No comments
Jabatan : Fungsi atau Gengsi
JABATAN. Sesuatu yang terhormat dan penuh tanggung jawab. Memiliki kewajiban dan hak. Memiliki kewenangan. Setiap organisasi atau institusi pastilah memiliki istilah tersebut. Personel yang ‘menjabat’. Yang berwenang. Yang nantinya bertanggung jawab. ‘Pejabat’ adalah orang yang menjabat, yang memiliki wewenang.
Lebih dari sekedar posisi atau kedudukan. Bukan hanya sebatas wewenang dan tanggung jawab. ‘Jabatan’ adalah fungsi. ‘Pejabat’ adalah pelaksana fungsi.
Setelah menonton “Editorial Media Indonesia” (EMI) pagi tadi (5/6), saya jadi terfikir akan kata ‘Jabatan’. Kebetulan tema EMI pagi ini adalah “Belajar Dari Jepang”. Lho kok? Apanya yang mau dipelajari dari negeri penjajah sadis itu?
Dalam kurun 4 tahun terakhir ada 4 Perdana Mentri Jepang yang mengundurkan diri dari Jabatannya. Mengundurkan diri? Ya. Apa ada pejabat di Indonesia tercinta ini yang dengan sukarela melepas jabatan nya? Yang artinya melepas “Kedudukan” nya. Yang maknanya melepas “Gengsi” nya.
Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang yang baru – baru ini menyatakan pengunduran dirinya (2/6) dengan alasan gagal merelokasi pangkalan militer AS.
Sinzho Abe, mengundurkan diri karena 3 menteri dalam kabinetnya terbukti melakukan korupsi. Lalu ia merasa gagal menjalankan ‘Fungsi’ dan berakhir pengunduran diri. Coba bayangkan. Yang melakukan korupsi itu kan menteri – menteri nya. Bukan Si Perdana Menteri. Bandingkan saja dengan di Indonesia. Terbukti korupsi pun dia akan mundur kalau sudah dipaksa untuk mundur.
Dan ada 2 Perdana Menteri lain yang mengundurkan diri karena merasa tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak mampu menjalankan amanah rakyat.
Salut!
Kenapa?
Karena mereka jujur akan kemampuan mereka. Mereka selalu berusaha konsisten dengan janji – janji yang mereka ucapkan saat kampanye. Janji? Ya. Wajar saat kampanye para calon pejabat itu mengumbar janji. Itu marketing mereka. setelah terpilih. Itu pilihan mereka, mereka menepati atau tidak. Kalau menepati mereka membayar hutang. Kalau tidak, ya siap – siap saja dikutuk oleh janji mereka sendiri nantinya.
Dilihat dari historisnya, Jepang terkenal dengan Harakiri nya (red. semacam bunug diri dengan menusuk perut. Hara bearti perut. Kiri berarti membelah atau menusuk. Konon, katanya kehormatan orang Jepang itu berada pada perutnya. Harakiri sendiri dilakukan karena mereka merasa malu atau gagal. Harakiri sendiri adalah salah satu kebudayaan Bushido (Ksatria).
Kebudayaan hara-kiri ini, kini telah diperhalus dan di-modernisasi dengan cara pengunduran diri dari suatu jabatan, seperti yang dilakukan oleh 4 perdana menteri Jepang tersebut.
Lihat saja di Indonesia. Orang Indonesia bunuh diri bukan karena ia gagal mengemban tugas sebagai pejabat, tapi karena mereka gagal menjadi pejabat, dan karena kehormatan Indonesia terletak pada kepala, maka cara mereka bunuh diri adalah dengan menggantung diri.
‘Jabatan’ bagi orang Indonesia adalah suatu kedudukan. Saya akui, “Iya”. Kenapa? Begitu banyak orang yang ingin menjabat. Sebagai presiden lah, sebagai kepala daerah lah, sebagai ketua apa lah. Mereka berlomba – lomba mengumbar janji saat mencalonkan. Mereka berlomba – lomba menarik hati orang – orang yang akan dipimpinnya nanti. Itu startegi. Lalu, selanjutnya saat mereka terpilih. Menurut pengamatan saya, mereka cenderung lupa akan narasi janji yang telah mereka susun dengan sangat indah. Banyak dalih diutarakan. Dari banyaknya kendala, lingkungan yang tidak mendukung, partisipasi masyarakat yang kurang, sampai kehendak Tuhan. Sungguh aktor dan aktris yang jenius para pejabat Indonesia. Sudah tak lagi perlu ada sekolah drama untuk melakukan pertunjukkan di atas panggung sandiwara.
Masih ingat kah seorang Ketua DPRD yang tewas karena dikeroyok oleh para demonstran? Hal ini terjadi karena aparat keamanan yang kurang sigap. Tapi bisa saja alasan “terlalu banyak demonstran” dipakai. Tapi mengamankan masa deminstran adalah tugas aparat keamanan bukan? Lalu, dalam hal ini siapa yang dianggap tidak menjalankan fungsinya dengan baik? “Kehendak Tuhan” (mungkin). Hal yang membuat geli adalah pimpinan aparat keamanan yang tak mampu menertibkan masa itu bukannya mengundurkan diri dari jabatannya atau sekedar minta maaf, tapi malah sekarang menempati posisi yang lebih baik lagi. Bayangkan saja jika hal ini terjadi di Jepang. Mungkin si pimpinan akan langsung melakukan pengunduran diri atau yang lebih ekstrim lagi melakukan hara-kiri.
Mengapa saya mengatakan ‘Jabatan’ di Indonesia adalah suatu gengsi? Lihat saja fenomena yang kerap terjadi. Jika seorang pejabat telah lengser, maka anak atau istrinya bersiap – siap berkampanye untuk menggantikan kedudukannya. Tak ada bedannya dengan jaman kerajaan dulu, bukan? Bahkan, ada juga istri tua dan istri muda seorang pejabat yang akan lengser saling bersaing untuk menggantikan kedudukan sang suami. “Yang penting keluarga saya masih memiliki gengsi”, mungkin itu alasan mereka sesungguhnya. Saya juga tidak tahu pasti.
Pola seperti itu adalah pola feodal. Dimana jabatan adalah turun temurun. Seperti pada kerajaan – kerajaan. Sedangkan pada pola modern, tak ada istilah jabatan adalah turun temurun. Saat seseorang merasa sudah tak lagi mampu berfungsi sebagaimana mestinya dengan jabatan yang disandang, maka orang tersebut akan memilih untuk mundur saja.
Tidak usah melihat ke lingkup yang besar, seperti lingkup pemerintahan. Lihat saja pada lingkup kampus. Mahasiswa. Banyak organisasi kampus yang mulanya dibentuk untuk suatu tujuan yang baik, mengayomi mahasiswa, mengkoordinir mahasiswa, tapi akhirnya hanya berfungsi sebagai simbol. Kepemimpinan di dalamnya juga tak jarang hanya sebagai suatu posisi. Asal ada yang menempati. Asal ada yang menjabat. Yang penting posisi terpenuhi. Masalah fungsi adalah belakangan. Nah lho, kalau sedari mahasiswa, sedari masa kuliah di kampus saja seperti ini bagaimana saat sudah terjun ke dalam masyarakat secara langsung? Bukan kah Universitas adalah laboraturium bagi suatu Negara? Dimana diharapkan akan terbentuk personel yang unggul untuk kepemimpinan Negara ke depannya?
0 komentar:
Post a Comment