No comments
Refleksi Anak Indonesia
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.(Pasal 1 Undang – undang Perlindungan Anak)
Anak adalah harapan bagi masa depan suatu bangsa. Maka dari itu, kenyamanan dalam tumbuh kembang anak sangat penting bagi terciptanya suatu masa depan bangsa yang lebih baik. Keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara bertanggung jawab dalam melindungi hak anak demi tumbuh kembang anak yang baik dan partisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat.
Walaupun merupakan asset masa depan bangsa, namun sejumlah anak Indonesia masih saja belum mendapatkan hak dan perlindungan yang sepatutnya mereka terima. Masih banyaknya perdagangan anak, pekerja seks anak, dan buruh anak di Indonesia menandakan betapa anak Indonesia masih kurang mendapatkan perlindungan. Untuk mengawal perlindungan hak – hak anak maka, dibentuklah komisi Perlindungan Anak Indonesia sesuai dengan Undang – undang No. 23 Tahun 2002 yang diratifikasi dari Konvensi Hak – Hak Anak Internasional.
Anak adalah anugerah dari Tuhan yang seharusnya kita lindungi. Hal tersebut sepertinya belum disadari oleh semua orang di dunia ini. Keluarga dan orang tua seharusnya adalah perlindungan pertama bagi anak, tapi tak jarang kita mendengar kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan orang tua atau pihak keluarga dengan berbagai macam dalih termasuk dalih sebagai suatu proses mendidik anak. Tak hanya itu, semakin banyak saja kita mendengar berita anak yang dijadikan objek seksualitas oleh ayah kandung atau ayah tirinya. Jika sudah begitu, bagaimana anak dapat merasakan kenyamanan untuk tumbuh kembangnya dengan baik?
Human trafficking menjadi isu yang tak kunjung padam. Beragam regulasi dan tindakan telah disahkan guna melawan human trafficking. Tapi tetap saja, human trafficking masih marak terjadi, terlebih pada anak – anak. Tak hanya anak yang telah lahir di dunia saja yang diperdagangkan dengan mudahnya. Bahkan, perdagangan anak ini dapat terjadi sejak anak masih di dalam kandungan. Jika anak yang notabennya merupakan masa depan bangsa kita saja dengan begitu mudahnya diperdagangkan, lalu bagaimana bangsa ini di masa depan?
HIV/AIDS adalah ancaman lain bagi anak Indonesia. Gaya hidup bebas orang dewasa ternyata tidak hanya menghancurkan masa depan si orang dewasa tersebut, tapi juga dapat mengancam masa depan anak. Karena, sebagian besar anak yang mengidap penyakit tersebut, terjangkit dari orangtua mereka. Dapat kah anda bayangkan bagaimana jika sedari lahir saja mereka sudah terjangkit penyakit yang menyerang system imun tersebut? Ditambah lagi, kultur di Indonesia yang masih belum dapat menerima dengan begitu legowo para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Jika kita di jalanan, kerap kita melihat anak – anak yang harus harus bersahabat dengan teriknya matahari dan kerasnya aspal demi mendapatkan rupiah. Bukan kah dunia anak yang sebenarnya adalah bermain dan belajar? Lalu bagaimana anak tersebut dapat memiliki waktu untuk bermain dengan teman – teman sebayanya dan belajar sesuai dengan (minimal) ‘wajib belajar Sembilan tahun’?
Kecerdasan anak bangsa adalah kunci sukses dari pembangunan bangsa di masa depan. Pendidikan adalah cara untuk mengembangkan kecerdasan anak. Namun, pendidikan gratis masih merupakan suatu mimpi bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Maraknya korupsi dana pendidikan yang tak sampai 10% dari anggaran Negara membuat pendidikan gratis masih memerlukan proses yang lebih lama lagi, walaupun kini sudah ada program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Selain itu, kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat sejumlah anak harus putus sekolah dan memutuskan untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga mereka.
Anak yang telah hidup pada taraf keluarga yang mampu memberikan perlindungan dan pendidikan bagi mereka pun tak begitu saja lepas dari ancaman. Pornografi dan hedonisme masih saja membayang – bayangi kehidupan anak Indonesia belakangan ini. Semakin canggihnya teknologi menuntut semakin waspadanya orangtua dalam mengawasi anak – anak mereka. Mengawasi bukan berarti membatasi, karena pada dasarnya anak memiliki sifat selalu ingin tahu. Pengarahan dan pendekatan secara psikologis oleh orangtua adalah salah satu cara untuk menghindarkan anak dari pornografi. Gambaran gaya hidup mewah dibeberapa tontonan televise pun turut membentuk mindset anak, karena anak bagaikan sebuah lilin yang dapat dengan mudah dibentuk. Gaya hidup yang seperti ini dapat membentuk perilaku konsumtif pada anak yang berlebihan. Jika anak sudah memiliki perilaku konsumtif, maka bias jadi kreatifitas mereka untuk berkreasi menjadi semakin minimal. Lalu bagaimana bangsa ini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri di masa depan, jika anak bangsanya memiliki perilaku hedonis dan konsumtif?
0 komentar:
Post a Comment