Sunday, August 21, 2011

5:59 AM - No comments

Refleksi Anak Indonesia



“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.(Pasal 1 Undang – undang Perlindungan Anak)

Anak adalah harapan bagi masa depan suatu bangsa. Maka dari itu, kenyamanan dalam tumbuh kembang anak sangat penting bagi terciptanya suatu masa depan bangsa yang lebih baik. Keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara bertanggung jawab dalam melindungi hak anak demi tumbuh kembang anak yang baik dan partisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat.

Walaupun merupakan asset masa depan bangsa, namun sejumlah anak Indonesia masih saja belum mendapatkan hak dan perlindungan yang sepatutnya mereka terima. Masih banyaknya perdagangan anak, pekerja seks anak, dan buruh anak di Indonesia menandakan betapa anak Indonesia masih kurang mendapatkan perlindungan. Untuk mengawal perlindungan hak – hak anak maka, dibentuklah komisi Perlindungan Anak Indonesia sesuai dengan Undang – undang No. 23 Tahun 2002 yang diratifikasi dari Konvensi Hak – Hak Anak Internasional.

Anak adalah anugerah dari Tuhan yang seharusnya kita lindungi. Hal tersebut sepertinya belum disadari oleh semua orang di dunia ini. Keluarga dan orang tua seharusnya adalah perlindungan pertama bagi anak, tapi tak jarang kita mendengar kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan orang tua atau pihak keluarga dengan berbagai macam dalih termasuk dalih sebagai suatu proses mendidik anak. Tak hanya itu, semakin banyak saja kita mendengar berita anak yang dijadikan objek seksualitas oleh ayah kandung atau ayah tirinya. Jika sudah begitu, bagaimana anak dapat merasakan kenyamanan untuk tumbuh kembangnya dengan baik?

Human trafficking menjadi isu yang tak kunjung padam. Beragam regulasi dan tindakan telah disahkan guna melawan human trafficking. Tapi tetap saja, human trafficking masih marak terjadi, terlebih pada anak – anak. Tak hanya anak yang telah lahir di dunia saja yang diperdagangkan dengan mudahnya. Bahkan, perdagangan anak ini dapat terjadi sejak anak masih di dalam kandungan. Jika anak yang notabennya merupakan masa depan bangsa kita saja dengan begitu mudahnya diperdagangkan, lalu bagaimana bangsa ini di masa depan?

HIV/AIDS adalah ancaman lain bagi anak Indonesia. Gaya hidup bebas orang dewasa ternyata tidak hanya menghancurkan masa depan si orang dewasa tersebut, tapi juga dapat mengancam masa depan anak. Karena, sebagian besar anak yang mengidap penyakit tersebut, terjangkit dari orangtua mereka. Dapat kah anda bayangkan bagaimana jika sedari lahir saja mereka sudah terjangkit penyakit yang menyerang system imun tersebut? Ditambah lagi, kultur di Indonesia yang masih belum dapat menerima dengan begitu legowo para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Jika kita di jalanan, kerap kita melihat anak – anak yang harus harus bersahabat dengan teriknya matahari dan kerasnya aspal demi mendapatkan rupiah. Bukan kah dunia anak yang sebenarnya adalah bermain dan belajar? Lalu bagaimana anak tersebut dapat memiliki waktu untuk bermain dengan teman – teman sebayanya dan belajar sesuai dengan (minimal) ‘wajib belajar Sembilan tahun’?

Kecerdasan anak bangsa adalah kunci sukses dari pembangunan bangsa di masa depan. Pendidikan adalah cara untuk mengembangkan kecerdasan anak. Namun, pendidikan gratis masih merupakan suatu mimpi bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Maraknya korupsi dana pendidikan yang tak sampai 10% dari anggaran Negara membuat pendidikan gratis masih memerlukan proses yang lebih lama lagi, walaupun kini sudah ada program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Selain itu, kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat sejumlah anak harus putus sekolah dan memutuskan untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga mereka.

Anak yang telah hidup pada taraf keluarga yang mampu memberikan perlindungan dan pendidikan bagi mereka pun tak begitu saja lepas dari ancaman. Pornografi dan hedonisme masih saja membayang – bayangi kehidupan anak Indonesia belakangan ini. Semakin canggihnya teknologi menuntut semakin waspadanya orangtua dalam mengawasi anak – anak mereka. Mengawasi bukan berarti membatasi, karena pada dasarnya anak memiliki sifat selalu ingin tahu. Pengarahan dan pendekatan secara psikologis oleh orangtua adalah salah satu cara untuk menghindarkan anak dari pornografi. Gambaran gaya hidup mewah dibeberapa tontonan televise pun turut membentuk mindset anak, karena anak bagaikan sebuah lilin yang dapat dengan mudah dibentuk. Gaya hidup yang seperti ini dapat membentuk perilaku konsumtif pada anak yang berlebihan. Jika anak sudah memiliki perilaku konsumtif, maka bias jadi kreatifitas mereka untuk berkreasi menjadi semakin minimal. Lalu bagaimana bangsa ini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri di masa depan, jika anak bangsanya memiliki perilaku hedonis dan konsumtif?

Sudah saatnya kita lebih peduli akan perlindungan hak – hak anak dan kelayakan, serta kenyamanan tumbuh kembang anak. Karena bagaimana pun masa depan bangsa ini terletak pada anak. Menjadi contoh yang baik bagi anak adalah cara bijak untuk membentuk mental yang sehat pada anak, karena anak selalu bercermin pada orang yang lebih dewasa.




Tulisan ini saya tulis setahun yang lalu dalam rangka Hari Anak Nasional 2010

Friday, August 19, 2011

12:43 PM - No comments

Aku dan Kamu yang Berbeda

Aku dan kamu adalah dua hal yang diciptakan Tuhan dengan berbeda

Aku dengan segala aku

Dan kamu dengan segala kamu

Aku dengan segala yakinku

Sementara kamu dengan segala yakinmu

Jika kau Tanya apa pendapatku tentang perbedaan,

Maka hening sejenak lah yang akan menjawab

Jika kamu tanyakan aku sebagai ego, maka aku menginginkan perbedaan itu menjadi sama

Namun, jika kamu tanyakan aku sebagai hati, maka hanya bahagia yang muncul seberapa pun perbedaan itu merekah



Kamu tahu apa rasanya menjadi berbeda?

“Asing”, itu jawabmu

Sementara aku hanya menggelengkan kepalaku

Aku dan kamu berbeda, tapi tak lantas kita adalah asing

Kamu tersenyum, sejenak hening memunculkan dirinya kembali



Lalu sekarang apa rasanya berbeda itu?

“Segaris senyum saja aku rasa sudah cukup menjawabnya,” itu jawabmu



Tak peduli kamu meracau seperti apa pun

Apa pun itu, aku rasa Tuhan menginginkan kita berbeda dan bertemu

Walau sebenarnya kita memijak tanah yang tak sama

Ini tanah yang aku yakini, dan itu tanah yang kamu yakini

Tak ada kata 'cukup' untuk lalu menuntaskan perbedaan

Itu tidak akan pernah tuntas,

Selama Tuhan belum membuat takdirnya berakhir




P. S : Untuk kamu yang berbeda, selamat bahagia. Aku bahagia J

Monday, August 15, 2011

1:31 AM - No comments

:(

Ambil saja belatinya

Belati di atas meja bundar itu

Sudah cukup aku lelah terus menangis

Tawa seakan berlari dari hidupku sekerjap tadi

Bahkan, kalau kini kau ingin berlari akan ku biarkan saja

Entah apa ini namanya

Marah?

Sesal?

Marah yang berujung sesal?

Atau..

Sesal yang berujung marah?

Sudah tak lagi mampu otakku memilahnya

Jika hati ini tiang, maka retak pun di pangkalnya

Hey, dapat kau lihat itu retaknya?

Ya, karena hanya kau yang dapat melihatnya

Sentuh lah sekejap saja retakan itu

Terasa bukan rembesan air yang semakin lama semakin basah

Sudah tidak perlu difikirkan

Karena nyatanya aku sendiri masih belum yakin

Hunus saja belati di tanganmu itu

Biar semua selesai

Entah seperti apa nantinya

……..

Tuesday, August 2, 2011

9:06 PM - No comments

Kamu dan Jingga

Terkadang sore datang tak bersama jingga yang indah. Untuk itu lah kerinduan merasuk di antara aku dan jingga yang indah. Dan itu lah mengapa jingga bagiku adalah indah. Langit sore itu sudah seperti belahan jiwa yang rasanya tak ingin sekali pun aku melewatkannya. Karena kamu tahu begitu menyiksa rasa rindu pada jingga. Ku cari ia pada sejuk pagi tak pernah mampu aku dapati. Ku cari ia pada gemerlap malam tak juga mampu aku dapati. Sekali pun ku cari ia pada hingar bingar siang masih juga tak ku temui ia.

Beberapa bulan belakangan begitu sering saya melewatkan senja yang selalu saya nanti itu. Mungkin itu lah mengapa bagi saya jingga terasa semakin indah. Anda tahu bagaimana rasanya saat rindu itu datang dan rasa ingin memeluk datang begitu kuat, sementara saya hanya mampu melihatnya tanpa merasakan hadirnya. Semburat jingga itu membuat saya yang tengah berada di dalam ruangan begitu sedih.

Hanya sesekali waktu aku menikmati mencuri waktu untuk menikmati jingga. Di atas jalanan kota yang mulai lelah. Hanya sekedar duduk pasrah dengan segelas es krim sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang membawa orang – orang kembali ke rumah nyaman mereka. Aku bahagia saat seperti itu.

Saat ini, aku dapat sebebas – bebasnya memeluk jingga. Aku dapat sepuas – puasnya menyesap semburatnya hingga senyum tak lekang dari wajahku. Tak perlu lagi mencuri waktu untuk merasakan udara yang perlahan mulai dingin. Tapi bukan berarti aku tak lagi memiliki kerinduan. mungkin ini adalah pengganti kerinduanku pada jingga. Kamu.

Kamu yang selama ini ternyata menggeser posisi jingga ke ruang rindu. Kamu yang perlahan menepiskan jingga menjadi hal langka bagiku. Dan kini jingga yang menggesermu ke ruang rindu. Jingga yang menepiskanmu menjadi hal yang begitu langka. Kamu dan jingga adalah hal yang saling mensubtitusi dalam ranahku.

Hay, kamu, suatu saat aku perlu mencuri – curi waktu untuk dapat melihatmu tersenyum dan menertawakan hal konyol bersama. Suatu saat aku yang akan merasakan begitu langkanya waktu bersamamu.


J

7:22 PM - No comments

saya, hidup, Tuhan

Seperti biasa saya melajukan kendaraan roda dua saya di atas jalanan aspal sore. Lelah menyertai dengan setia. Entah mengapa saya merasa lelah adalah teman paling setia, Ia akan menjauh saat saya terbangun dari tidur di pagi hari. Di atas jalanan aspal kota ini lah saya kerap merenung. Memikirkan hal yang tiba-tiba saja datang. Kali ini saya merenungi tentang betapa Tuhan selalu ada di dekat saya.

Setengah jam dalam perjalanan saya pulang dari kampus sore itu penuh dengan perenungan saya akan Tuhan yang ternyata kerap saya lupakan. Tuhan. Ya. Sosok yang begitu Agung. Yang begitu berharga. Apa jadinya jika saya tak punya Tuhan? Apa jadinya jika Tuhan membuang saya? Saat saya kehilangan harta, teman, atau pun keluarga, mungkin saya masih tetap bisa hidup dengan menghela nafas. Tapi, bagaimana jika Tuhan yang meninggalkan saya?

Tuhan. Saya menyebutnya lagi. Entah sudah berapa juta atau bahkan miliyar kali saya mengucapkan sosok itu. ‘Tuhan’. Entah itu terucap dari mulut saya secara sadar. Atau saat saya merasa ‘kepepet’. Mungkin saja terucap di dalam hati saya saat saya tengah ‘bengong’. Pengucapan ‘Tuhan’ bagi saya tak dapat terduga.

Dalam perjalanan sore saya itu, saya kembali menyadari, Tuhan telah banyak memberi saya. Saya diberi nyawa dan hidup. Diberi udara untuk bernafas tanpa saya harus membayar. Saya diberi kemampuan untuk bertahan hidup, walau dalam keadaan itu saya sendiri merasa saya tak dapat hidup. Saya diberi hati, akal, dan fikiran. Saya dapat merasakan banyak hal. Saya diberi dua mata untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Saya diberi telinga untuk mendengar kemerduan dunia. Saya diberi tangan untuk dapat menyentuh sekitar saya. Tapi mengapa saya selalu merasa saya ini ‘tak punya apa-apa’? Ini kah rasa kurang bersyukur saya?

Saya diberi kebahagiaan, tapi saya kerap merasa saya tidak bahagia. Saya diberi kemampuan untuk terus bangkit, tapi saya selalu merasa terpuruk. Saya diberi berkah, tapi saya selalu merasa kosong.

Saya lalu berfikir, bagaimana jika Tuhan saya marah? Bagaimana jika Tuhan ‘ngambek’ pada saya? Lalu Tuhan enggan memberikan secuil pun nikmat-Nya kepada saya. Sudah diberi nikmat saja saya masih sering merasa tak punya apa-apa. Apa jadinya jika Tuhan tak memberikan sedikit pun nikmat-Nya?

Di sepanjang perjalanan saya seharusnya dapat lebih bersyukur. Untuk bepergian saya memiliki kendaraan. Dompet saya cukup untuk mengisi tangki bensin kendaraan saya. Saya tak perlu berpanas-panas untuk mengisi dompet saya, setidaknya untuk saat ini. Tapi sering hal-hal kecil tersebut tidak saya sadari untuk disyukuri. Apa rasanya jika saya harus berpanas-panas di bawah terik matahari dan bertelanjang kaki di atas aspal keras yang bisa saja mematangkan telur? Apa jadinya saat saya tak dapat lagi memikirkan bagaimana melindungi kulit dari sengatan matahari dan dari asap kendaraan di jalanan? Bagaimana jika dulu, sewaktu kecil, ibu saya tidak bisa membuatkan makanan untuk makan saya sehari-hari? Bagaimana jika sewaktu saya berumur empat tahun saya harus merasakan sengatan matahari yang begitu dahsyat dan harus merelakan kaki saya setengah dilepuhkan oleh panasnya aspal? Saya harus menengadahkan tangan saya kepada para pengendara kendaraan atau saya harus menyanyikan lagu dengan alakadarnya. Saya harus memasang muka se-memelas mungkin agar kepingan rupiah jatuh pada telapak tangan saya yang lemah. Saya tak akan pernah merasakan bagimana harus belajar mengeja satu per satu huruf abjad dan mengenali angka-angka. Fikiran saya pun tidak akan sampai ngelu hanya untuk memikirkan soal matematika. Saya juga tak akan menangis saat saya begitu kesulitan menghafalkan materi ilmu pengetahuan sosial. Saat saya mulai berusia limabelas tahun, saya juga tak akan mengerutkan kening dan menyipitkan mata untuk belajar melihat makhluk-makhluk mikro dari mikroskop. Saya juga tak harus menghafal unsur-unsur kimia dan bilangan atomnya. Sekelumit waktu saya juga tak akan saya habiskan di laboraturium sekolah hanya untuk mengukur berapa kali sebuah bandul bergerak dalam waktu semenit dan pekerjaan itu harus diulang minimal sampai tiga kali. Yang jelas, saat ini saya tidak akan memiliki kartu yang menyatakan saya adalah seorang mahasiswa dari sebuah universitas swasta.

Saya menghela nafas dalam dan panjang. Kedua mata saya dengan telanjang dapat melihat anak-anak kecil yang berjalan di atas aspal dengan muka memelas dan menengadahkan tangan mereka. Jujur, saya begitu miris. Bagaimana jika saya adalah dia? Bagaimana jika saat saya memiliki anak kelak, dia adalah anak saya? Hati saya ingin agar tangan saya merogoh kepingan uang di dalam tas dan meletakkannya di atas telapak tangan anak itu. Tapi, fikiran saya bertentangan dengan hati saya. Fikiran saya beralasan, semakin anak itu diberi kepingan uang maka, semakin lama ia akan menjalani hidupnya yang seperti sekarang ini. Atau bisa saja uang yang mereka terima itu bukan benar-benar untuk mereka, bisa saja mereka menengadahkan tangan mungil mereka demi menghidupi orang dewasa yang berotak bebal dan dengan tanpa berdosa memanfaatkan keluguan anak-anak kecil untuk mengumpulkan kepingan rupiah.

Perenungan lain saya tentang Tuhan adalah bagaimana jika saya mati.

Saya hidup. Kata ‘hidup’ berpasangan dengan kata ‘mati’. Dulu saya tiada dan suatu saat nanti saya akan kembali tiada. Saya rasa itu bukan hal besar. Itu hal wajar. Satu hal yang saya yakini akhir-akhir ini. Hidup adalah suatu energy. Dalam hukum kekelan energy, “energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energy hanya berubah bentuk”. Saya percaya itu. Saya tidak ada, lalu ada, dan akhirnya kembali tidak ada. Itu hanya lah konsep ‘keberadaan’ saya di dunia. Mungkin saja saya selalu ada. Atau mungkin saja, saya memang tidak pernah ada. Saya berasal dari tanah, lalu saya berubah menjadi manusia atas kuasa Tuhan saya. Suatu saat nanti, saya akan kembali berubah menjadi tanah. Saya hanya ‘berubah’ wujud. Saya tidak pergi. Saya tetap ada, dalam lingkungan bumi.