Tuesday, December 14, 2010

10:01 PM - No comments

Syair Kenangan

Hai, malam…

Ini sudah entah untuk yang keberapa kalinya kau datang

Aku masih suka dinginmu

Aku masih suka dengan bintang yang jauh itu

Aku masih ingat betapa waktu cepat berlalu saat tawa – tawa itu lepas ke udara luas

Apa kamu juga masih ingat?

Aihh, entah sudah berapa kali kau beristirahat, tapi ingatanku ini tak pernah juga mau berhenti mengingat.


Hai, pagi…

Ini entah sudah yang keberapa kali sejukmu membangunkan aku dari kelelapan

Selalu ada harapan saat kau membelaiku dan menyapaku dengan sinar si matahari

Masih kah kau ingat bagaimana detak jantung yang akhirnya dipaksa berdetak lebih kencang dari biasanya?

Bagaimana cairan tubuh yang coba dikeluarkan melalui pori kulit?

Bagaimana hangatnya si matahari memeluk perlahan dengan lembut?

Aku masih ingat J

Bahkan, saat kau sudah lelah bercerita padaku dan beristirahat di sisi dunia yang sana

Hatiku belum juga lelah menjaga



Hai, senja

Ini entah sudah keberapa kalinya aku merindukan jingga dan dia selalu datang

Entah sudah berapa panjang sajak rindu yang berderet, namun tetap saja rindu itu tak memudar

Gurat – gurat jingga di langit itu yang aku tunggu seharian tadi dan dia datang juga

Tapi semburat – semburat rindu yang sedari dulu itu belum juga terurai



Hai, kotak ingatan…

Apa masih ada ruang untuk menyimpan yang lain?

Belum juga rapuh kah bingkai – bingkai yang menghiasi dindingmu?

Masih banyak kah senyum yang ada untuk setiap kenangan yang terkuak?



Hai, kenangan…

Masih saja kau tak bosan di situ?

Belum juga kah kau lelah tak berlalu?

Monday, December 6, 2010

1:45 AM - No comments

Best wishes for our life… great wishes for our days


“Aku ini uda dewasa kok!”

Sesering apakah kita mendengar pekikan yang demikian?

Apa arti dewasa? Apakah seseorang yang benar – benar dewasa menyadari bahwa dirinya memang sudah dewasa? Atau pernyataan semcam itu hanya untuk menutup – nutupi sifat kekanak – kanakannya. Keduanya bisa jadi benar.

Tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Sesering apakah kita mendengar kalimat itu?

Sejak SMA saya sudah sering mendengarnya. Bahkan, itu adalah salah satu judul dari salah satu artikel saya di majalah sekolah di SMA.

Kalau saya sendiri ditanya, apakah saya sudah dewasa? Saya sendiri bingung untuk menjawab iya atau tidak.

Jujur saya orang yang kurang dapat menilai diri saya sendiri. Bahkan, cenderung saya tidak suka menilai diri saya sendiri. Kerap saya mengatakan, “Orang lain yang lebih tahu bagaimana saya”, jika ada yang bertanya seperti apa diri saya. Jika pertanyaan tersebut terlontar, maka saya hanya akan mendiskripsikan diri saya dalam tiga kata, “simple, fleksible, low profile”.

Seperti artikel saya sebelumnya. Life begin at 20th. Ya. Saya benar – benar merasakannya. Dalam fase hidup saya yang ke duapuluh tahun ini saya merasakan benar – benar berjuang untuk cita – cita dan masa depan saya. saya mulai merasa cemas akan masa depan saya.

Terus terang, saya bukan orang yang memiliki rasa percaya diri yang begitu tinggi. Bahkan, kerap saya merasa tidak percaya terhadap diri saya sendiri. Terlalu takut mungkin tepatnya. Saya terlalu sering bertanya tentang hal – hal kecil sebelum melakukan sesuatu, yang bagi orang lain tidak perlu ditanyakan. Tapi entah bagaimana saya perlu untuk menanyakannya.

Di umur saya yang sekarang ini, ada banyak sekali hal berat yang harus saya hadapi. Saya tidak lagi dapat menghindar seperti saat saya masih berumur limabelas tahun. Di titik ini, saya benar – benar merasakan bahwa yang namanya masalah itu harus disikapi dan dihadapi. Bukan justru dilupakan, ditinggalkan. Ataupun dihindari begitu saja. Masalah, jika sudah waktunya dia akan muncul dengan sendirinya.

Dulu, saat saya masih kelas 3 SD, ketika saya melihat papan tulis kelas 5 SD, dimana masih ada soal – soal matematika yang tertulis, kerap saya merasa merinding. Ketakutan besar muncul pada diri saya. akankah saya dapat menyelesaikan soal – soal yang saat itu bagi saya rumit? Sempat saya merasa tidak ingin naik kelas dan ingin terus berada di kelas 3 SD. Tapi toh nyatanya sekarang saya sudah dapat melewatinya. Itu adalah salah satu contoh sederhana menyikapi suatu masalah. Masalah saya adalah soal matematika kelas 5 SD.

Lalu saat ini, masalah saya adalah kejenuhan. Kejenuhan atas kuliah saya. ketakutan saya adalah saya terkalahkan oleh rasa jenuh saya. Beruntung saja jika saya hanya merasa jenuh sejenak. Barang satu semester saja, itu wajar. Tapi apa jadinya kalau selamanya saya jenuh? Saya jenuh belajar, saya jenuh dengan suasana kampus. Saya jenuh dengan teman – teman saya?

Terlebih, di semester lima saya ini, saya baru benar – benar merasakan kuliah. Saya benar – benar merasakan bagaimana mengerjakan tugas yang terasa terus menerus menumpuk. Saya benar – benar merasa tidak pernah memahami materi yang seharusnya menjadi landasan saya nantinya. Mau jadi apa saya nantinya? Sarjana akuntansi macam apa yang jurnal akuntansi saja tidak begitu paham? Berbagai cercaan atas diri saya sendiri terus terlontar.

Sejak kecil, saya selalu mengikuti apa yang menjadi pilihan kedua orang tua saya. Dimana saya bersekolah. Dimana saya kuliah. Kegiatan apa yang boleh saya ikuti. Kapan saya boleh bermain. Semua keputusan besar dalam hidup saya selalu diputuskan oleh kedua orang tua saya. Mungkin itu lah yang membuat saya merasa canggung saat harus mengambil keputusan sendiri. Dan saya mulai belajar mengambil keputusan – keputusan besar dalam hidup saya, walau pun keputusan – keputusan saya bertolak belakang dengan pemikiran kedua orang tua saya. bukan berarti saya membangkang. Tidak. Saya hanya mencoba untuk belajar membuat keputusan. Saya masih punya Tuhan untuk saya takut. Saya masih punya keluarga untuk saya ingat. Saya hanya ingin belajar untuk menyikapi hidup. Terasa berat memang. Dimana selalu ada pertengkaran dan selisih paham. Tapi saya rasa Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk saya dan keluarga saya.

Seorang yang dewasa selalu menyikapi masalah yang di hadapannya. Hati dan fikiran tenang adalah senjata ampuh untuk bersahabat dengan masalah hidup. Analogikan saja hidup adalah suatu petualangan. Saat kita sedang menuruni lereng maka, kita akan merasakan langkah kita begitu ringan. Gaya gravitasi jelas membantu kita turun ke bawah. Namun, saat kita mendaki gunung, saat kita tengah naik, maka pasti rasa berat yang akan terasa.

Hanya keikhlasan yang dapat meringankan langkah dalam hidup. Percaya terhadap Tuhan yang baik. Dia selalu memberikan apa yang saya butuhkan. Cuma Tuhan yang tahu bagaimana rasanya jadi diri saya ini. Cuma Tuhan yang tahu bagaimana cara terbaik untuk hidup saya. Seorang wanita dewasa harus lah konsekuen terhadap pilihan yang telah dipilih dan harus menyikapi masalah hidup, bukan justru menghindar. Dewasa adalah bersikap bukan merajuk.

Best wishes for our life… great wishes for our days J

Thursday, December 2, 2010

4:29 AM - No comments

Life begin at 20th, don’t you realize it?

“Saya memilih jalan ini untuk menuju apa yang saya sebut cita – cita dan untuk mewujudkan apa yang saya sebut mimpi”

Setiap manusia pasti mengalami fase dari kanak – kanak, lalu remaja dan dewasa. Itu adalah siklus bagi manusia. Setiap orang pasti lah mengalami birthday moment, dimana umur kita selalu bertambah.

Saya sering mendengar bahwa, masa transisi kita adalah saat kita berumur tujuh belas tahun. Beberapa orang bahkan men-sakral-kan, saat usianya menginjak tujuhbelas tahun. Merayakannya dengan pesta yang mewah, merasa akan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Dulu saya juga pernah beranggapan seperti itu. Saat saya akan mengawali tujuhbelas tahun saya. saya merasakan suatu euphoria sekaligus ketegangan tersendiri saat matahari ketujuhbelas tahun saya terbit untuk pertama kalinya. Bahkan, dalam perjalanan pulang sekolah, di hari terakhir enambelas tahun saya, saya terus – terusan mengucapkan harapan untuk tujuhbelas tahun saya yang sepertinya sacral itu.

Tapi nyatanya, saat saya menjalani tujuhbelas tahun saya tersebut, saya merasa tidak ada perubahan yang berarti. Tidak ada perubahan mencolok seperti yang kerap dikatakan orang – orang. Saya masih merasa kanak – kanak. Saya juga tidak merasakan perubahan emosi yang mencolok. Satu – satunya perubahan mencolok yang saya alami adalah saya mendapatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Banyak yang mengatakan bahwa, masa remaja adalah pada kisaran umur 17 – 21 tahun. Pada masa remaja tersebut, seseorang tengah mencari jati dirinya yang sesungguhnya. Wajar jika seseorang mencoba – coba gaya hidup yang berbeda dan dirasanya nyaman. pada masa remaja, sesungguhnya seseorang memilki ketidak jelasan status. Ia tidak lagi kanak – kanak, tapi ia juga belum saatnya disebut dewasa.

Bagi saya, masa – masa tersulit dalam hidup adalah saat kita berumur duapuluh tahun. Di titik tersebut, rasa bingung, sepi, dan labil begitu terasa. Dimana kita benar – benar bukan lagi kanak – kanak. Kita sudah dewasa. Di titik ini lah kita akan merasa begitu kesepian walau kita memiliki begitu banyak teman. Merasa semuanya harus menjadi begitu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Saat ada satu hal saja yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka kita akan merasa begitu gagal.

Saya sendiri merasa begitu susah mengendalikan emosi di titik ini. Serasa sebagian besar waktu saya terkendalikan oleh emosi saya. saya merasa begitu sendiri. Serasa tidak memiliki teman untuk mendiskusikan hal – hal yang menurut saya mengganjal. Sebenarnya, saya memiliki banyak teman dan pastinya kami mendiskusikan banyak hal. Tapi kembali lagi, emosi yang menguasai saya. Saya merasa tidak menemukan titik dimana diskusi tersebut dapat membantu saya.

Berkali – kali saya merasa gagal, saat ada 1% alpha saja dalam suatu hal yang saya rencanakan. Semuanya harus sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Tanpa memperhitungkan faktor alpha.

Suatu saat saya mengobrol dengan seorang teman yang kebetulan usianya satu tahun di atas saya. “Umur duapuluh itu memang masa yang berat,” kata seorang teman saya tersebut. Saya lalu berfikir tentang hal itu. Saya mem-flash back ke saat saya berumur tujuhbelas tahun dan tahun – tahun sebelumnya. Betapa sederhana fikiran dan cara saya menyikapi hidup. Hal terberat dalam hidup saya adalah bagaimana caranya saya mendapatkan nilai yang baik. Bagaimana di rapor saya nilai yang tercantum adalah minimal enam. Bagaimana saya harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan guru saya di sekolah. Bagaimana saya harus mampu tampil maksimal saat ujian kenaikan tingkat taekwondo.

Tapi menginjak usia duapuluh tahun, saya dapat merasakan bagaimana mulai rumitnya saya berfikir dan menyikapi hidup. Bagaimana saya harus begitu mendengarkan suara pihak – pihak yang ada di sekitar saya. Bagaimana saya begitu memiliki rasa was – was jika sikap saya ternyata tidak lah sepantasnya.

Di usia duapuluh juga lah, saya mulai terus berfikir keras bagaimana kehidupan saya ke depannya. Bagaimana hidup saya lima tahun lagi. Bagaimana saya dapat lulus kuliah dengan baik dan pada waktu yang semestinya, lalu mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi kehidupan saya. Bagaimana saya mulai memikirkan keluarga saya, karena notabenenya saya adalah anak pertama.

Dilema pun mulai bermunculan. Tentang pendidikan dan cita – cita saya sedari kecil dulu. Jujur, di saat ini saya merasa langkah yang saya ambil adalah salah besar. Saya merasa, pendidikan yang saya tempuh ini tidak lah semestinya. Berkali – kali saya berkata pada diri saya sendiri, “ini bukan duniaku!”. Tahu kah bagaimana rasanya, saat kita sudah memiliki cita – cita yang begitu kuat sedari kita kecil, tiba – tiba menghilang begitu saja berganti dengan harapan lainnya. Tapi, saat proses mewujudkan harapan yang lain itu tengah terjadi, justru cita – cita sedari kecil itu muncul kembali. Jalan yang saat ini diambil adalah berbeda. Di depan ada sebuah pertigaan. Lurus jalan terus. Atau berbelok ke kiri. Anda sendirian dan sama sekali tidak tahu jalan ke depannya.

Usia duapuluh memang lah masih dapat dikatakan muda. Tapi, saya sendiri merasa pada usia ini lah ada suatu sambutan yang membuat saya sendiri takut, “Welcome to the jungle”. This is the real jungle? Di usia ini lah saya harus mulai mengambil keputusan atas hidup saya sendiri. Tapi dalam memutuskan suatu keputusan saya harus begitu mempertimbangkan banyak hal. Keluarga saya, teman – teman saya, dan masa depan saya.

Bertambahnya usia adalah hal yang alami bagi seorang manusia dan tidak perlu ditakutkan. Yang perlu dilakukan adalah belajar dari apa yang sudah pernah kita dapatkan. Bagaimana kita harus berfikir lebih jeli dan lebih bijaksana lagi. Satu hal yang harus saya lakukan di usia saya yang keduapuluh, melakukan sesuatu untuk cita – cita besar saya. Saya harus mulai memilih jalan yang saya yakini membawa saya pada hal yang saya harapkan. Saya memilih jalan ini untuk menuju apa yang saya sebut cita – cita dan untuk mewujudkan apa yang saya sebut mimpi.

Wednesday, December 1, 2010

2:22 PM - No comments

Mengenal Budaya dari Wisata


Setiap kota sebenarnya memiliki suatu objek yang dapat dijadikan obyek wisata. Karena setiap kota memiliki kebudayaannya masing – masing. percaya atau tidak, melalui wisata, kita dapat mengenal kebudayaan suatu daerah. Karena melalui wisata ini lah pengenalan kebudayaan akan lebih efektif.

Misalnya saja di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seperti telah kita ketahui, di provinsi ini kaya akan budaya daerah. Tradisi masyarakatnya pun masih kental terasa. Wisata alam dan budaya menjadi andalan provinsi ini. jelas, provinsi ini juga masuk dalam trip list masyarakat, tak hanya lokal, tapi juga internasional.

Coba lihat dulu, Ibu Kota dari provinsi ini, Kota Yogyakarta. Letaknya berada di tengah provinsi. Di sini lah pusat pemerintahan berada. Tak hanya itu, keunikan provinsi ini yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang notabennya adalah pemimpin budaya, juga menjadi daya tarik tersendiri. Bukan masalah jabatan atau siapa yang memimpin, sebenarnya. Tapi, karena di sini lah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berada. Kraton ini sendiri telah berumur lebih dari duaratus tahun. Kraton ini lah tempat pusat kebudayaan masyarakat Yogyakarta.

Kita mungkin sering mengenal istilah kejawen. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat jawa. Jangan dilihat dari segi kepercayaannya. Karena masing – masing orang berhak menjalani apa yang masing – masing percayai. Tapi lihat lah dari keindahan budayanya. Bagaimana riuhnya upacara adat sekaten, yang diselenggarakan setiap maulud nabi. Bagaimana ritual jamasan, yaitu memandikan kereta dan pusaka – pusaka kraton.

Lalu lihat saja di daerah Bantul. Ada hal menarik lainnya yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Pernah kah anda mendengar tradisi labuhan? Tradisi melabuhkan hasil bumi ke lautan. Sebagai tanda syukur kepada pencipta.

Hal yang disebutkan di atas hanya merupakan beberapa contoh saja. Dapat dibayangkan berapa banyak upacara adat di Indonesia ini? Hampir di setiap daerah memiliki upacara adat masing – masing. Itu berarti betapa banyaknya potensi wisata di negeri ini. Jika saja kita dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki negeri ini, maka hal tersebut dapat menjadi sumber pendapatan bagi masing – masinmg daerah. Selain itu, kebudayaan yang dimiliki oleh masing – masing daerah tersebut dapat dilestarikan dan dapat diperkenalkan kepada khalayak luas.