbaiki ketidak sempurnaan saya itu, saya tidak lantas menjadi sempurna. Saya ya seperti ini. Dengan ketololan dan kesalahan.


Saya mungkin telah menyakiti banyak hati manusia. Dengan perkataan, tatapan, sifat, atau keputusan – keputusan yang saya ambil. Saya hanya dapat mengatakan, “ini proses saya”. Proses saya selama menjadi manusia. Sebagai manusia saya tidak akan pernah berhenti berproses, karena akhir dari proses itu sendiri nantinya adalah berada pada hari akhir. Entah di surga atau di neraka. Lalu bagi manusia – manusia lain yang pernah saya sakiti, saya hanya dapat mengatakan, “saya minta maaf dan saya berterimakasih, atas kesempatan saya berproses sebagai manusia”. Tapi di antara proses itu sendiri, saya memiliki kewajiban. Kewajiban untuk berbenah diri dan berbenah hati. Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak lah diciptakan untuk sempurna seutuhnya.


Kerap saya berada pada titik dimana saya sudah menjadi manusia yang paling hina dengan kesalahan – kesalahan fatal yang saya miliki. Lalu saya merasa tak ada satu orang pun yang dapat membantu saya. Tak ada satu orang pun yang dapat merasakan bagaimana rasa hina itu menusuk relung hati dan membuyarkan segala kemampuan saya dalam berfikir. Di saat itu, saya kerap berfikir, andai saya hanya menjadi manusia yang pendiam dan mengikuti segala arus aman dalam hidup. Atau, andai saya adalah manusia lain. Kerap pula, saya merasa, masalah orang lain jauh lebih ringan dibandingkan dengan apa yang saya alami. Saya sudah menjadi iri saat itu. Saya sudah menjadi manusia yang tidak bersyukur atas segala apa yang diberikan oleh Tuhan saya yang baik. Maafkan saya, Tuhan…


Lalu di saat seperti itu, saya hanya mampu datang kepada Tuhan yang telah lama saya tinggalkan. Dengan segala rasa malu dan hina, saya sudah tak lagi mampu datang kepada manusia – manusia lain yang dulu kerap saya datangi dan saya bagikan kebahagiaan. Ya. Saya lupa berucap syukur atas kebahagiaan. Dan Tuhan saya memberikan rasa hina dan malu untuk mengingatkan betapa saya adalah ‘nol’ tanpa kuasa-Nya. Tangan Tuhan tengah bekerja. Itu yang saya yakini. Tangan Tuhan memang selalu bekerja. Dengan cara yang luput dari fikiran saya. Saya datang kepada Tuhan dengan rapuh yang sebentar lagi memunahkan saya sebagai manusia. Saya datang kepada Tuhan tanpa arti apa pun. Tak ada jabatan, harta, kepandaian, bahkan kesombongan yang kerap saya jadikan pakaian sehari – hari. Tak ada rasa lebih saat saya datang kepada Tuhan. Saat saya datang kepada Tuhan, sungguh, hanya ada satu keinginan, “Tuhan kembalikan saya kepada asal saya”. Kembali kepada Tuhan adalah hal terbaik bagi saya, saat saya datang kepada-Nya. Betapa damai mungkin rasanya. Berkunjung ke rumah Tuhan saja rasanya ketenangan sudah membasuh saya. Saya tanpa ‘apapun’.


Tuhan, dengan segenap hina, saya hanya dapat memohon petunjuk. Untuk segala perkara dan untuk memperbaiki kesalahan yang ada pada saya. Saya menginginkan hati saya lagi untuk dapat merasakan syukur. Rasa membutuhkan sedikit kekuatan-Mu untuk memperbaiki ketidak sempurnaan saya.


Hati manusia lain yang pernah saya sakiti, saya menerima segala makian anda. Karena memang saya bersalah. Saya menerima ketidak ramahan atas keputusan yang membuat manusia lain tidak nyaman. Dan terimakasih atas kesempatan saya untuk berproses.



Hormat Saya,


Manusia hina dan tidak sempurna

Tuesday, August 10, 2010

12:54 AM - No comments

Doa dan Bunga Untuk Eyang :)

kembali saya sampai di tempat yang menjadi idaman masa depan semua manusia pada ujungnya. Tempat yang banyak disapa oleh semilir angin pantai. Dimana atapnya tak terlalu tinggi, namun begitu nyaman untuk bersantai. Saya membayangkan jika suatu hari nanti saya di sini pasti jiwa saya akan sangat bahagia. Tempat dimana ujung dari segala usaha keras kita selama hidup. Tak ada yang dapat memilih desainnya. Semuanya sama setara. Tak ada emas yang melapisi dindingnya atau keramik cina yang menjadi hiasan pada dindingnya. Semuanya bersatu dengan bumi. Dan memang kepada bumi lah kita akan kembali.

Ingatanku langsung melayang pada masa – masa lampau saya. Dimana ada kue ulang tahun di setiap pertengahan bulan Juni. Ada nasi goreng yang tak akan pernah lagi dapat saya temui rasa yang seperti itu, setiap kali saya menginginkannya. Pijatan – pijatan lembut pengantar tidur. Atau petuah – petuah saat berada di ruang tengah. Semuanya itu bagian dari hidup saya. Saya berterimakasih kepada anda wahai Tuhan yang baik J

Saya masih dapat mengingat dengan begitu jelas. Sepertinya hal itu baru saja terjadi. Dua gundukan tanah, tetapi satu gundukan telah bernisan. Di bawah tanah itu lah, ada sebuah ruang hampa yang besar. Dimana di dalamnya dua jasad manusia yang begitu berarti dalam hidup saya. Saya mencintai mereka, mungkin dapat melebihi cinta saya kepada kedua orang tua saya. Saya begitu merasa mereka menyayangi saya melebihi orang tua saya sendiri. Lalu dua tahun yang lalu semuanya berubah. Saya benar – benar sendirian.

Delapan tahun atau dua tahun atau bahkan bertahun – tahun yang lebih lama, saya masih mengingat jelas setiap detil pemakaman mereka. Bagaimana mereka tersenyum dalam tidur panjangnya. Senyum bahagia karena telah sembuh dari sakit yang menggelayuti mereka selama beberapa saat di akhir hidup mereka. Di satu sisi saya bahagia karena mereka telah sembuh. Tapi toh, sisi hati saya yang lain tak dapat memungkiri bahwa saya begitu kehilangan. Saya begitu menjadi sendiri. Dua hari tepat sebelum ulang tahun saya dan dua hari tepat setelah pengumuman kelulusan saya. Ada duka yang mungkin tak mampu sirna di antara dua saat bahagia dalam hidup saya. Kado bagi umur saya yang delapan belas.

Hingga kini, air mata saya masih dapat mengalir deras jika saya betul – betul mengingat mereka. Saya tak dapat menguatkan kerapuhan saya di saat seperti itu. Entah saya sudah ikhlas atau belum. Tapi air mata saya masih belum habis untuk mereka, bahkan mungkin tak akan habis. Saya dapat merasakan kehilangan yang begitu besar. Sepertinya jiwa saya sudah tak memiliki pendamping. Begitu sebatang kara. Dan air mata lah yang hadir menemani. Memberikan jalan pada sesak untuk merajai diri saya.

Mulai sekarang hingga nanti, hanya bunga dan doa yang dapat saya bawakan kepada mereka. Saya hanya dapat bercerita kepada dua gundukan tanah. Saya hanya dapat terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik.

Eyang,

Ini doa, sebagai penebus kasih sayang yang tidak pernah dapat terbalaskan.

Eyang,

Ini bunga, sebagai pengganti kue ulang tahun dan sepiring nasi goreng.

Eyang,

Ini semua cerita, sebagai pengganti pijatan halus penghantar tidur.

Eyang,

Ini mimpi yang akan jadi nyata, untuk semua petuah yang pernah saya terima.

Eyang,

Itu keikhlasan, walau mungkin ia masih jauh, tapi saya ingin memilikinya.

Terimakasih Tuhan, untuk apa yang telah saya miliki. Engkau yang menghendaki suatu mula, dan kepada-Mu pula lah semua mula itu berakhir.

Monday, August 2, 2010

9:44 AM - 1 comment

Hay, Agustus!

Hay, Agustus!

Bulan baru untuk hidupku yang entah masih sampai kapan. Hanya ada si “rasa syukur” yang menepukku dari belakang dan aku pun mengucapnya dari mulutku yang kerap tak beraturan ini. Matahari Agustus begitu hangat. Bulan terakhir bulan Juli kemarin lumayan indah dengan sebuah bintang yang ternyata masih di sampingnya sampai subuh berkumandang. Bintang yang benar – benar setia. Saat subuh pertama di bulan Agustus tiba aku pun memijakkan kakiku di bumi, di luar rumahku. Hawanya memang begitu dingin. Aku memang tak terlalu bersahabat dengan hawa seperti itu, tapi toh tak ada salahnya mencoba bersahabat dengan hawa yang kerap membuatku tak ingin beranjak dari ranjang.

Aku selalu takjub pada langit. Entah saat terang maupun gelap. Langit subuh. Sudah lama aku tak melihatnya. Entah sudah berapa lama aku hanya dapat melihat langit siang dan malam. Hanya dua jenis langit itu. Sementara langit subuh dan senja. Benar – benar aku rindu pada mereka. Seperti apa ya senyum mereka. Tapi pada awal Agustus aku telah melepas rindu pada langit subuh. Ia masih cantik. Masih dengan sepasang bulan dan bintang yang sebentar lagi akan pergi. Sepasang benda langit itu seperti mengiringi langkahku keluar dari rumah. Menapaki jalanan sepi dan dingin hanya terdengar beberapa anjing tetangga yang menyalak pagi hari. Ah, rinduku pada langit senja belum terobati. Entah kapan aku akan melepas rindu dengannya.

Hawa subuh. Adalah hal yang selanjutnya aku rindukan. Dan kini ia memelukku erat. Menelusuri lubang hidungku dan seluruh saluran pernafasanku. Menyiram paru – paruku dengan dinginnya yang lembut tak mematikan. Paru – paruku pun terasa begitu berbahagia. Ya. Terimakasih Tuhan, untuk hawa subuh ini. Dalam – dalam aku menarik nafas pada hawa subuh. Seolah sebentar lagi ia akan pergi jauh. Dan memang dalam hitungan kurang dari satu jam ke depan ia akan pergi jauh.

Lengangnya jalanan begitu aku suka. Lama aku tak menyapa jalanan yang lengan seperti ini. Entah kapan lagi aku akan menyapa jalanan lengang kota tua yang sangat ingin aku tinggalkan ini. Hanya ada satu dua orang yang kutemui selama di jalan. Senyum pagi pun terlontar dari wajah – wajah yang masih asli tanpa polesan. Masih segar tanpa polusi.

Pagi dan senja. Adalah suatu anugerah Tuhan yang indah. Wajar jika aku mencintai keduanya. Dan awal Agustus adalah pelepasan rinduku pada langit subuh, hawa subuh, serta jalanan lengang. Terimakasih karena telah membuatku bersahabat dengan dingin yang sering tak ramah pada tubuhku. Terimakasih karena sekaligus mengingatkanku pada Tuhan (sekali lagi). Terimakasih karena telah mengobati rinduku.

Hay, langit senja. Suatu waktu nanti, aku akan melepas rindu denganmu. Entah dikarenakan apa atau memang karena kerinduanku sendiri pada dirimu. Selamat datang Agustus J