Aku menyaksikannya dari jauh dan sangat jauh. Karena hanya itu yang dapat aku lakukan. Setiap aku mencoba memajukan langkahku ke arahnya, selalu ia melangkah mundur dariku. Aku tak mengerti apa yang diinginkannya. Ini bukan permainan Donald bebek anak kecil.
Aku mencibirnya selalu tiap ia berusaha melemparkan secarik kertas yang telah dijadikannya seperti bola kertas. Aku menggerutu tiap ia menyanyikan lagu-lagu yang tidak aku sukai. Tapi dia tak peduli. Mungkin memang dia tidak pernah peduli.
Aku mencoba menangkap kilatan matanya. Mencoba mengartikan symbol-simbol gaib yang direfleksikan oleh kedua matanya. Tapi semakin aku mencoba berkeras melakukan semua itu, Semuanya semakin sia-sia. Justru symbol-simbol gaib pada kedua mataku lah yang berhasil ia baca. Aku menunduk seketika saat ia tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi-gigi rapi nan bersihnya. Ia lalu memajukan langkahnya ke arahku. Bukan hanya satu langkah. Tapi beberapa langkah. Dan tidak seperti apa yang dia lakukan padaku saat aku mencoba memajukan satu langkah ke arahnya, aku diam menantinya sampai tepat di hadapanku. Aku mulai mengangkat kepalaku saat melihat tapak kakinya mendekat. Pasir putih itu membekaskan tapak kakinya yang panjang dan lebih besar dari tapak kakiku.
Ia adalah hal yang tidak pernah aku hindari. Tetapi aku tidak ingin meraihnya. Aku hanya ingin ia mendekat padaku dengan langkahnya sendiri setelah menyadari symbol-simbol gaib pada pancaran mataku.
Tidak seperti senja yang hanya seketika yang lalu berganti malam. Penantian itu panjang jika direnungi. Seperti saat aku merenungi begitu panjang waktu hampa yang aku miliki hanya dengan melihatnya dari jauh. Tapi aku tak pernah ingin merenungi penantian itu. Aku tidak pernah ingin meyakini ia akan datang padaku dengan sendirinya. Aku hanya ingin bayangannya jatuh tepat pada retinaku selalu.
Pada saat bumi tiba untuk diguyur hujan. Aku semakin bahagia melihatnya. Aku menangkap segala tentangnya tepat di retina mataku. Aku pun dapat mendengar segala fantasi jenaka yang diceritakannya dengan mengumbar tawa.
Setiap hari aku lalui dengan aliran dendangan yang memekakan hati. Membelalakan nurani. Semua yang menyebalkan menjadi menyenangkan saat bayangannya jatuh tepat pada retinaku. Ia bukan obat. Tapi ia mengobati kejenuhan dengan segala apa yang dapat kulihat darinya.
Semuanya sederhana. Dan aku ingin semuanya tetap sederhana. Sesederhana air yang melunturkan tinta. Sesederhana gaya gesek yang tercipta saat kedua benda bergesekan. Aku tak ingin menjadikannya menjadi kompleks. Seperti halnya syaraf menerima impuls berikut reaksinya.
Tidak ada lagi yang dapat diceritakan dari dirinya selain apa yang telah aku sebutkan. Aku masih menantinya dengan terus melihat ke arahnya. Aku mencoba tidak memenuhi bagian lain otakku dengan semua akan dirinya. Aku ingin dia menjadi satu titik dimana aku akan berkata, “Semua baik-baik saja.”
Di kemudian hari yang begitu lama, berikutnya aku menemukan dirinya alagi, setelah sekian lama ia menghilang tanpa ada petunjuk. Entah Tuhan mengabulkan keinginan hatiku yang iseng atau apa. Yang jelas, sedikit demi sedikit aku menemukannya. Serpihan – serpihan kecil akan hidupnya kutemukan dan ku rangkai perlahan dengan begitu hati – hati. Sungguh seperti negeri dongeng, menemukan dirinya kembali. Sesuatu yang selama ini hanya menjadi dendangan hidupku.
Seperti sebuah bola yang lama berada di atas sebuah dinding yang begitu tinggi dan memiliki energy potensial yang begitu besar. Lalu, seketika angin berhembus kencang, hingga membuat bola itu menggelinding menelusuri dinding dengan kecepatan tinggi dan energy kinetik yang besar pula. Seperti itu lah hatiku. Sekian lama tenang dan kini kembali terusik. Hanya euphoria mungkin. Ketakjuban akan takdir Tuhan.
Entah harus senang atau sedih. Tapi kini aku dapat membiarkannya di hadapanku dengan lebih tenang. Entah ia tengah memperhatikanku atau tengah menatapku. Toh, aku memiliki hidupku sendiri. Lebih dari sekedar menyadari kehadirannya di dalam hidupku. Ia hanya persinggahan yang begitu kecil. Sedikit meneguk secangkir espresso di kedai kopi. Setelah habis, aku akan pulang ke rumah.