Tuesday, September 28, 2010

8:48 AM - No comments

Let Me Tell You About Something

Let me tell you about something…

I’d ever seen how a boy makes his kite fly away

How he’s so excited..

Many happiness in his eyes..

I’d ever heard, how a girl cry..

She was crying on something that she loves

When she lost something, when she cant find something new latter..

I’d ever gone to a place that make me comfort and deleted all my pains..

I’d ever lost something that can make me so meaningful

When I feel emptiness in my heart..

Can you see the beautiful rainbow after the rain?

I can see it

can you believe in that there’s a beautiful place over the rainbow?

I believe in

Do you believe that God always loves you?

I believe in My God

Can you hear I whisper, “I trust on you. Everything that you do, that you say”

Even you never believe in me..

No matter..

Someday, in somewhere, with someone, I’ll find something and I’ll be meaningful

J

Sunday, September 26, 2010

8:57 PM - No comments

Tuhan Itu Sayang :J

Aku kerap merasa sendiri..
Aku kerap merasa terasing..
Aku kerap mendapati kekecewaan..
Aku kerap terdekap kelelahan..
Aku kerap mengeluh kejenuhan..
Tapi aku pun kerap tak sadar bahwa Tuhan selalu penuh menyayangi..
Tak ada detik tanpa kasih-Nya.

8:53 PM - No comments

Kemenangan Hidup

Apa yang akan dimiliki hidup jika tak ada petualangan dan kesalahan?
Karena sesungguhnya hidup itu bertualang dan mencari kebenaran di antara kesalahan-kesalahan yang ada.
Hidup itu bagaimana berjalan tenang di atas beban penat yang membuncah.
Kadang kala kita tak sadar bahwa kepenatan adalah suatu awal dari kekuatan baru yang terpendam.
Sering kita melihat bahwa penat adalah kebosanan yang harus ditinggalkan,tapi padahal sesungguhnya penat adalah harus kita lawan dan menindasnya hingga dia jadi pecundang.
Pecundang dalam hidup adalah mereka yang tak pernah sadar bahwa hidup mereka itu sesuatu kebaikan,suatu anugerah.

Mengapa hidup adalah kebaikan dan anugerah?

Sadarkah bahwa kita adalah pemenang.
Pemenang dari berjuta-juta sperma yang ingin menembus dinding sel telur.maka dari itu seharusnya kita pula lah pemenang atas diri,hidup,dan emosi kita.

Memenangkan hidup bukan lah perkara mudah memang.
Tapi tidak kah kita ingat, bahwa ada Tuhan yang selalu ada untuk kita berteduh dan menyusun kekuatan untuk menang dari diri,hidup,dan emosi kita..

Friday, September 24, 2010

8:42 AM - No comments

Anda

Saya suka malam yang datang terlalu larut dan lupa diri

Saya suka hujan yang tak pernah berhenti hingga telapak kaki begitu beku

Saya suka dengan kekanak- kanakan yang selalu muncul dalam tubuh yang dewasa

Karena itu adalah kebahagiaan

Kebahagiaan itu adalah Anda.

J

Friday, September 17, 2010

3:06 AM - No comments

Sebuah Rumah Tua

Sebuah rumah tua adalah hanya sebuah bangunan lama yang tetap berdiri di tengah modernnya bangunan – bangunan lainnya di sekitar. Sebuah rumah tua yang hanya diam tak bergerak. Si pemilik hanya memperbaikinya dan mencoba tetap membuatnya berdiri kokoh walau pun si pemiliknya pun telah renta. Rumah itu tadinya baru dan ramai. Riuh oleh celoteh bocah yang menggemaskan sekaligus menjengkelkan. Namun, seiring waktu, rumah itu menjadi tua. Separuh abad sudah rumah itu merasakan sengatan mentari. Menikmati dinginnya malam. Menyesap acuh pada titik – titik hujan yang tak juga berhenti.

Tapi rumah itu tak sekedar rumah tua. Ia tak hanya diam seperti bentuknya. Ada banyak kenangan yang di simpan oleh rumah itu. Kapasitas penyimpanannya tak terbatas. Sekali pun si pemilik nantinya telah pikun. Ada banyak tawa dan tangis yang menjadi dendang bagi rumah itu. Ada banyak luka dan kebahagiaan yang menyertai keberlangsungan waktunya. Jaman memang berganti tapi rumah itu tetap saja berdiri seperti semula didirikan. Tanpa pernah lelah dan iri pada sekitarnya yang terlihat semakin cantik seiring dengan modernnya jaman.

Di dalam rumh tua itu ada lima kamar tidur. Satu kamar tidur utama yang hingga kini diskralkan. Bukan disakralkan seperti ada hal magis. Tapi begitu dihormati, hingga tak sembarangan orang dapat memasukinya. Ada sebuah dapur yang begitu besar di bagian belakangnya. Ada dua kamar mandi, dengan satu kamar mandi yang begitu besar. Ada sebuah ruang keluarga dan dua ruang tamu yang hangat. Dan ada sebuah kebun yang lumayan luas di bagian paling belakangnya dengan sebuah kolam yang tadinya berisi ikan guramih. Rumah itu sebenarnya biasa saja. Seperti kebanyakan rumah tua lainnya. Rumah sebuah keluarga dengan empat anak yang pada akhirnya satu per satu meninggalkan rumah itu untuk menjalani kehidupannya. Lalu yang tertinggal hanya lah sepasang orang tua. Sepasang kakek nenek yang tetap bahagia di dalam rumah itu. Tetap menyambut kedatangan anak – anak dan cucu – cucunya setiap liburan datang.

Banyak hiasan keramik – keramik kecil di rumah tua itu. Banyak pula koleksi perkakas makan dan cangkir – cangkir. Menandakan si empunya mengagumi koleksi perkakas makan. Jendela dan pintunya kebanyakan terbuat dari kaca, sehingga sinar matahari dengan mudahnya dapat memasuki rumah itu dengan riang gembira. Tak ada foto yang terpajang di dinding rumah itu. Atau tergeletak di atas meja mana pun di rumah itu. Foto – foto semuanya terletak di dalam album foto yang tersimpan rapi pada salah satu lemarinya. Sedari dulu rumah itu berdinding kuning muda yang hangat dan kayu – kayu pintu dan jendelanya berwarna biru. Selalu begitu. Setiap tahun tak pernah warna – warna itu berubah. Perabotnya hamper semuanya berwarna coklat. Ya. Kuning, biru, dan coklat. Entah mengapa tiga warna tersebut tak pernah lekang dalam waktu separuh abad.

Di setiap malam takbiran rumah tua itu selalu riuh dengan suara – suara cucu si empunya rumah. Cucu – cucu ciliknya yang kebanyakan laki – laki. Tepat setelah makan malam pasti nyala kembang api, yang pada siang sebelumnya telah dijemur dengan telaten oleh cucu – cucu si empunya rumah, terlihat indah dari ruang tamu yang terletak agak ke dalam rumah. Lalu beberapa mercon air mancur yang jumlahnya lebih sedikit daripada kembang api yang menyumbangkan nyala paling besar. Kembang api digantungkan berjajar rapi pada tali – tali jemuran dan dinyalakan bersamaan. Itu lah malam paling semarak sepanjang tahun di rumah tua itu. Tawa geli dan teriakan cemas orang dewasa tak lekang mengiringi indahnya kembang api di malam takbir.

Di esok harinya. Setelah acara sungkeman berlangsung, tibalah waktu bermain bagi cucu – cucu si empunya rumah. Petak umpet adalah permainan favorit mereka. Kaki – kaki kecil itu pun terdengar ke seluruh penjuru rumah hingga menimbulkan teriakan – teriakan cemas dari orang – orang dewasa. Tempat bersembunyi mereka ada di bawah kolong tempat tidur, di balik lemari, di dalam lemari, bahkan sampai ke kebun belakang. Setahun sekali rumah tua itu serasa menjadi rumah yang baru.

Jika waktu makan tiba, berarti tiba lah waktu bagi suara sendok dan piring beradu. Bahkan terkadang disertai suara piring atau gelas yang pecah. Suara celoteh pun tetap terdengar walau pun waktu makan tiba. Itu lah kebahagiaan di rumah tua itu. Itu lah kenangan yang tersimpan dalam rumah tua itu. Mulai hari ketiga lebaran, rumah tua itu akan perlahan menjadi sepi, hingga genap seminggu pertama di bulan syawal berlalu. Yang tertinggal kembali hanya lah sepasang kakek dan nenek. Sepasang manusia yang mulanya hanya berdua dan kini kembali berdua.

Pot – pot tanaman di rumah tua itu begitu banyak ditumbuhi suplir. Dari depan rumah hingga kebun belakang. Kelebatan suplir yang hijau pasti menyegarkan mata. Suplir itu begitu telaten dirawat oleh sang nyonya rumah. Disiram dengan sisa air rendaman teh.

Hingga sampai pada suatu tahun rumah tua itu menemui duka pertamanya. Awan hitam menyelimuti langit rumah tua itu. Air mata tak henti menetes seiring dengan hujan yang terus mengguyur, cerminan banyak hati yang menangis. Takdir Tuhan tengah terjadi. Ini adalah apa yang sudah digariskan. Semua penghuni rumah hanya dapat menerima dan mengikhlaskan. Sebuah sesi kehidupan yang baru memang sudah seharusnya dijalani.

Bulan sepuluh 2002 adalah awan mendung bagi rumah tua itu. Kini tinggal seorang lelaki tua yang setia ada di dalam rumah tua itu. Merawat rumah itu dengan sisa – sisa tenaga yang dimilikinya. Dengan ketelitian yang belum juga pudar walau setengah abad sudah terlampaui jauh. Ia masih dengan kasih sayangnya. Hanya kini, kesendirian menjadi teman barunya. Dan kerinduan akan anak dan cucunya semakin membuncah di setiap hari. Hanya saat libur sekolah lah yang begitu dinantinya. Dimana ada celoteh cucu – cucunya dan mungkin suara gelas yang pecah saat acara makan malam.

Malam – malam lebaran selanjutnya tak sesempurna biasanya. Tak ada rasa nastar dan kastengel yang sama seperti yang dulu. Tak ada opor dengan aroma yang sama seperti sebelumnya. Ini lah sesi baru dalam rumah tua itu. Kehangatannya masih saja sama. Namun kesepian juga kadang menari begitu gemulai. Langkah – langkah kecil itu pun semakin menjadi dewasa. Semakin tak ada suara anak – anak berlari. Berganti dengan cerita semalam suntuk dari kehidupan masing – masing.

Rumah tua itu selalu rapi seperti biasanya. Semua diletakkan pada tempatnya. Semuanya terawat, seakan debu enggan menebalkan dirinya di dalam rumah tua itu. Rumah itu selalu ramai di saat libur lebaran. Hingga menginjak tahun keenam setelah awan mendung pertama di rumah tua itu. Itu lah mendung kedua bagi rumah tua itu. Sekali lagi hujan turun dengan kesedihan. Jika kesedihan itu adalah debu, maka hujan yang deras tak mampu menaklukkan debu. Semuanya di akhiri dengan senyum yang satu dan air mata yang lainnya. Begitu lah akhir dari suatu hidup. Rasa dingin yang lebih menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Rumah tua itu menyiratkan suatu ketakutan. Takut kesepian. Takut tak ada yang merawat, takut tak berpenghuni. Takut tak ada kehangatan yang akan mengisinya lagi.

Dan memang, rumah tua itu benar – benar menjadi rumah tua. Sepi. Ada gurat sedih pada rumah itu. Tapi gurat sedih itu akan sesegera mungkin hilang saat ada yang mengunjunginya. Membersihkan seluruh penjurunya. Memandangi foto – foto dan mengingat kembali kenangan yang tak pernah mau lari begitu saja.

Memang bukan lagi ‘untuk siapa’ jika datang ke rumah tua itu. Tapi ‘untuk apa’. Untuk bersilahturahmi dengan kenangan yang tersimpan begitu banyak di dalam rumah itu. Memang tidak ada lagi nyala kembang api di setiap malam lebaran. Tak ada lagi nastar dan kastengel yang tertata rapi di setiap meja tamu dan ruang keluarga. Tak ada lagi langkah – langkah kecil yang berlarian dan suara teriakan orang – orang dewasa. Semuanya itu ada pada kenangan yang tersimpan rapi oleh rumah tua. Begitu rapi hingga begitu syahdu saat diingat. Begitu menenangkan walau memang pada akhirnya air mata yang ternyata menemani mengenangnya.

Untuk kasih sayang lah rumah itu dibangun. Untuk kehangatan lah rumah itu dipertahankan. Untuk cinta yang ikhlas dan tanpa batas lah rumah itu tetap berdiri. Di sana masih ada harapan dan cita – cita jika ingin ada yang mendengarnya. Ada kenangan yang tak terhingga jika ingin menyapanya. Ada doa dan petuah jika ingin merenungkannya.

Untuk semua yang masih memiliki cinta, kasih sayang, keikhlasan, dan harapan,

Memang hanya kenangan yang ada saat berkunjung ke sana. Tapi kenangan itu lah yang membuat semua yang ada saat ini nyata. Yang membuat tapak – tapak kaki merasakan kerikil, jalanan aspal, dan keramik mengkilap.

JJJ

listen this song when you read this part : Pulang Ke Hatimu

Thursday, September 16, 2010

11:27 PM - No comments

Hay, Carmelito :J

Hay, sekarang aku dengan carmelito hangatku. Perpaduan serasi antara espresso dan caramel yang lembut. Kelembutannya menyapa lidah, dinding mulut, dan kerongkonganku. Ini baru untukku. Bukan lagi kepekatan espresso atau kemanisan cappuccino yang ku jamah. Aku berkenalan dengan carmelito.

Di sini, di pinggiran jalan. Di dalam ruangan kaca dimana aku dapat melihat lalu lalang kendaraan dengan jelas. Lamat – lamat suara deru mesin kendaraan pun masih dapat ku dengar. Ya. Di tempat ini lah aku dan carmelito menghabiskan waktu. Mencoba menahan air mata yang sudah tak sabar ingin berpesta.

Di malam yang nama Tuhan disebut berkali – kali. Diteriakkan dengan syahdu dan begitu menggetarkan hati. Hati saya memang bergetar mendengar nama Tuhan. Saya sadar ada banyak salah yang bertumpuk dan mungkin terlalu susah untuk ditebus satu persatu. Di malam ini saya benar – benar merasa menjadi manusia. Rendah. Saya bukan apa – apa, tapi terlalu sering melupakan yang telah membuat saya ada. Tapi di satu sisi, saya hampir membenci malam ini. Benci malam ini saat aku harus melewatkannya di kota kelahiranku sendiri. Selalu ada banyak harapan agar aku tidak melewatkan malam di kota ini.

Berkali – kali aku menjumpai sekelompok orang yang merayakan kemenangan setelah sebulan penuh lamanya menahan hawa nafsu manusiawi mereka. Mereka begitu larut dalam haru kegembiraan. Mungkin banyak dari mereka yang bahagia karena di hari esok akan ada angpao yang akan mendarat di tangan mereka. Tapi aku sendiri merasakan haru yang sesungguhnya. Berkali – kali air mataku ingin menetes. Sedih? Ya mungkin saja. Sedih bercampur haru mungkin. Haru karena sungguh hatiku bergetar mendengar nama Tuhan disebut berkali – kali. Haru karena aku masih dapat merasakan bulan suci lagi. Sedih, karena tak lagi dapat ku dengar suara takbir yang dikumandangkan begitu dekat dengan rumah. Tak ada nyanyian pujian untuk Tuhanku yang baik yang semerdu saat aku masih kecil. Tak ada canda tawa yang turut serta mengiringi suara takbir. Canda tawa sederhana hingga malam larut dan semua orang tertidur pulas di ruang TV. Tak ada lagi petuah yang selalu sama di setiap tahunnya. Tak ada lagi rumah tua yang hangat untuk berkumpul dan berbagi cerita, walau pun sekedar cerita jatuh dari sepeda atau cerita bagaimana bermain layang – layang.

Di sini. Di balik ruangan kaca aku dapat merasakan angin di luar sana yang membelai lembut jalanan malam kota yang tak juga lengang. Aku melihat tawa yang tergaris di wajah anak – anak yang mengikuti pawai takbir. Baru aku sadar, tak pernah sekali pun aku mengikuti pawai seperti itu. Malam takbirku hanya dihabiskan di rumah tua yang hangat dengan canda tawa dan cerita – cerita konyol. Semaraknya kembang api yang digantungkan di tali jemuran lalu dinyalakan bersamaan dan beberapa mercon air mancur yang membuat pasang – pasang mata anak – anak melotot kagum. Semua itu cukup. Kehangatan keluarga bahkan lebih dari cukup bagiku. Dan kini begitu aku rindukan. Makan malam sederhana namun selalu riuh. Atau suasana pagi yang selalu dipenuhi dengan perintah untuk segera bangun, sholat, dan mandi, padahal selayaknya anak – anak, pasti lah malas untuk sesegera mungkin mandi. Kalimat – kalimat yang tak pernah berhenti terlontar saat kaki – kaki kecil berlarian saat bermain petak umpet. Atau nada kesal saat suara kaca pecah terdengar begitu nyaring ke seluruh penjuru ruangan dan kadang diikuti suara tangis seorang anak yang kepalanya terbentur pojokkan jendela kayu. Semuanya begitu lekat dalam ingatanku. Kenangan – kenangan tersebut menjalar diingatanku seperti lagu lama yang berputar merdu.

Mungkin saat ini waktu tengah menunjukkan kekuatannya yang begitu sakti. Semua akan berubah sesuai waktu. Semua memiliki waktunya sendiri. Semua indah pada waktunya. Memang. Pada waktu itu semuanya indah. Mungkin kini waktu indah itu sedang menghampiri sekumpulan anak kecil yang lain. Anak kecil lain yang masih sering terjatuh dari sepeda dan bermain layangan. Memeluk jiwa – jiwa anak kecil yang masih syahdu menjemur kembang api di siang hari dan menyalakannya di malam hari.

Hay,carmelito yang lembut. Apa yang kini kau rasakan setelah mendengar ceritaku? Mungkin jika aku memiliki kelembutan sepertimu aku akan terus tersenyum. Aku akan terus memberikan ketenangan dan kelembutan pada orang lain. Mungkin kerinduan dan kesedihan akan dengan cepat pergi dari diriku.

Salam kenal untukmu Carmelito dan terimakasih karena telah menemaniku malam ini J

Yogyakarta, September 9th 2010

Terimakasih Tuhan yang baik atas malam yang syahdu J

Sunday, September 5, 2010

4:33 PM - No comments

Secangkir Espresso Dalam Hati Saya

Anda memang lah pekat. Seperti espresso yang begitu khas. Anda hitam dan memiliki crema yang menawan. Tak ada variasi dalam diri anda. Tak ada rasa manis dalam diri anda yang sesungguhnya. Saya tahu hanya ada pahit saat saya merasakan anda. Tapi itu bukan hal yang dapat membuat saya membenci anda. Bahkan sampai saat ini. Saya masih selalu merasakan anda. Dengan atau tanpa anda tahu. Saya masih tetap menjadikan anda satu yang tak mampu tergantikan. Dimana pun anda berada. Seperti apa pun anda saat ini. Saya tak pernah peduli dengan ribuan statmen orang yang beranggapan bahwa, anda adalah bukan hal yang baik bagi saya. people said that you're the worst person. but, you show me how the way you do your best. that's why i love you”.

Anda memang hanya satu. Satu yang saya fikirkan. Satu yang ada dalam hidup saya. tak ada yang lain yang serupa seperti anda. Pada dasarnya semua hal hanya lah satu (Bagi saya). tapi, banyak hal yang saya dapat dari anda. Bukan materi memang. Bukan sesuatu yang membuat saya special memang, tapi banyak hal yang membuat saya lebih menghargai hidup saya sendiri. Banyak hal yang membuat hati saya lebih kuat. Juga Tuhan yang selalu anda ingatkan.

Kemiripan anda dan espresso adalah hal yang mutlak di hadapan saya. Saya menyukai anda dan espresso. Banyak orang yang menghujam anda dan espresso hadir dalam hidup saya. Tapi saya masih memiliki banyak kekuatan untuk menghadapi anda dan espresso.

Tapi, sampai saat ini, jujur saya merasa berada pada titik terendah saya untuk menghadapi anda. Saya mampu menahan dan memendam. Saya mampu menyembunyikan segalanya dari anda. Saya sanggup membiarkan anda tidak pernah tahu akan hal ini. Tapi sumpah, untuk saat ini semua kekuatan saya sepertinya tengah melemah. Entah bagaimana kekuatan yang begitu besar itu melemah. Namun, di tengah melemahnya kekuatan saya untuk bertahan, saya tidak ingin anda tahu. Saya berusaha tetap menjaga hal yang seharusnya tidak anda ketahui. Dan mungkin anda juga menjaga hal yang seharusnya tidak saya ketahui. Tapi, Tuhan tahu akan kedua hal tersebut. Tuhan tahu segalanya. Tuhan mengerti dan mungkin Ia hanya tersenyum melihat tingkah saya dan anda.

Semoga semuanya memang karena Tuhan. Karena Tuhan anda hadir. Karena Tuhan saya merindukan anda. Karena Tuhan anda membiarkan saya tahu tentang anda. Karena Tuhan pula saya mengikhlaskan anda. Mengikhlaskan mencintai dan kehilangan anda (semoga). Saya percaya pada Tuhan yang telah mengatur segalanya. Seperti anda percaya pada Tuhan yang selalu anda ingatkan.

Saya melihat kilasan – kilasan cerita hidup anda. Saya tahu banyak wanita yang anda tinggalkan dengan berbagai alasan yang anda buat. Saya mendengar banyak versinya juga. Tapi tau kah anda, semua itu tidak lah penting. Anda dan masa lalu anda adalah satu paket yang sampai saat ini saya terima dengan baik. Setidak baik apa pun anda di masa lalu, anda tetap berhasil mengetuk pintu saya dan membuat saya membuka pintu. Saya yakin, tidak ada manusia yang sempurna. Yang ada hanya lah manusia yang mencoba menjadi lebih baik. Dan saya yakin, anda tengah melakukan itu.

Banyak kepala menghardik anda karena masa lalu anda. Banyak hati yang mungkin telah tersakiti atau menyakiti anda. Mungkin, hingga banyak tangan yang ingin menampar anda. Tapi sampai saat ini, saya tidak memperdulikan mereka. Yang saya pedulikan adalah anda hadir tepat pada waktunya. Saya selalu meminta kepada Tuhan saya yang baik agar selalu diingatkan kepada-Nya, dan Tuhan mengirimkan anda. Sudah cukup bukan alasan saya tidak memperdulikan mereka?

Saya selalu menikmati tiap cangkir espresso yang ada di hadapan saya. saya selalu menghirup dalam – dalam uap nya yang selalu membuat saya merindukannya. Uap nya terasa hangat saat sampai di paru – paru saya. Saya selalu tersenyum bahagia setiap melihat cremanya berkumpul. Lalu saya merasa hampa saat saya tahu cangkir saya telah kosong. Seperti itu lah anda di hati saya.

Saya selalu menikmati setiap waktu anda ada di hadapan saya, bahkan saat anda tak menyadari kehadiran saya. Anda selalu mengingatkan saya kepada Tuhan saya, seperti uap espresso yang selalu menjulang. Saya selalu tersenyum saat anda bertingkah dan bercerita. Lalu saya merasa kosong saat anda lenyap dari hadapan saya, saat anda memutuskan untuk menjauh dari saya.

Dan pada akhirnya saat semua orang bertanya mengapa saya mempertahankan anda di dalam hati saya, sungguh semuanya hanya karena Tuhan yang selalu anda ingatkan J