Tuesday, August 2, 2011

7:22 PM - No comments

saya, hidup, Tuhan

Seperti biasa saya melajukan kendaraan roda dua saya di atas jalanan aspal sore. Lelah menyertai dengan setia. Entah mengapa saya merasa lelah adalah teman paling setia, Ia akan menjauh saat saya terbangun dari tidur di pagi hari. Di atas jalanan aspal kota ini lah saya kerap merenung. Memikirkan hal yang tiba-tiba saja datang. Kali ini saya merenungi tentang betapa Tuhan selalu ada di dekat saya.

Setengah jam dalam perjalanan saya pulang dari kampus sore itu penuh dengan perenungan saya akan Tuhan yang ternyata kerap saya lupakan. Tuhan. Ya. Sosok yang begitu Agung. Yang begitu berharga. Apa jadinya jika saya tak punya Tuhan? Apa jadinya jika Tuhan membuang saya? Saat saya kehilangan harta, teman, atau pun keluarga, mungkin saya masih tetap bisa hidup dengan menghela nafas. Tapi, bagaimana jika Tuhan yang meninggalkan saya?

Tuhan. Saya menyebutnya lagi. Entah sudah berapa juta atau bahkan miliyar kali saya mengucapkan sosok itu. ‘Tuhan’. Entah itu terucap dari mulut saya secara sadar. Atau saat saya merasa ‘kepepet’. Mungkin saja terucap di dalam hati saya saat saya tengah ‘bengong’. Pengucapan ‘Tuhan’ bagi saya tak dapat terduga.

Dalam perjalanan sore saya itu, saya kembali menyadari, Tuhan telah banyak memberi saya. Saya diberi nyawa dan hidup. Diberi udara untuk bernafas tanpa saya harus membayar. Saya diberi kemampuan untuk bertahan hidup, walau dalam keadaan itu saya sendiri merasa saya tak dapat hidup. Saya diberi hati, akal, dan fikiran. Saya dapat merasakan banyak hal. Saya diberi dua mata untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Saya diberi telinga untuk mendengar kemerduan dunia. Saya diberi tangan untuk dapat menyentuh sekitar saya. Tapi mengapa saya selalu merasa saya ini ‘tak punya apa-apa’? Ini kah rasa kurang bersyukur saya?

Saya diberi kebahagiaan, tapi saya kerap merasa saya tidak bahagia. Saya diberi kemampuan untuk terus bangkit, tapi saya selalu merasa terpuruk. Saya diberi berkah, tapi saya selalu merasa kosong.

Saya lalu berfikir, bagaimana jika Tuhan saya marah? Bagaimana jika Tuhan ‘ngambek’ pada saya? Lalu Tuhan enggan memberikan secuil pun nikmat-Nya kepada saya. Sudah diberi nikmat saja saya masih sering merasa tak punya apa-apa. Apa jadinya jika Tuhan tak memberikan sedikit pun nikmat-Nya?

Di sepanjang perjalanan saya seharusnya dapat lebih bersyukur. Untuk bepergian saya memiliki kendaraan. Dompet saya cukup untuk mengisi tangki bensin kendaraan saya. Saya tak perlu berpanas-panas untuk mengisi dompet saya, setidaknya untuk saat ini. Tapi sering hal-hal kecil tersebut tidak saya sadari untuk disyukuri. Apa rasanya jika saya harus berpanas-panas di bawah terik matahari dan bertelanjang kaki di atas aspal keras yang bisa saja mematangkan telur? Apa jadinya saat saya tak dapat lagi memikirkan bagaimana melindungi kulit dari sengatan matahari dan dari asap kendaraan di jalanan? Bagaimana jika dulu, sewaktu kecil, ibu saya tidak bisa membuatkan makanan untuk makan saya sehari-hari? Bagaimana jika sewaktu saya berumur empat tahun saya harus merasakan sengatan matahari yang begitu dahsyat dan harus merelakan kaki saya setengah dilepuhkan oleh panasnya aspal? Saya harus menengadahkan tangan saya kepada para pengendara kendaraan atau saya harus menyanyikan lagu dengan alakadarnya. Saya harus memasang muka se-memelas mungkin agar kepingan rupiah jatuh pada telapak tangan saya yang lemah. Saya tak akan pernah merasakan bagimana harus belajar mengeja satu per satu huruf abjad dan mengenali angka-angka. Fikiran saya pun tidak akan sampai ngelu hanya untuk memikirkan soal matematika. Saya juga tak akan menangis saat saya begitu kesulitan menghafalkan materi ilmu pengetahuan sosial. Saat saya mulai berusia limabelas tahun, saya juga tak akan mengerutkan kening dan menyipitkan mata untuk belajar melihat makhluk-makhluk mikro dari mikroskop. Saya juga tak harus menghafal unsur-unsur kimia dan bilangan atomnya. Sekelumit waktu saya juga tak akan saya habiskan di laboraturium sekolah hanya untuk mengukur berapa kali sebuah bandul bergerak dalam waktu semenit dan pekerjaan itu harus diulang minimal sampai tiga kali. Yang jelas, saat ini saya tidak akan memiliki kartu yang menyatakan saya adalah seorang mahasiswa dari sebuah universitas swasta.

Saya menghela nafas dalam dan panjang. Kedua mata saya dengan telanjang dapat melihat anak-anak kecil yang berjalan di atas aspal dengan muka memelas dan menengadahkan tangan mereka. Jujur, saya begitu miris. Bagaimana jika saya adalah dia? Bagaimana jika saat saya memiliki anak kelak, dia adalah anak saya? Hati saya ingin agar tangan saya merogoh kepingan uang di dalam tas dan meletakkannya di atas telapak tangan anak itu. Tapi, fikiran saya bertentangan dengan hati saya. Fikiran saya beralasan, semakin anak itu diberi kepingan uang maka, semakin lama ia akan menjalani hidupnya yang seperti sekarang ini. Atau bisa saja uang yang mereka terima itu bukan benar-benar untuk mereka, bisa saja mereka menengadahkan tangan mungil mereka demi menghidupi orang dewasa yang berotak bebal dan dengan tanpa berdosa memanfaatkan keluguan anak-anak kecil untuk mengumpulkan kepingan rupiah.

Perenungan lain saya tentang Tuhan adalah bagaimana jika saya mati.

Saya hidup. Kata ‘hidup’ berpasangan dengan kata ‘mati’. Dulu saya tiada dan suatu saat nanti saya akan kembali tiada. Saya rasa itu bukan hal besar. Itu hal wajar. Satu hal yang saya yakini akhir-akhir ini. Hidup adalah suatu energy. Dalam hukum kekelan energy, “energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energy hanya berubah bentuk”. Saya percaya itu. Saya tidak ada, lalu ada, dan akhirnya kembali tidak ada. Itu hanya lah konsep ‘keberadaan’ saya di dunia. Mungkin saja saya selalu ada. Atau mungkin saja, saya memang tidak pernah ada. Saya berasal dari tanah, lalu saya berubah menjadi manusia atas kuasa Tuhan saya. Suatu saat nanti, saya akan kembali berubah menjadi tanah. Saya hanya ‘berubah’ wujud. Saya tidak pergi. Saya tetap ada, dalam lingkungan bumi.

0 komentar:

Post a Comment