Wednesday, October 22, 2014

11:08 PM - No comments

Menjadi Senyum


Pic by www.mediawebapps.com
Andai kau tahu aku tengah menertawaimu. Menertawai gambar – gambar masa lalu kita. Senyum polos yang tak pernah memikirkan bahwa, akan ada hidup yang begitu berat di hari kedepannya. Kau tahu, aku selalu ingin jadi senyum. Baik dalam suka maupun luka. Aku selalu ingin menjadi hiasan di kedua sudut bibir, sekalipun kadang begitu tipis.


Kau dan aku pada akhirnya tahu bahwa, hidup tak semudah nilai sepuluh di pelajaran matematika saat kita kelas 2 SD. Hidup tak hanya sekedar seindah gambar pemandangan alam pegunungan yang kita gambar saat kita mengikuti ekstrakurikuler menggambar. Hidup jauh lebih berwarna dari warna – warna pastel terbanyak yang pernah kita punya.


Pic by www.break.com

Dan katamu, “hidup jauh lebih absurd daripada noda – noda di tangan dan baju seusai kita bermain cat air”.







Bahasa sudah sedemikian indah di telinga kita. Entah sudah berapa banyak puisi yang telah sampai di telinga kita dan membuat kita terpukau. Bahasa sudah seperti perhiasaan yang tak nampak bagimu dan bagiku. Bait – bait yang terus terutulis seolah tanpa henti. “Namun hidup tak sekedar bahasa yang indah”, ujarmu kala kita melepas senja.

Kita sudah merasakan bahagianya berlari, berlomba mengayuh sepeda mengitari lapangan yang begitu luas. Kita sudah merasakan sakitnya terpeleset saat tengah berlari, perihnya luka karena terjatuh dari sepeda. Kita tahu bagaimana peningnya setelah kepala kita terkena hantaman bola kasti. Kita juga tahu, selalu ada senyum di awal ataupun di akhir setiap luka itu.



pic by www.artoffriendship.org


Kau dan aku pernah merisaukan bagaimana jika hidup tak seerat genggaman tangan kita ketika pertama kali kau mengajakku naik ke atas bukit untuk menerbangkan layang – layang. 








pic by www.hanynh.blogspot.com

“Apa jadinya jika hidup tak lagi sekuat cengkeraman tanganmu di lenganku ketika kau memaksa untuk naik bianglala, sekalipun kau takut ketinggian,” ucapmu lagi. 






Begitu banyak yang kita risaukan bukan?


Jika nanti akan ada senja dimana kita berdiri di atas belahan bumi yang berbeda, di zona waktu yang tak sama. Masih kah akan kita ingat senja yang tengah kita lepas ini? Sekalipun senja besok tak sama dengan senja kali ini.



Saat nanti tiba waktunya ada lambaian tangan dan senyum yang hadir bersamaan. Tolong berusaha lah mengingat bahwa, aku selalu ingin menjadi senyum. Baik dalam suka maupun luka. Aku selalu ingin menjadi hiasan di kedua sudut bibir, sekalipun kadang begitu tipis.




Berusahalah untuk tak risau, kau dan aku ada dalam setiap doa,” bisikmu ketika senja benar – benar sudah pergi dan kini malam yang berkuasa.


Pic by pixgood.com

Tuesday, October 21, 2014

9:13 PM - No comments

Aku, Dia, dan Mereka



Segaris pandangku masih menuju ke arah depan. Menuju  ke arah pantulan cahaya yang menggambarkan diriku seakan nyata. Aku ada, maka ia ada. Aku pergi maka ia sirna. Aku adalah dia dan dia adalah aku. Semua terasa sama dan seirama, namun tak bisa saling menyentuh. Ia bukan masa lalu atau pun masa depan. Meskipun ia juga membawa masa lalu dan berusaha menggapai masa depan. Aku berbisik ia pun berbisik. Aku menangis ia pun menangis. Aku menyipitkan mata, ia pun menyipitkan mata. Sama bukan. Mengapa mereka terus memperebutkan aku? Jika aku ada dua. Bukan kah mereka dapat mendapatkan satu dari masing – masing kami ?



pic by www.erikatzain.wordpress.com



Sejenak aku tersenyum melihatnya. Aku berniat membiarkan salah satu dari mereka mendapatkan aku dan lainnya mendapatkan ia. Tapi kemudian aku terhenyak. “Aku bukan untuk salah satu dari mereka,” ucapnya. “Aku hanyalah untukmu. Hanyalah akan bersamamu. Sampai dunia menghentikan waktunya atas kamu”.

Saturday, October 18, 2014

5:30 AM - No comments

Mencarimu

Aku rentang kan kedua tanganku ketika pagi baru saja muncul
Ku sambut angin pagi dengan pelukanku
Seolah berharap membawamu juga kepada pelukanku


Aku membelalakan mataku, ketika senja hadir dengan keanggunannya
Ku sambut jingganya dengan daya akomodasi tersempurna yang aku mampu
Seolah berharap Tuhan juga melukiskan diri mu bersama senja, agar aku dapat melihatmu dengan senyum


Tapi semua hanya harapan yang belum juga menjadi nyata
Sekedar doa yang belum terkabul
Karena nyatanya aku masih saja memeluk angin dan menatap senja
Sementara engkau, entah berada di sisi bumi yang mana

Aku masih memejamkan kedua mataku ketika riuh rendah suara orang berteriak
Berusaha memekakan kedua telingaku pada sejuta suara yang berbeda
Berharap ada selirih suaramu yang mampu kudengar langsung


Aku masih terus menapakkan langkah – langkah kakiku di atas bumi yang kutempati
Berusaha menuju mana pun tempat yang kau sukai
Berharap ada sepasang kakimu yang tiba – tiba ada di hadapanku


Semua hanya usahaku untuk dapat menemukanmu
Menghadirkanmu secara nyata kepada indera – inderaku

Semoga hati ini belum juga lelah untuk terus mencarimu