No comments
Life begin at 20th, don’t you realize it?
“Saya memilih jalan ini untuk menuju apa yang saya sebut cita – cita dan untuk mewujudkan apa yang saya sebut mimpi”
Setiap manusia pasti mengalami fase dari kanak – kanak, lalu remaja dan dewasa. Itu adalah siklus bagi manusia. Setiap orang pasti lah mengalami birthday moment, dimana umur kita selalu bertambah.
Saya sering mendengar bahwa, masa transisi kita adalah saat kita berumur tujuh belas tahun. Beberapa orang bahkan men-sakral-kan, saat usianya menginjak tujuhbelas tahun. Merayakannya dengan pesta yang mewah, merasa akan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Dulu saya juga pernah beranggapan seperti itu. Saat saya akan mengawali tujuhbelas tahun saya. saya merasakan suatu euphoria sekaligus ketegangan tersendiri saat matahari ketujuhbelas tahun saya terbit untuk pertama kalinya. Bahkan, dalam perjalanan pulang sekolah, di hari terakhir enambelas tahun saya, saya terus – terusan mengucapkan harapan untuk tujuhbelas tahun saya yang sepertinya sacral itu.
Tapi nyatanya, saat saya menjalani tujuhbelas tahun saya tersebut, saya merasa tidak ada perubahan yang berarti. Tidak ada perubahan mencolok seperti yang kerap dikatakan orang – orang. Saya masih merasa kanak – kanak. Saya juga tidak merasakan perubahan emosi yang mencolok. Satu – satunya perubahan mencolok yang saya alami adalah saya mendapatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Banyak yang mengatakan bahwa, masa remaja adalah pada kisaran umur 17 – 21 tahun. Pada masa remaja tersebut, seseorang tengah mencari jati dirinya yang sesungguhnya. Wajar jika seseorang mencoba – coba gaya hidup yang berbeda dan dirasanya nyaman. pada masa remaja, sesungguhnya seseorang memilki ketidak jelasan status. Ia tidak lagi kanak – kanak, tapi ia juga belum saatnya disebut dewasa.
Bagi saya, masa – masa tersulit dalam hidup adalah saat kita berumur duapuluh tahun. Di titik tersebut, rasa bingung, sepi, dan labil begitu terasa. Dimana kita benar – benar bukan lagi kanak – kanak. Kita sudah dewasa. Di titik ini lah kita akan merasa begitu kesepian walau kita memiliki begitu banyak teman. Merasa semuanya harus menjadi begitu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Saat ada satu hal saja yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka kita akan merasa begitu gagal.
Saya sendiri merasa begitu susah mengendalikan emosi di titik ini. Serasa sebagian besar waktu saya terkendalikan oleh emosi saya. saya merasa begitu sendiri. Serasa tidak memiliki teman untuk mendiskusikan hal – hal yang menurut saya mengganjal. Sebenarnya, saya memiliki banyak teman dan pastinya kami mendiskusikan banyak hal. Tapi kembali lagi, emosi yang menguasai saya. Saya merasa tidak menemukan titik dimana diskusi tersebut dapat membantu saya.
Berkali – kali saya merasa gagal, saat ada 1% alpha saja dalam suatu hal yang saya rencanakan. Semuanya harus sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Tanpa memperhitungkan faktor alpha.
Suatu saat saya mengobrol dengan seorang teman yang kebetulan usianya satu tahun di atas saya. “Umur duapuluh itu memang masa yang berat,” kata seorang teman saya tersebut. Saya lalu berfikir tentang hal itu. Saya mem-flash back ke saat saya berumur tujuhbelas tahun dan tahun – tahun sebelumnya. Betapa sederhana fikiran dan cara saya menyikapi hidup. Hal terberat dalam hidup saya adalah bagaimana caranya saya mendapatkan nilai yang baik. Bagaimana di rapor saya nilai yang tercantum adalah minimal enam. Bagaimana saya harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan guru saya di sekolah. Bagaimana saya harus mampu tampil maksimal saat ujian kenaikan tingkat taekwondo.
Tapi menginjak usia duapuluh tahun, saya dapat merasakan bagaimana mulai rumitnya saya berfikir dan menyikapi hidup. Bagaimana saya harus begitu mendengarkan suara pihak – pihak yang ada di sekitar saya. Bagaimana saya begitu memiliki rasa was – was jika sikap saya ternyata tidak lah sepantasnya.
Di usia duapuluh juga lah, saya mulai terus berfikir keras bagaimana kehidupan saya ke depannya. Bagaimana hidup saya lima tahun lagi. Bagaimana saya dapat lulus kuliah dengan baik dan pada waktu yang semestinya, lalu mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi kehidupan saya. Bagaimana saya mulai memikirkan keluarga saya, karena notabenenya saya adalah anak pertama.
Dilema pun mulai bermunculan. Tentang pendidikan dan cita – cita saya sedari kecil dulu. Jujur, di saat ini saya merasa langkah yang saya ambil adalah salah besar. Saya merasa, pendidikan yang saya tempuh ini tidak lah semestinya. Berkali – kali saya berkata pada diri saya sendiri, “ini bukan duniaku!”. Tahu kah bagaimana rasanya, saat kita sudah memiliki cita – cita yang begitu kuat sedari kita kecil, tiba – tiba menghilang begitu saja berganti dengan harapan lainnya. Tapi, saat proses mewujudkan harapan yang lain itu tengah terjadi, justru cita – cita sedari kecil itu muncul kembali. Jalan yang saat ini diambil adalah berbeda. Di depan ada sebuah pertigaan. Lurus jalan terus. Atau berbelok ke kiri. Anda sendirian dan sama sekali tidak tahu jalan ke depannya.
Usia duapuluh memang lah masih dapat dikatakan muda. Tapi, saya sendiri merasa pada usia ini lah ada suatu sambutan yang membuat saya sendiri takut, “Welcome to the jungle”. This is the real jungle? Di usia ini lah saya harus mulai mengambil keputusan atas hidup saya sendiri. Tapi dalam memutuskan suatu keputusan saya harus begitu mempertimbangkan banyak hal. Keluarga saya, teman – teman saya, dan masa depan saya.
Bertambahnya usia adalah hal yang alami bagi seorang manusia dan tidak perlu ditakutkan. Yang perlu dilakukan adalah belajar dari apa yang sudah pernah kita dapatkan. Bagaimana kita harus berfikir lebih jeli dan lebih bijaksana lagi. Satu hal yang harus saya lakukan di usia saya yang keduapuluh, melakukan sesuatu untuk cita – cita besar saya. Saya harus mulai memilih jalan yang saya yakini membawa saya pada hal yang saya harapkan. Saya memilih jalan ini untuk menuju apa yang saya sebut cita – cita dan untuk mewujudkan apa yang saya sebut mimpi.
0 komentar:
Post a Comment