Thursday, June 24, 2010

11:38 PM - No comments

Mahasiswa dan Kedewasaan Intelektualnya Secara Sederhana

Mahasiswa berasal dari dua suku kata yaitu, maha dan siswa. Maha adalah sesuatu yang besar atau tinggi. Sementara siswa adalah pelajar atau yang mempelajari sesuatu. Jadi jelas mahasiswa adalah murid atau siswa yang memiliki tingkatan paling tinggi.

Kekayaan dan kecerdasan intelektual pada mahasiswa seharusnya lebih baik dibandingkan dengan murid SMA dan dibawahnya atau masyarakat yang tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Karena untuk sampai pada jenjang mahasiswa, jelas tidak lah membutuhkan waktu yang singkat. Butuh waktu setidaknya duabelas tahun. Melalui proses Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP, dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam waktu yang lebih dari satu dasawarsa tersebut, jelas pembelajaran, pendidikan, dan pendewasaan intelektual terjadi secara perlahan. Proses perlahan yang bertahap dan selayaknya sudah mampu mencapai suatu titik dimana dapat disebut ‘dewasa’. Konteks dewasa di sini adalah suatu kematangan dalam berfikir. Suatu kematangan dalam mengambil sikap untuk menangani suatu hal.

Jika mendengar cerita – cerita dari kedua orang tua saya yang Alhamdulillah pernah mengalami masa menjadi seorang mahasiswa, mereka kerap bercerita bahwa, mahasiswa sekarang jauh lebih dipermudah dengan segala kemudahan sistem dibanding dengan mahasiswa di jaman mereka. Dulu, saat seorang mahasiswa tidak mampu lulus dalam suatu mata kuliah, maka mahasiswa tersebut harus mengulang seluruh mata kuliah pada tahun tersebut. Betapa sangat berbeda bukan dengan sistem perkuliahaan masa sekarang? Saat kita tidak lulus satu mata kuliah saja, maka kita hanya perlu mengulang mata kuliah yang tidak lulus tersebut, bahkan ada juga beberapa kampus yang menerapkan sistem remidi, dimana mahasiswa hanya perlu mengulang ujiannya saja. Kedua orang tua saya juga kerap mengatakan bahwa, jaman dulu, jika seorang mahasiswa lulus kuliah dalam waktu yang lama adalah hal yang wajar, dan sungguh suatu hal yang terlalu jika di jaman sekarang ini masih saja ada mahasiswa yang lulus kuliah dalam waktu yang begitu lama.

Bukan hal berapa lama seorang mahasiswa menyelesaikan kuliahnya yang ingin saya beberkan di sini. Hal di atas hanya sebuah contoh kecil pembanding saja. Bagaimana sudah jauh lebih mudahnya sistem yang ada saat ini. Seharusnya, dengan segala kemudahan tersebut mahasiswa dapat lebih meningkatkan produktivitasnya. Harus dapat lebih mendewasakan intelektualnya. Dapat lebih berfikir jauh ke depan. Karena tidak ada opportunity things yang harus dikorbankan seperti halnya mahasiswa di jaman bapak dan ibu saya dulu.

Lalu yang terjadi?

Yang terjadi adalah terlihat tidak terlalu dewasanya intelektual mahasiswa Indonesia. Mengapa saya dapat mengatakan hal ini? Apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, dan apa yang saya alami membuat saya dapat mengatakan demikian. Banyak sekali siaran berita dan media massa yang memberitakan kebrutalan mahasiswa di daerah tertentu. Hal – hal pemicunya pun beragam. Ada yang karena masaah pribadi merembet menjadi masalah kelompok dan masalah – masalah lainnya. Solidaritas itu memang perlu, dan begitu diperlukan oleh bangsa ini dalam kehidupannya yang lebih dalam. Tapi apakah harus dengan adu otot? Saling lempar batu? Saling menunjukkan siapa yang paling berhasil menghancurkan kampus? Mahasiswa dididik dan diajar bukan untuk menjadi seorang petarung atau tentara perang. Mahasiswa dididik dan diajar untuk menjadi pemikir dan pemimpin bangsa di masanya nanti. Universitas atau setaranya adalah laboraturium kecil suatu bangsa. Lalu, apa jadinya jika di dalam suatu laboraturium kecil suatu bangsa justru terjadi adu jotos? Sepertinya lebih baik bangsa ini menambah satu harapan paling besar lagi untuk waktu ke depannya, yaitu menjadi bangsa petarung tinju terhebat di dunia. Bukankah mahasiswa diajari bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan kepala dingin? Bagaimana berfikir logis dan tidak merugikan orang lain. Dalam organisasi kemahasiswaan pun sebenarnya mahasiswa dilatih untuk menghadapi konflik dengan cara – cara yang berpendidikan. Bukan denga cara yang bar – bar. Lalu, jika acara ‘tawuran’ yang pada akhirnya menjadi ujung, apa bedanya seorang mahasiswa dengan seorang pelajar SMP atau SMA? Apakah kapasitas intelektual seorang mahasiswa tak ada bedanya dengan murid SMP atau SMA? Apakah nantinya, bangsa ini juga akan menyelesaikan permasalahannya dengan ‘tawuran’?

Pada awal kita memasuki bangku kuliah, kedua orang tua kita pasti lah menginginkan sepenuhnya waktu kita digunakan untuk belajar. Harapan untuk dapat menyelesaikan kuliah pun juga pastinya mengiringi langkah kita memasuki gerbang perkuliahan. Tapi, semakin lama beberapa dari kita sadar, bahwa yang dibutuhkan oleh masa depan kita tidak lah hanya kuliah saja. Tidak hanya bergumul dengan buku dan membalutkan teori – teori tersebut di otak kita. Lalu, antara lain jawabannya adalah organisasi kemahasiswaan. Ya. Organisasi adalah salah satu cara lain bagi mahasiswa untuk mengembangkan dirinya. Bagaimana kita dapat belajar menerapkan dan melatih manajemen konflik kita. Bagaimana kita dibiasakan menghadapi permasalahan dengan berbagai watak manusia yang berbeda – beda. Bagaimana kita dikenalkan mengerjakan sesuatu dalam tekanan dan perbedaan konsep, lalu bagaimana cara kita mempersatukan konsep agar tujuan tercapai. Itu adalah beberapa hal yang organisasi kemahasiswaan tawarkan kepada para mahasiswa. Lebih lanjutnya lagi, diharapkan dengan organisasi kemahasiswaan, kita dapat memiliki link untuk mempermudah kita nantinya dalam mencari suatu pekerjaan.

Permasalahan yang timbul dan menguji kedewasaan seorang mahasiswa adalah saat seorang mahasiswa dihadapkan pada dua permasalahan yang sama – sama penting. Kuliah atau organisasi?

Tugas utama seorang pelajar dan mahasiswa adalah belajar. Tapi, seorang mahasiswa yang juga merupakan seorang organisator juga harus memiliki loyalitas terhadap organisasi yang diikutinya. Tugas seorang organisator adalah mengabdi kepada mahasiswa. Sering saya mendengar selogan “Organisasi jangan sampai mengganggu kuliah”, dan kemudian sering diplesetkan “Kuliah jangan sampai menganggu organisasi”.

Saya akui, keloyalan dan idealisme tidak lah dimiliki oleh semua mahasiswa. Tapi, amat sangat disayangkan jika loyalitas dan idealisme tersebut disalah gunakan. Seperti yang telah saya katakan, kewajiban utama seorang mahasiswa adalah belajar. Tapi, loyalitas seorang organisator memang sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana, jika seorang mahasiswa lebih mementingkan organisasi dibandingkan kuliahnya? Saya tidak berhak menghakimi mahasiswa yang memiliki pilihan demikian. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan pilihannya bukan?

Lalu bagaimana pula jika seorang mahasiswa meninggalkan organisasinya begitu saja sebelum habis periode kepengurusannya demi mengejar gelar sarjana? Apakah itu berarti mahasiswa tersebut tidak memiliki loyalitas? Apakah organisasi telah gagal mendidik dan mengajarinya menjadi seseorang yang loyal dan bertanggung jawab? Saya juga tidak dapat menghakimi mahasiswa yang memiliki pilihan ini.

Organisasi juga bukan lah ajang untuk mempamerkan popularitas atau kekuasaan. Organisasi lebih dalam lagi adalah suatu tanggung jawab. Bagaimana seorang organisator bertanggung jawab pada mahasiswa yang notabenenya adalah si empunya tertinggi suatu organisasi kemahasiswaan. Bagaimana keberlangsungan suatu organisasi kemahasiswaan tak hanya berdasarkan proker (program kerja) suatu periode kepengurusan. Karena, menurut saya, jika keberlangsungan suatu organisasi hanya berdasarkan suatu proker, maka organisasi tersebut sama halnya tak berjalan dengan hatinya sendiri. Di sini lah kedewasaan intelektual seorang mahasiswa dilatih, bagaimana para mahasiswa yang menjadi pengurus organisasi mampu menjalankan proker dengan baik, serta mampu menjalankan organisasi semakin ke depan dengan tetap menggunakan ‘hati’ organisasi tersebut.

Kedewasaan intelektual tidak hanya tercermin dari kemampuan mahasiswa dalam menghasilkan karya – karya tulis yang begitu memukau. Tidak juga sebatas indeks prestasi yang tinggi atau bahkan sempurna. Juga tidak berarti hanya sebatas keberhasilan seorang mahasiswa dalam mengembangkan organisasi kemahasiswaan yang diikutinya.

Kedewasaan intelektual sejatinya adalah serangkaian pemikiran dan sikap yang pada akhirnya dimiliki oleh seorang mahasiswa. Kemampuan untuk berfikir dan mengambil sikap sesuai yang dibutuhkan keadaan tertentu. Bagaimana seorang mahasiswa memilik tanggung jawab penuh atas kewajiban utamanya dan konsekuensi atas apa yang telah menjadi pilihan hidupnya.

Kedewasaan intelektual ini lah yang nantinya menjadi suatu cikal bakal kemajuan suatu bangsa. Kedewasaan intelektual ini bukan lah suatu revolusi atau hal yang instan. Ia membutuhkan proses yang lebih dari sati dasawarsa. Maka, kemajuan suatu bangsa juga bukan suatu hal yang mudah semudah menggembar – gemborkan pembangunan infrastruktur. Kemajuan atau lebih tepatnya kedewasaan suatu bangsa hanya akan terjadi jika para mahasiswanya memiliki kedewasaan intelektual yang arif.

Memilih adalah bagian dari suatu kehidupan. Setiap mahasiswa berhak memilih untuk menentukan pilihan hidupnya. Hanya saja bagaimana merekan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut.

3:23 PM - No comments

Dear God...

Hidup adalah lahir, berutinitas, dan mati. Ya. Di dalam rutinitas ada tanggal lahir yang berulang – ulang ditandai. Berulang – ulang pada tanggal tersebut banyak ucapan dan doa terucap dari banyak orang. Saya adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk hidup yang memiliki hidup. Sudah duapuluh tahun saya hidup. Dan setiap tanggal 18 Juni saya seperti harus merefleksikan diri tentang kelahiran saya. Yang saya tahu, saya dikandung oleh ibu saya selama Sembilan buluan delapanbelas hari. Menurut perhitungan dokter seharusnya saya lahir pada tanggal 8 Juni 1990. Tapi menurut kehendak Tuhan saya harus lahir pada 18 Juni 1990. Menurut cerita ibu, eyang, dan pakdhe saya (yang kebetulan adalah dokter yang menangani kelahiran saya), proses kelahiran saya tidak lah mudah. Leher saya terlilit oleh tali pusar saya sendiri. Mulanya Pakdhe saya merencanakan proses sesar, karena lilitan pusar saya tak kunjung lepas. Tapi ternyata Tuhan saya yang baik menginginkan saya terlahir normal. Dengan segala macam kehendak Tuhan, akhirnya saya terlahir normal.

Itu sekilas tentang apa yang terjadi pada 18 Juni 1990. Menurut saya, tanggal 18 Juni tak hanya mengingat tentang bagaimana saya lahir. Lebih dari itu, seharusnya saya bersyukur kepada Tuhan saya yang baik karena masih diberikan seperangkat kehidupan, yang jika satu bagian saja dilepas kehidupan saya menjadi tidak sempurna atau bahkan tidak lagi bernama kehidupan. Sampai umur kelima, kedua orangtua saya masih memberikan hadiah sebuah pesta ulang tahun. Memang tidak semewah pesta ulang tahun anak – anak artis. Tapi setidaknya pesta ulang tahun tersebut cukup memberikan kebahagiaan tersendiri bagi saya.

Seiring berjalannya waktu, saya tidak lagi terlalu menyukai suatu pesta ulang tahun. Lama kelamaan, bagi saya hari ulang tahun adalah hari yang biasa saja. Saya tidak lagi merasakan suatu ke-spesialan dalam tanggal 18 Juni tersebut. Yang saya lakukan setiap tanggal 18 Juni hanya lah bangun pagi dan menjalani rutinitas seperti biasa. Keluarga saya juga kebetulan tidak terlalu terbiasa memberikan ucapan selamat ulang tahun. Bagi kami, ulang tahun adalah hari dimana kami sendiri lah yang harus merenungi dengan penuh rasa syukur atas kehidupan yang masih dapat kami rasakan. Saya tidak lagi menanti – nanti ucapan selamat ulang tahun dari siapa pun. Saya juga tidak lagi mengharapkan kado apa pun. Karena bagi saya, tanggal lahir saya adalah suatu wujud dimana saya harus bersyukur. Tanggal ulang tahun saya adalah suatu tugu peringatan, betapa Tuhan saya begitu baik karena mau menampung saya yang penuh dosa di dalam bumi-Nya ini. Dalam hati saya, saat saya membuka mata dan menyadari bahwa 18 Juni sudah hadir adalah rasa syukur dan ucap lirih “Alhamdulillah”.

Tetap bagaimana pun saya merasa menjadi manusia yang sangat disayangi oleh manusia lainnya saat ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dan saya merasa menjadi manusia yang paling diberkati saat sebungkus kado tertuju pada saya pada 18 Juni. Namun, tetap lah Tuhan saya yang baik, yang memberikan hadiah terlengkap dalam hidup saya. Karena Ia memberikan saya hidup dan kehidupan.

Terimakasih Tuhan yang baik atas duapuluh tahun hidup yang Engkau beri. Hanya “Alhamdulillah” yang dapat saya bingkiskan dan sebongkah permintaan baru lagi yang saya panjatkan. Jaga saya selalu di jalan-Mu, Tuhan saya yang baik. Karena hanya ada satu Tuhan saya yang baik.

:)

3:12 PM - No comments

wanita

Wanita adalah makhluk yang indah. Ia adalah perhiasan bagi para lelaki. Di balik lelaki yang hebat pasti lah ada seorang wanita hebat di belakangnya. Siapa tak kenal keindahan wanita. Banyak orang mendefinisikan keindahan wanita itu sendiri. Kerap keindahan wanita didefinisikan dengan sesuatu yang inspiratif, sesuatu yang berkekuatan tak terduga, kelembutan, kehangatan, bahkan sex. Tak hayal wanita kerap dijadikan komoditi karena definisi keindahannya yang terakhir.

Tanpa disadari para lelaki, wanita adalah tulang punggung mereka yang lunak karena kelembutannya. Jika seorang lelaki itu adalah seorang pemimpin yang sangat hebat, maka ada seorang wanita yang menjadi tulang punggung yang lunak bagi lelaki itu. Jika tulang punggung yang lunak itu terkena infeksi atau pun gangguan, pastilah lelaki tersebut akan menjadi limbung. Tapi kerap pula para lelaki tidak menyadari kelembutan yang penuh kekuatan dari seorang wanita. Kerap wanita dijadikan komoditi pelampiasan mereka. Pelampiasan birahi, amarah, atau pun keserakahan. Tapi, setiap wanita memiliki cara tersendiri untuk bertahan. Tidak ada satu orang wanita pun, jika mereka mau mencari di dalam lubuk hati mereka, yang tidak membutuhkan kasih sayang. Dan tak ada seorang lelaki pun, jika mereka mau untuk menyebelahkan ego mereka, yang tidak membutuhkan wanita sebagai sandaran hidup. Pada kodratnya wanita terbuat dari tulang rusuk lelaki. Pastilah suatu saat tulang rusuk tersebut akan kembali pada si empunya. Berbagai cara telah Tuhan rencanakan untuk mengembalikan tulang rusuk tersebut pada si empunya. Rencana-rencana Tuhan itu kerap kali disebut para manusia sebagai hal yang menyakitkan, memilukan, bahkan ada yang menghujat kejam. Tapi sebenarnya, rencana Tuhan adalah indah pada waktunya.

Wanita itu unik. Wanita memiliki cara tersendiri untuk menguji pasangannya. Seperti pada penguin gentoo yang monogamis dan memiliki cara unik dalam menentukan pasangannya, betina lah yang menentukan, maka pada manusia, seorang wanita pun memiliki cara yang unik dalam menguji seberapa kuat seorang pria yang akan mendampingi hidupnya. Kuatnya seorang pria bukan lah hanya dari segi fisiknya, selain seorang wanita membutuhkan seorang pria yang sehat jasmani, tapi seorang wanita juga membutuhkan seorang pria yang kuat imannya, kuat emosinya, kuat prinsipnya, dan kuat kesetiaannya dalam segala keadaan, sekali pun itu adalah keadaan yang paling tidak menyenangkan.

Dalam ajaran islam, SEBAIK-BAIKNYA PERHIASAAN DUNIAWI, SESUNGGUHNYA PERHIASAAN YANG TERINDAH ADALAH SEORANG WANITA YANG SHOLEHAH. Tak jarang para pria melupakan hal tersebut. Banyak pria yang memilih atau bahkan menikahi seorang wanita sebenarnya menjadikan wanita tersebut suatu komoditi pelampiasan.

Cinta memang sukar untuk tidak diidentikkan dengan hubungan antara lelaki dan wanita. Cinta itu memang unik, seunik wanita. Banyak orang yang memutuskan tali cintanya hanya karena perbedaan persepsi, visi dan misi, atau bahkan hanya karena perbedaan pendapat. Tidak kah mereka sadar, bahwa cinta pada hakikatnya mempersatukan semua perbedaan tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing. Cinta bukan asimilasi yang mutlak. Tidak ada kemutlakan dan paksaan dari cinta. Yang ada adalah menghargai dan berkorban. Berkorban tidak lantas berarti membunuh karakter, berkorban dalam cinta adalah bersabar tanpa mempertanyakan seberapa jauh batas kesabaran, bersabar hingga Tuhan sendiri yang mengeluarkannya dari hal tersebut.

Beberapa lelaki, tak tahu itu banyak atau sebagian, yang mundur saat langkah mereka tercekat oleh suatu kebisuan dari si wanita. Tapi tidak kah para lelaki itu berfikir dan meyakini dalam hati, bahwa wanita-nya itu sedang menguji seberapa ‘kuat’ dirinya. Seberapa mampu seorang lelaki mendampinginya dalam keadaan paling tidak menyenangkan bagi si lelaki. Seberapa rela dan mampu si lelaki berkorban tanpa harus menjatuhkan harga diri di hadapan si wanita. Seberapa dalam si lelaki memahami cara unik wanita dalam berfikir. Dan mungkin saja wanita-nya itu sedang mempertanyakan dalam diri sendiri, "seberapa pantas kah engkau untuk mendampingiku". ‘Seberapa pantas kah engkau mendampingi hidupku’ itu bukan berarti tidak menghargai atau merendahkan si lelaki. Itu kerap berarti apakah wanita-nya itu sendiri merasa dirinya pantas untuk si lelaki.


Wednesday, June 16, 2010

7:37 AM - 1 comment

Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi

Artikel Dr Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada 3 tahun di Israel karena menjalani housemanship dibeberapa rumah sakit di sana. Dirinya melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan tesisnya, yaitu, "Mengapa Yahudi Pintar?"

Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang menghitung hari untuk pulang ke California, terlintas di benaknya, apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri?

Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Sekadar untuk Anda ketahui, tesis ini memakan waktu hampir delapan tahun. Karena harus mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Marilah kita mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suami.

Stephen sungguh heran karena temannya yang mengandung sering membawa buku matematika dan bertanya beberapa soal yang tak dapat diselesaikan. Kebetulan Stephen suka matematika.

Stephen bertanya, “Apakah ini untuk anak kamu?”

Dia menjawab, "Iya, ini untuk anak saya yang masih di kandungan, saya sedang melatih otaknya, semoga ia menjadi jenius."

Hal ini membuat Stephen tertarik untuk mengikut terus perkembangannya.

Kembali ke matematika tadi, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Hal lain yang Stephen perhatikan adalah cara makan. Sejak awal mengandung dia suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan.

Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandungi kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak didalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung. menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.

Ketika diundang untuk makan malam bersama orang orang Yahudi. Begitu Stephen menceritakan, “Perhatian utama saya adalah menu mereka. Pada setiap undangan yang sama saya perhatikan, mereka gemar sekali memakan ikan (hanya isi atau fillet),”
ungkapnya.

Biasanya kalau sudah ada ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada bersama di satu meja. Menurut keluarga Yahudi, campuran daging dan ikan tak bagus dimakan bersama. Salad dan kacang, harus, terutama kacang badam.

Uniknya, mereka akan makan buah buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika Anda diundang ke rumah Yahudi Anda akan dihidangkan buah buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan kabohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk.
Akibatnya lemah dan payah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Di Israel, merokok adalah tabu, apabila Anda diundang makan dirumah Yahudi, jangan sekali kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka. Menyuruh Anda merokok di luar rumah mereka.

Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak ( bodoh). Suatu penemuan yang dari saintis gen dan DNA Israel.

Perhatian Stephen selanjutnya adalah mengunjungi anak-anak Yahudi. Mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah buahan bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil lever).

Dalam pengamatan Stephen, anak-anak Yahudi sungguh cerdas. Rata rata mereka memahami tiga bahasa, Hebrew, Arab dan Inggris. Sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban.
Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat meningkatkan IQ. Sudah tentu bakal menjadikan anak pintar.

Ini menurut saintis Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak.

Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.

Seterusnya di kelas 1 hingga 6, anak anak Yahudi akan diajar matematika berbasis perniagaan. Pelajaran IPA sangat diutamakan. Di dalam pengamatan Stephen, “Perbandingan dengan anak anak di California, dalam tingkat IQ-nya bisa saya katakan 6 tahun kebelakang!!!” katanya.

Segala pelajaran akan dengan mudah di tangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran tadi olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak dan berlari.
Menurut teman Yahudi-nya Stephen, memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Disamping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Selanjutnya perhatian Stephen ke sekolah tinggi (menengah). Di sini murid-murid digojlok dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu dan memboroskan, tetap diteliti dengan serius.
Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi.

Satu lagi yg di beri keutamaan ialah fakultas ekonomi. Saya sungguh terperanjat melihat mereka begitu agresif dan seriusnya mereka belajar ekonomi. Diakhir tahun diuniversitas, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek. Mereka harus memperaktekkanya.
Anda hanya akan lulus jika team Anda (10 pelajar setiap kumpulan) dapat keuntungan sebanyak $US 1 juta!

Anda terperanjat?

Itulah kenyataannya.

Kesimpulan, pada teori Stephen adalah, melahirkan anak dan keturunan yang cerdas adalah keharusan. Tentunya bukan perkara yang bisa diselesaikan semalaman. Perlu proses, melewati beberapa generasi mungkin?

Kabar lain tentang bagaimana pendidikan anak adalah dari saudara kita di Palestina. Mengapa Israel mengincar anak-anak Palestina. Terjawab sudah mengapa agresi militer Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza.

Seperti yang kita ketahui, setelah lewat tiga minggu, jumlah korban tewas akibat holocaust itu sudah mencapai lebih dari 1300 orang lebih. Hampir setengah darinya adalah anak-anak.

Selain karena memang tabiat Yahudi yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka. Sebulan lalu, sesuai Ramadhan 1429 Hijriah, Ismali Haniya, pemimpin Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz al-Quran.

Anak-anak yang sudah hafal 30 juz Alquran ini menjadi sumber ketakutan Zionis Yahudi. "Jika dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai Alquran, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti apa?" demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang Yahudi.

Tidak heran jika-anak Palestina menjadi para penghafal Alquran. Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan mereka terus intens berinteraksi dengan al-Qur’an. Tak ada main Play Station atau game bagi mereka.
Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi para penghafal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang penjajah, sekitar 500 bocah penghafal Quran itu telah syahid.

Perang panjang dengan Yahudi akan berlanjut entah sampai berapa generasi lagi. Ini cuma masalah giliran. Sekarang Palestina dan besok bisa jadi Indonesia. Bagaimana perbandingan perhatian pemerintah Indonesia dalam membina generasi penerus dibanding dengan negara tetangganya.

Ambil contoh tetangga kita yang terdekat adalah Singapura. Contoh yang penulis ambil sederhana saja, Rokok. Singapura selain menerapkan aturan yang ketat tentang rokok, juga harganya sangat mahal.

Benarkah merokok dapat melahirkan generasi “Goblok!” kata Goblok bukan dari penulis, tapi kata itu sendiri dari Stephen Carr Leon sendiri. Dia sudah menemui beberapa bukti menyokong teori ini.
“Lihat saja Indonesia,” katanya seperti dalam tulisan itu.

Jika Anda ke Jakarta, di mana saja Anda berada, dari restoran, teater, kebun bunga hingga ke musium, hidung Anda akan segera mencium bau asak rokok! Berapa harga rokok? Cuma US$ .70cts !!!

“Hasilnya? Dengan penduduknya berjumlah jutaan orang berapa banyak universitas? Hasil apakah yang dapat dibanggakan? Teknologi? Jauh sekali. Adakah mereka dapat berbahasa selain dari bahasa mereka sendiri? Mengapa mereka begitu sukar sekali menguasai bahasa Inggris? Ditangga berapakah kedudukan mereka di pertandingan matematika sedunia? Apakah ini bukan akibat merokok? Anda fikirlah sendiri?

sumber:

Saturday, June 5, 2010

10:50 AM - No comments

Jabatan : Fungsi atau Gengsi

JABATAN. Sesuatu yang terhormat dan penuh tanggung jawab. Memiliki kewajiban dan hak. Memiliki kewenangan. Setiap organisasi atau institusi pastilah memiliki istilah tersebut. Personel yang ‘menjabat’. Yang berwenang. Yang nantinya bertanggung jawab. ‘Pejabat’ adalah orang yang menjabat, yang memiliki wewenang.

Lebih dari sekedar posisi atau kedudukan. Bukan hanya sebatas wewenang dan tanggung jawab. ‘Jabatan’ adalah fungsi. ‘Pejabat’ adalah pelaksana fungsi.

Setelah menonton “Editorial Media Indonesia” (EMI) pagi tadi (5/6), saya jadi terfikir akan kata ‘Jabatan’. Kebetulan tema EMI pagi ini adalah “Belajar Dari Jepang”. Lho kok? Apanya yang mau dipelajari dari negeri penjajah sadis itu?

Dalam kurun 4 tahun terakhir ada 4 Perdana Mentri Jepang yang mengundurkan diri dari Jabatannya. Mengundurkan diri? Ya. Apa ada pejabat di Indonesia tercinta ini yang dengan sukarela melepas jabatan nya? Yang artinya melepas “Kedudukan” nya. Yang maknanya melepas “Gengsi” nya.

Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang yang baru – baru ini menyatakan pengunduran dirinya (2/6) dengan alasan gagal merelokasi pangkalan militer AS.

Sinzho Abe, mengundurkan diri karena 3 menteri dalam kabinetnya terbukti melakukan korupsi. Lalu ia merasa gagal menjalankan ‘Fungsi’ dan berakhir pengunduran diri. Coba bayangkan. Yang melakukan korupsi itu kan menteri – menteri nya. Bukan Si Perdana Menteri. Bandingkan saja dengan di Indonesia. Terbukti korupsi pun dia akan mundur kalau sudah dipaksa untuk mundur.

Dan ada 2 Perdana Menteri lain yang mengundurkan diri karena merasa tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak mampu menjalankan amanah rakyat.

Salut!

Kenapa?

Karena mereka jujur akan kemampuan mereka. Mereka selalu berusaha konsisten dengan janji – janji yang mereka ucapkan saat kampanye. Janji? Ya. Wajar saat kampanye para calon pejabat itu mengumbar janji. Itu marketing mereka. setelah terpilih. Itu pilihan mereka, mereka menepati atau tidak. Kalau menepati mereka membayar hutang. Kalau tidak, ya siap – siap saja dikutuk oleh janji mereka sendiri nantinya.

Dilihat dari historisnya, Jepang terkenal dengan Harakiri nya (red. semacam bunug diri dengan menusuk perut. Hara bearti perut. Kiri berarti membelah atau menusuk. Konon, katanya kehormatan orang Jepang itu berada pada perutnya. Harakiri sendiri dilakukan karena mereka merasa malu atau gagal. Harakiri sendiri adalah salah satu kebudayaan Bushido (Ksatria).

Kebudayaan hara-kiri ini, kini telah diperhalus dan di-modernisasi dengan cara pengunduran diri dari suatu jabatan, seperti yang dilakukan oleh 4 perdana menteri Jepang tersebut.

Lihat saja di Indonesia. Orang Indonesia bunuh diri bukan karena ia gagal mengemban tugas sebagai pejabat, tapi karena mereka gagal menjadi pejabat, dan karena kehormatan Indonesia terletak pada kepala, maka cara mereka bunuh diri adalah dengan menggantung diri.

‘Jabatan’ bagi orang Indonesia adalah suatu kedudukan. Saya akui, “Iya”. Kenapa? Begitu banyak orang yang ingin menjabat. Sebagai presiden lah, sebagai kepala daerah lah, sebagai ketua apa lah. Mereka berlomba – lomba mengumbar janji saat mencalonkan. Mereka berlomba – lomba menarik hati orang – orang yang akan dipimpinnya nanti. Itu startegi. Lalu, selanjutnya saat mereka terpilih. Menurut pengamatan saya, mereka cenderung lupa akan narasi janji yang telah mereka susun dengan sangat indah. Banyak dalih diutarakan. Dari banyaknya kendala, lingkungan yang tidak mendukung, partisipasi masyarakat yang kurang, sampai kehendak Tuhan. Sungguh aktor dan aktris yang jenius para pejabat Indonesia. Sudah tak lagi perlu ada sekolah drama untuk melakukan pertunjukkan di atas panggung sandiwara.

Masih ingat kah seorang Ketua DPRD yang tewas karena dikeroyok oleh para demonstran? Hal ini terjadi karena aparat keamanan yang kurang sigap. Tapi bisa saja alasan “terlalu banyak demonstran” dipakai. Tapi mengamankan masa deminstran adalah tugas aparat keamanan bukan? Lalu, dalam hal ini siapa yang dianggap tidak menjalankan fungsinya dengan baik? “Kehendak Tuhan” (mungkin). Hal yang membuat geli adalah pimpinan aparat keamanan yang tak mampu menertibkan masa itu bukannya mengundurkan diri dari jabatannya atau sekedar minta maaf, tapi malah sekarang menempati posisi yang lebih baik lagi. Bayangkan saja jika hal ini terjadi di Jepang. Mungkin si pimpinan akan langsung melakukan pengunduran diri atau yang lebih ekstrim lagi melakukan hara-kiri.

Mengapa saya mengatakan ‘Jabatan’ di Indonesia adalah suatu gengsi? Lihat saja fenomena yang kerap terjadi. Jika seorang pejabat telah lengser, maka anak atau istrinya bersiap – siap berkampanye untuk menggantikan kedudukannya. Tak ada bedannya dengan jaman kerajaan dulu, bukan? Bahkan, ada juga istri tua dan istri muda seorang pejabat yang akan lengser saling bersaing untuk menggantikan kedudukan sang suami. “Yang penting keluarga saya masih memiliki gengsi”, mungkin itu alasan mereka sesungguhnya. Saya juga tidak tahu pasti.

Pola seperti itu adalah pola feodal. Dimana jabatan adalah turun temurun. Seperti pada kerajaan – kerajaan. Sedangkan pada pola modern, tak ada istilah jabatan adalah turun temurun. Saat seseorang merasa sudah tak lagi mampu berfungsi sebagaimana mestinya dengan jabatan yang disandang, maka orang tersebut akan memilih untuk mundur saja.

Tidak usah melihat ke lingkup yang besar, seperti lingkup pemerintahan. Lihat saja pada lingkup kampus. Mahasiswa. Banyak organisasi kampus yang mulanya dibentuk untuk suatu tujuan yang baik, mengayomi mahasiswa, mengkoordinir mahasiswa, tapi akhirnya hanya berfungsi sebagai simbol. Kepemimpinan di dalamnya juga tak jarang hanya sebagai suatu posisi. Asal ada yang menempati. Asal ada yang menjabat. Yang penting posisi terpenuhi. Masalah fungsi adalah belakangan. Nah lho, kalau sedari mahasiswa, sedari masa kuliah di kampus saja seperti ini bagaimana saat sudah terjun ke dalam masyarakat secara langsung? Bukan kah Universitas adalah laboraturium bagi suatu Negara? Dimana diharapkan akan terbentuk personel yang unggul untuk kepemimpinan Negara ke depannya?