Friday, September 17, 2010

3:06 AM - No comments

Sebuah Rumah Tua

Sebuah rumah tua adalah hanya sebuah bangunan lama yang tetap berdiri di tengah modernnya bangunan – bangunan lainnya di sekitar. Sebuah rumah tua yang hanya diam tak bergerak. Si pemilik hanya memperbaikinya dan mencoba tetap membuatnya berdiri kokoh walau pun si pemiliknya pun telah renta. Rumah itu tadinya baru dan ramai. Riuh oleh celoteh bocah yang menggemaskan sekaligus menjengkelkan. Namun, seiring waktu, rumah itu menjadi tua. Separuh abad sudah rumah itu merasakan sengatan mentari. Menikmati dinginnya malam. Menyesap acuh pada titik – titik hujan yang tak juga berhenti.

Tapi rumah itu tak sekedar rumah tua. Ia tak hanya diam seperti bentuknya. Ada banyak kenangan yang di simpan oleh rumah itu. Kapasitas penyimpanannya tak terbatas. Sekali pun si pemilik nantinya telah pikun. Ada banyak tawa dan tangis yang menjadi dendang bagi rumah itu. Ada banyak luka dan kebahagiaan yang menyertai keberlangsungan waktunya. Jaman memang berganti tapi rumah itu tetap saja berdiri seperti semula didirikan. Tanpa pernah lelah dan iri pada sekitarnya yang terlihat semakin cantik seiring dengan modernnya jaman.

Di dalam rumh tua itu ada lima kamar tidur. Satu kamar tidur utama yang hingga kini diskralkan. Bukan disakralkan seperti ada hal magis. Tapi begitu dihormati, hingga tak sembarangan orang dapat memasukinya. Ada sebuah dapur yang begitu besar di bagian belakangnya. Ada dua kamar mandi, dengan satu kamar mandi yang begitu besar. Ada sebuah ruang keluarga dan dua ruang tamu yang hangat. Dan ada sebuah kebun yang lumayan luas di bagian paling belakangnya dengan sebuah kolam yang tadinya berisi ikan guramih. Rumah itu sebenarnya biasa saja. Seperti kebanyakan rumah tua lainnya. Rumah sebuah keluarga dengan empat anak yang pada akhirnya satu per satu meninggalkan rumah itu untuk menjalani kehidupannya. Lalu yang tertinggal hanya lah sepasang orang tua. Sepasang kakek nenek yang tetap bahagia di dalam rumah itu. Tetap menyambut kedatangan anak – anak dan cucu – cucunya setiap liburan datang.

Banyak hiasan keramik – keramik kecil di rumah tua itu. Banyak pula koleksi perkakas makan dan cangkir – cangkir. Menandakan si empunya mengagumi koleksi perkakas makan. Jendela dan pintunya kebanyakan terbuat dari kaca, sehingga sinar matahari dengan mudahnya dapat memasuki rumah itu dengan riang gembira. Tak ada foto yang terpajang di dinding rumah itu. Atau tergeletak di atas meja mana pun di rumah itu. Foto – foto semuanya terletak di dalam album foto yang tersimpan rapi pada salah satu lemarinya. Sedari dulu rumah itu berdinding kuning muda yang hangat dan kayu – kayu pintu dan jendelanya berwarna biru. Selalu begitu. Setiap tahun tak pernah warna – warna itu berubah. Perabotnya hamper semuanya berwarna coklat. Ya. Kuning, biru, dan coklat. Entah mengapa tiga warna tersebut tak pernah lekang dalam waktu separuh abad.

Di setiap malam takbiran rumah tua itu selalu riuh dengan suara – suara cucu si empunya rumah. Cucu – cucu ciliknya yang kebanyakan laki – laki. Tepat setelah makan malam pasti nyala kembang api, yang pada siang sebelumnya telah dijemur dengan telaten oleh cucu – cucu si empunya rumah, terlihat indah dari ruang tamu yang terletak agak ke dalam rumah. Lalu beberapa mercon air mancur yang jumlahnya lebih sedikit daripada kembang api yang menyumbangkan nyala paling besar. Kembang api digantungkan berjajar rapi pada tali – tali jemuran dan dinyalakan bersamaan. Itu lah malam paling semarak sepanjang tahun di rumah tua itu. Tawa geli dan teriakan cemas orang dewasa tak lekang mengiringi indahnya kembang api di malam takbir.

Di esok harinya. Setelah acara sungkeman berlangsung, tibalah waktu bermain bagi cucu – cucu si empunya rumah. Petak umpet adalah permainan favorit mereka. Kaki – kaki kecil itu pun terdengar ke seluruh penjuru rumah hingga menimbulkan teriakan – teriakan cemas dari orang – orang dewasa. Tempat bersembunyi mereka ada di bawah kolong tempat tidur, di balik lemari, di dalam lemari, bahkan sampai ke kebun belakang. Setahun sekali rumah tua itu serasa menjadi rumah yang baru.

Jika waktu makan tiba, berarti tiba lah waktu bagi suara sendok dan piring beradu. Bahkan terkadang disertai suara piring atau gelas yang pecah. Suara celoteh pun tetap terdengar walau pun waktu makan tiba. Itu lah kebahagiaan di rumah tua itu. Itu lah kenangan yang tersimpan dalam rumah tua itu. Mulai hari ketiga lebaran, rumah tua itu akan perlahan menjadi sepi, hingga genap seminggu pertama di bulan syawal berlalu. Yang tertinggal kembali hanya lah sepasang kakek dan nenek. Sepasang manusia yang mulanya hanya berdua dan kini kembali berdua.

Pot – pot tanaman di rumah tua itu begitu banyak ditumbuhi suplir. Dari depan rumah hingga kebun belakang. Kelebatan suplir yang hijau pasti menyegarkan mata. Suplir itu begitu telaten dirawat oleh sang nyonya rumah. Disiram dengan sisa air rendaman teh.

Hingga sampai pada suatu tahun rumah tua itu menemui duka pertamanya. Awan hitam menyelimuti langit rumah tua itu. Air mata tak henti menetes seiring dengan hujan yang terus mengguyur, cerminan banyak hati yang menangis. Takdir Tuhan tengah terjadi. Ini adalah apa yang sudah digariskan. Semua penghuni rumah hanya dapat menerima dan mengikhlaskan. Sebuah sesi kehidupan yang baru memang sudah seharusnya dijalani.

Bulan sepuluh 2002 adalah awan mendung bagi rumah tua itu. Kini tinggal seorang lelaki tua yang setia ada di dalam rumah tua itu. Merawat rumah itu dengan sisa – sisa tenaga yang dimilikinya. Dengan ketelitian yang belum juga pudar walau setengah abad sudah terlampaui jauh. Ia masih dengan kasih sayangnya. Hanya kini, kesendirian menjadi teman barunya. Dan kerinduan akan anak dan cucunya semakin membuncah di setiap hari. Hanya saat libur sekolah lah yang begitu dinantinya. Dimana ada celoteh cucu – cucunya dan mungkin suara gelas yang pecah saat acara makan malam.

Malam – malam lebaran selanjutnya tak sesempurna biasanya. Tak ada rasa nastar dan kastengel yang sama seperti yang dulu. Tak ada opor dengan aroma yang sama seperti sebelumnya. Ini lah sesi baru dalam rumah tua itu. Kehangatannya masih saja sama. Namun kesepian juga kadang menari begitu gemulai. Langkah – langkah kecil itu pun semakin menjadi dewasa. Semakin tak ada suara anak – anak berlari. Berganti dengan cerita semalam suntuk dari kehidupan masing – masing.

Rumah tua itu selalu rapi seperti biasanya. Semua diletakkan pada tempatnya. Semuanya terawat, seakan debu enggan menebalkan dirinya di dalam rumah tua itu. Rumah itu selalu ramai di saat libur lebaran. Hingga menginjak tahun keenam setelah awan mendung pertama di rumah tua itu. Itu lah mendung kedua bagi rumah tua itu. Sekali lagi hujan turun dengan kesedihan. Jika kesedihan itu adalah debu, maka hujan yang deras tak mampu menaklukkan debu. Semuanya di akhiri dengan senyum yang satu dan air mata yang lainnya. Begitu lah akhir dari suatu hidup. Rasa dingin yang lebih menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Rumah tua itu menyiratkan suatu ketakutan. Takut kesepian. Takut tak ada yang merawat, takut tak berpenghuni. Takut tak ada kehangatan yang akan mengisinya lagi.

Dan memang, rumah tua itu benar – benar menjadi rumah tua. Sepi. Ada gurat sedih pada rumah itu. Tapi gurat sedih itu akan sesegera mungkin hilang saat ada yang mengunjunginya. Membersihkan seluruh penjurunya. Memandangi foto – foto dan mengingat kembali kenangan yang tak pernah mau lari begitu saja.

Memang bukan lagi ‘untuk siapa’ jika datang ke rumah tua itu. Tapi ‘untuk apa’. Untuk bersilahturahmi dengan kenangan yang tersimpan begitu banyak di dalam rumah itu. Memang tidak ada lagi nyala kembang api di setiap malam lebaran. Tak ada lagi nastar dan kastengel yang tertata rapi di setiap meja tamu dan ruang keluarga. Tak ada lagi langkah – langkah kecil yang berlarian dan suara teriakan orang – orang dewasa. Semuanya itu ada pada kenangan yang tersimpan rapi oleh rumah tua. Begitu rapi hingga begitu syahdu saat diingat. Begitu menenangkan walau memang pada akhirnya air mata yang ternyata menemani mengenangnya.

Untuk kasih sayang lah rumah itu dibangun. Untuk kehangatan lah rumah itu dipertahankan. Untuk cinta yang ikhlas dan tanpa batas lah rumah itu tetap berdiri. Di sana masih ada harapan dan cita – cita jika ingin ada yang mendengarnya. Ada kenangan yang tak terhingga jika ingin menyapanya. Ada doa dan petuah jika ingin merenungkannya.

Untuk semua yang masih memiliki cinta, kasih sayang, keikhlasan, dan harapan,

Memang hanya kenangan yang ada saat berkunjung ke sana. Tapi kenangan itu lah yang membuat semua yang ada saat ini nyata. Yang membuat tapak – tapak kaki merasakan kerikil, jalanan aspal, dan keramik mengkilap.

JJJ

listen this song when you read this part : Pulang Ke Hatimu

0 komentar:

Post a Comment