No comments
Best wishes for our life… great wishes for our days
“Aku ini uda dewasa kok!”
Sesering apakah kita mendengar pekikan yang demikian?
Apa arti dewasa? Apakah seseorang yang benar – benar dewasa menyadari bahwa dirinya memang sudah dewasa? Atau pernyataan semcam itu hanya untuk menutup – nutupi sifat kekanak – kanakannya. Keduanya bisa jadi benar.
Tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Sesering apakah kita mendengar kalimat itu?
Sejak SMA saya sudah sering mendengarnya. Bahkan, itu adalah salah satu judul dari salah satu artikel saya di majalah sekolah di SMA.
Kalau saya sendiri ditanya, apakah saya sudah dewasa? Saya sendiri bingung untuk menjawab iya atau tidak.
Jujur saya orang yang kurang dapat menilai diri saya sendiri. Bahkan, cenderung saya tidak suka menilai diri saya sendiri. Kerap saya mengatakan, “Orang lain yang lebih tahu bagaimana saya”, jika ada yang bertanya seperti apa diri saya. Jika pertanyaan tersebut terlontar, maka saya hanya akan mendiskripsikan diri saya dalam tiga kata, “simple, fleksible, low profile”.
Seperti artikel saya sebelumnya. Life begin at 20th. Ya. Saya benar – benar merasakannya. Dalam fase hidup saya yang ke duapuluh tahun ini saya merasakan benar – benar berjuang untuk cita – cita dan masa depan saya. saya mulai merasa cemas akan masa depan saya.
Terus terang, saya bukan orang yang memiliki rasa percaya diri yang begitu tinggi. Bahkan, kerap saya merasa tidak percaya terhadap diri saya sendiri. Terlalu takut mungkin tepatnya. Saya terlalu sering bertanya tentang hal – hal kecil sebelum melakukan sesuatu, yang bagi orang lain tidak perlu ditanyakan. Tapi entah bagaimana saya perlu untuk menanyakannya.
Di umur saya yang sekarang ini, ada banyak sekali hal berat yang harus saya hadapi. Saya tidak lagi dapat menghindar seperti saat saya masih berumur limabelas tahun. Di titik ini, saya benar – benar merasakan bahwa yang namanya masalah itu harus disikapi dan dihadapi. Bukan justru dilupakan, ditinggalkan. Ataupun dihindari begitu saja. Masalah, jika sudah waktunya dia akan muncul dengan sendirinya.
Dulu, saat saya masih kelas 3 SD, ketika saya melihat papan tulis kelas 5 SD, dimana masih ada soal – soal matematika yang tertulis, kerap saya merasa merinding. Ketakutan besar muncul pada diri saya. akankah saya dapat menyelesaikan soal – soal yang saat itu bagi saya rumit? Sempat saya merasa tidak ingin naik kelas dan ingin terus berada di kelas 3 SD. Tapi toh nyatanya sekarang saya sudah dapat melewatinya. Itu adalah salah satu contoh sederhana menyikapi suatu masalah. Masalah saya adalah soal matematika kelas 5 SD.
Lalu saat ini, masalah saya adalah kejenuhan. Kejenuhan atas kuliah saya. ketakutan saya adalah saya terkalahkan oleh rasa jenuh saya. Beruntung saja jika saya hanya merasa jenuh sejenak. Barang satu semester saja, itu wajar. Tapi apa jadinya kalau selamanya saya jenuh? Saya jenuh belajar, saya jenuh dengan suasana kampus. Saya jenuh dengan teman – teman saya?
Terlebih, di semester lima saya ini, saya baru benar – benar merasakan kuliah. Saya benar – benar merasakan bagaimana mengerjakan tugas yang terasa terus menerus menumpuk. Saya benar – benar merasa tidak pernah memahami materi yang seharusnya menjadi landasan saya nantinya. Mau jadi apa saya nantinya? Sarjana akuntansi macam apa yang jurnal akuntansi saja tidak begitu paham? Berbagai cercaan atas diri saya sendiri terus terlontar.
Sejak kecil, saya selalu mengikuti apa yang menjadi pilihan kedua orang tua saya. Dimana saya bersekolah. Dimana saya kuliah. Kegiatan apa yang boleh saya ikuti. Kapan saya boleh bermain. Semua keputusan besar dalam hidup saya selalu diputuskan oleh kedua orang tua saya. Mungkin itu lah yang membuat saya merasa canggung saat harus mengambil keputusan sendiri. Dan saya mulai belajar mengambil keputusan – keputusan besar dalam hidup saya, walau pun keputusan – keputusan saya bertolak belakang dengan pemikiran kedua orang tua saya. bukan berarti saya membangkang. Tidak. Saya hanya mencoba untuk belajar membuat keputusan. Saya masih punya Tuhan untuk saya takut. Saya masih punya keluarga untuk saya ingat. Saya hanya ingin belajar untuk menyikapi hidup. Terasa berat memang. Dimana selalu ada pertengkaran dan selisih paham. Tapi saya rasa Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk saya dan keluarga saya.
Seorang yang dewasa selalu menyikapi masalah yang di hadapannya. Hati dan fikiran tenang adalah senjata ampuh untuk bersahabat dengan masalah hidup. Analogikan saja hidup adalah suatu petualangan. Saat kita sedang menuruni lereng maka, kita akan merasakan langkah kita begitu ringan. Gaya gravitasi jelas membantu kita turun ke bawah. Namun, saat kita mendaki gunung, saat kita tengah naik, maka pasti rasa berat yang akan terasa.
Hanya keikhlasan yang dapat meringankan langkah dalam hidup. Percaya terhadap Tuhan yang baik. Dia selalu memberikan apa yang saya butuhkan. Cuma Tuhan yang tahu bagaimana rasanya jadi diri saya ini. Cuma Tuhan yang tahu bagaimana cara terbaik untuk hidup saya. Seorang wanita dewasa harus lah konsekuen terhadap pilihan yang telah dipilih dan harus menyikapi masalah hidup, bukan justru menghindar. Dewasa adalah bersikap bukan merajuk.
Best wishes for our life… great wishes for our days J
0 komentar:
Post a Comment