No comments
Hay, Carmelito :J
Hay, sekarang aku dengan carmelito hangatku. Perpaduan serasi antara espresso dan caramel yang lembut. Kelembutannya menyapa lidah, dinding mulut, dan kerongkonganku. Ini baru untukku. Bukan lagi kepekatan espresso atau kemanisan cappuccino yang ku jamah. Aku berkenalan dengan carmelito.
Di sini, di pinggiran jalan. Di dalam ruangan kaca dimana aku dapat melihat lalu lalang kendaraan dengan jelas. Lamat – lamat suara deru mesin kendaraan pun masih dapat ku dengar. Ya. Di tempat ini lah aku dan carmelito menghabiskan waktu. Mencoba menahan air mata yang sudah tak sabar ingin berpesta.
Di malam yang nama Tuhan disebut berkali – kali. Diteriakkan dengan syahdu dan begitu menggetarkan hati. Hati saya memang bergetar mendengar nama Tuhan. Saya sadar ada banyak salah yang bertumpuk dan mungkin terlalu susah untuk ditebus satu persatu. Di malam ini saya benar – benar merasa menjadi manusia. Rendah. Saya bukan apa – apa, tapi terlalu sering melupakan yang telah membuat saya ada. Tapi di satu sisi, saya hampir membenci malam ini. Benci malam ini saat aku harus melewatkannya di kota kelahiranku sendiri. Selalu ada banyak harapan agar aku tidak melewatkan malam di kota ini.
Berkali – kali aku menjumpai sekelompok orang yang merayakan kemenangan setelah sebulan penuh lamanya menahan hawa nafsu manusiawi mereka. Mereka begitu larut dalam haru kegembiraan. Mungkin banyak dari mereka yang bahagia karena di hari esok akan ada angpao yang akan mendarat di tangan mereka. Tapi aku sendiri merasakan haru yang sesungguhnya. Berkali – kali air mataku ingin menetes. Sedih? Ya mungkin saja. Sedih bercampur haru mungkin. Haru karena sungguh hatiku bergetar mendengar nama Tuhan disebut berkali – kali. Haru karena aku masih dapat merasakan bulan suci lagi. Sedih, karena tak lagi dapat ku dengar suara takbir yang dikumandangkan begitu dekat dengan rumah. Tak ada nyanyian pujian untuk Tuhanku yang baik yang semerdu saat aku masih kecil. Tak ada canda tawa yang turut serta mengiringi suara takbir. Canda tawa sederhana hingga malam larut dan semua orang tertidur pulas di ruang TV. Tak ada lagi petuah yang selalu sama di setiap tahunnya. Tak ada lagi rumah tua yang hangat untuk berkumpul dan berbagi cerita, walau pun sekedar cerita jatuh dari sepeda atau cerita bagaimana bermain layang – layang.
Di sini. Di balik ruangan kaca aku dapat merasakan angin di luar sana yang membelai lembut jalanan malam kota yang tak juga lengang. Aku melihat tawa yang tergaris di wajah anak – anak yang mengikuti pawai takbir. Baru aku sadar, tak pernah sekali pun aku mengikuti pawai seperti itu. Malam takbirku hanya dihabiskan di rumah tua yang hangat dengan canda tawa dan cerita – cerita konyol. Semaraknya kembang api yang digantungkan di tali jemuran lalu dinyalakan bersamaan dan beberapa mercon air mancur yang membuat pasang – pasang mata anak – anak melotot kagum. Semua itu cukup. Kehangatan keluarga bahkan lebih dari cukup bagiku. Dan kini begitu aku rindukan. Makan malam sederhana namun selalu riuh. Atau suasana pagi yang selalu dipenuhi dengan perintah untuk segera bangun, sholat, dan mandi, padahal selayaknya anak – anak, pasti lah malas untuk sesegera mungkin mandi. Kalimat – kalimat yang tak pernah berhenti terlontar saat kaki – kaki kecil berlarian saat bermain petak umpet. Atau nada kesal saat suara kaca pecah terdengar begitu nyaring ke seluruh penjuru ruangan dan kadang diikuti suara tangis seorang anak yang kepalanya terbentur pojokkan jendela kayu. Semuanya begitu lekat dalam ingatanku. Kenangan – kenangan tersebut menjalar diingatanku seperti lagu lama yang berputar merdu.
Mungkin saat ini waktu tengah menunjukkan kekuatannya yang begitu sakti. Semua akan berubah sesuai waktu. Semua memiliki waktunya sendiri. Semua indah pada waktunya. Memang. Pada waktu itu semuanya indah. Mungkin kini waktu indah itu sedang menghampiri sekumpulan anak kecil yang lain. Anak kecil lain yang masih sering terjatuh dari sepeda dan bermain layangan. Memeluk jiwa – jiwa anak kecil yang masih syahdu menjemur kembang api di siang hari dan menyalakannya di malam hari.
Hay,carmelito yang lembut. Apa yang kini kau rasakan setelah mendengar ceritaku? Mungkin jika aku memiliki kelembutan sepertimu aku akan terus tersenyum. Aku akan terus memberikan ketenangan dan kelembutan pada orang lain. Mungkin kerinduan dan kesedihan akan dengan cepat pergi dari diriku.
Salam kenal untukmu Carmelito dan terimakasih karena telah menemaniku malam ini J
Yogyakarta, September 9th 2010
Terimakasih Tuhan yang baik atas malam yang syahdu J
0 komentar:
Post a Comment