Monday, December 28, 2015

3:31 PM - No comments

Untuk Yang Berakhir



Aku tahu ini akan berakhir. Seperti yang sudah aku katakan di awal, kamu yang akan lebih dahulu menyerah lalu memilih untuk pergi, sementara aku hanya akan diam melihatmu perlahan menyerah lalu pergi. Mengapa aku tidak bergerak dari diamku sampai kamu menyerah? Karena seharusnya kamu lah yang lebih kuat dariku. Kamu lah yang seharusnya lebih mampu bertahan dariku. Kamu lah yang seharusnya menjadi orang paling paham atas diamku. Tapi itu hanya seharusnya. Karena nyatanya, kamu lebih memilih menyerah lalu pergi dan menyerahkan hidupmu kepada orang lain.


Aku tahu ini sudah berakhir. Seperti yang telah kamu inginkan. Tanpa kamu pernah tahu seberapa aku berusaha menyembuhkan luka yang dulu pernah kamu buat. Tanpa kamu sadar aku berusaha memberitahumu dengan berbagai cara namun tetap saja kamu tidak pernah paham, hingga akhirnya hanya diam yang bisa kulakukan. Seberapa aku berusaha berdamai dengan diriku untuk tidak terus merasakan ketakutan setiap harus berhadapan dan berbicara denganmu. Karena kamu tahu, setiap aku berhadapan denganmu, aku harus selalu menahan tangis dan ketakutan yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Bukan kah begitu menyakitkan, merasakan ketakutan atas sosok yang begitu disayangi?


Aku faham semuanya tidak akan kembali. Tidak perlu kamu takutkan aku akan menggoyahkan keyakinanmu yang sekarang. Karena aku tahu bagaimana tidak menyenangkannya saat keyakinanmu padaku mulai goyah. Semoga kali ini keyakinanmu tidak selemah kemarin.


Aku sadar ini sudah sampai ujungnya. Seperti yang kamu harapkan. Tidak ada lagi penantian panjang atas suara dari diamku. Tidak ada lagi permohonan penuh tangis yang harus selalu kau bawa setiap kali mendatangiku. Seharusnya, tidak perlu lagi ada ketakutan dan tangis yang terus ditahan dalam diam.


Aku tahu ini sudah saatnya. Sudah saatnya aku beranjak dari diamku. Beranjak untuk menyelesaikan prosesku dan melanjutkan cerita selanjutnya. Karena sudah habis ceritaku denganmu. Saat kamu mulai memilih untuk menyerah.



Aku tidak akan melakukan apapun. Tidak juga memintamu kembali. Karena waktu tak akan mampu berpihak pada perasaan yang meragu. 





~ Akhir Desember ~

Sunday, December 20, 2015

11:37 AM - No comments

Repetisi Harapan






Seperti pagi, siang, sore, dan malam yang terus-menerus hadir berulang setiap hari. Seperti Tuhan yang mengabulkan doa demi doa hamba-Nya. Seperti cinta ibuku dan ibumu pada aku dan kamu yang terus mengalir tanpa putus sedetikpun. Layaknya siklus hujan yang terus berulang sepanjang masa. Tidak ubah peneliti yang terus mengamati fenomena hingga menjadi sebuah teori yang kemudian akan diulang terus-menerus sampai tergeser oleh teori yang baru.


Merepetisi harapan seperti mendoa berulang, dalam usaha mengubah mimpi menjadi nyata dan setiap tiba waktunya jatuh jangan lupa berdiri lagi. Semoga aku dan kamu tidak lelah melakukan pekerjaan yang sama ini terus-menerus. Agar semesta terus menggiring takdir kita. Supaya para malaikat mengamini. Sampai Tuhan meng-iya-kan apa yang tadinya kita sebut mimpi.


Aku dan kamu yang sedang berusaha mentransformasi mimpi menjadi nyata. Semoga selalu dalam tangkupan doa yang tidak putus.


Semoga semesta, malaikat, dan Tuhan terbujuk.




~ December dreams~

Wednesday, December 9, 2015

5:51 PM - No comments

SELESAI.



SELESAI.
Suatu kata. Suatu keadaan.
Dimana sesuatu berakhir dengan sempurna dan telah berganti dengan yang baru


SELESAI.
Begitu lah tepatnya aku menyebut
Sudah selesai tautanku bersamamu
Walau (mungkin) tidak sempurna
Setidaknya bisa membuatmu lebih baik


SELESAI.
Begitu lah caraku memberitahu sesuatu yang begitu susah kau pahami sebelumnya
Begitu lah cara yang kuyakini agar kau dapat menjadi paham
Sakit bukan?
Tapi bukan itu intinya,
Ini bukan suatu tentang membuatmu sakit
Meskipun sebelumnya aku yang lebih dahulu merasakan sakit


SELESAI.
Aku yakin kau tidak ingin dan memang tidak perlu lagi kau ukur berapa tingkat kesakitan yang pernah kurasakan
Karena aku tahu, kamu tidak akan pernah mampu menanggungnya,
sekalipun aku membantumu



SELESAI.
Sudah siap aku melangkah kembali dengan lebih tenang
Mendapatimu telah menemukan telagamu



Selamat Sore Pencarian dan Penemuan

Sunday, November 22, 2015

9:33 AM - No comments

Putaran Roda

pic by www.id.aliexpress.com
Sebut saja hidupku dan hidupmu masing-masing adalah sebuah roda yang selalu berputar
Mungkin kini poros kita sedang saling bertemu
Kuadran kita sedang saling melengkapi
Mungkin sejenak putaran kita berhenti atau sekedar melambat
Atau beri nama semaumu


Tidak perlu terlalu kau fikirkan bagaimana mauku
Seperti aku tidak perlu terlalu memikirkan bagaimana maumu
Pernahkah rahasia dibuka di awal?
Rahasia selalu dibuka pada akhir petualangan, bukan
Sebut saja hidup ini rahasia,
Aku dan kamu hanya tengah menjalani peran dengan skenario tak tertebak


Aku anggap, aku dan kamu hanya mampu menyusun hipotesis
Atau bahkan hanya sekedar harapan
Aku dan kamu hanya mampu merancang kenyataan di awal
Lalu berusaha membuat kenyataan-kenyataan baru,
Sebab begitu lah kita disebut hidup


Tidak perlu kamu menebak apa yang ada di dalam diriku
Karena nanti waktu yang akan memberitahumu lebih dari yang kamu inginkan
Setenang aku mencoba tidak ingin tahu apa yang ada di dalam dirimu


Sebut saja hidupku dan hidupmu masing-masing adalah roda yang selalu berputar
Atau kita masing-masing tengah bersinggah di tempat yang sama
Sembari menanti peran selanjutnya


Sebut saja hidupku dan hidupmu masing-masing adalah roda yang selalu berputar
Kita hanya mampu merancang daya dan gaya agar nanti poros kita  kembali saling bertemu
Itu juga jika doamu dan doaku sama





Ingin kembali bertemu






~Minggu ketiga~

Monday, November 16, 2015

5:53 AM - No comments

Senyum Untukku

Jika masih ada langkah kecilku mencoba berjalan ke arahmu,

Itu hanya sisa-sisa rindu yang masih belum mau pergi
Hanya sisa-sisa rasa yang sebentar lagi akan gugur



Jika masih ada senyum untuk membalas senyummu,
Itu hanya tahap penyembuhan terakhir atas hati yang pernah kau lukai
Aku bukan lagi tersenyum untukmu, tapi untukku



Sama halnya saat masih kau lihat bulan saat subuh telah berkumandang
Ia hanya sisa malam,
Bukan untuk berada bersama matahari di langit terang nanti



Karena sudah bukan waktunya lagi aku merindukanmu,
Yang tidak lagi dapat merindukanku



Sudah bukan masanya lagi aku menangisi harapan yang kerap kau tepis,
Yang ternyata bukan kau lah tujuanku



Terlalu salah alamat jika masih ada air mata mengeringi langkahmu yang mejauh,




Cukup lah kau lihat segaris senyum,



Yang bukan untukmu,






Tapi untukku

Sunday, November 15, 2015

12:16 PM - No comments

Hai Masa Depan yang Belum Tertebak

picture by www.bestofthebunch.co.nz
Hai lelaki yang pundaknya nanti menjadi sandaran bagi kepalaku,
Yang nanti kepalanya direbahkan ke pangkuanku
Masih kah kau terus berjalan mencari takdirmu?



Hai lelaki yang lengannya nanti tertaut oleh tanganku,
Yang kedua matanya selalu berusaha bersinar walaupun lelah
Belum kah kau selesai dengan takdirmu sekarang?



Hai lelaki yang jangkah kakinya lebih lebar dari jangkahku,
Yang punggungnya akan menanggung bebanku juga
Sudah kah kau merasa cukup dengan persinggahanmu saat ini?



Hai lelaki yang nantinya dengan berbesar jiwa mengambil tanggung jawab atasku dari ayahku,
Yang nantinya akan menjadi imam di dunia dan di akhirat
Tidak kau putus doa dan sujudmu, bukan?




Hai lelaki yang di sela sibukmu akan tetap menanyakan keadaanku,
Yang nantinya, setiap pagi wajahmu lah yang akan ku lihat pertama kali
Terus saja mencari takdirmu,
Selesaikan lah takdirmu yang sekarang hingga kau merasa cukup di persinggahanmu yang saat ini




picture by www.kevinobosi.com
Hai masa depan yang belum tertebak,
Semoga tangkupan doa kita tidak pernah terputus

Hingga tiba waktunya kita menangkupkan doa bersama untuk takdir kita selanjutnya

Thursday, November 12, 2015

1:36 PM - No comments

Penanti Takdir

Aku tidak pernah tahu bagaimana takdirku
Sebaik kamu tidak pernah tahu bagaimana takdirmu
Aku hanya mempersiapkan masa depanku semampuku
Selayak kau mempersiapkan masa depanmu semampumu



Takdir bukan hanya tentang menebak apakah bintang malam ini akan muncul
Masa depan bukan sekedar membuat hipotesis apakah cinta akan kekal
Tuhan tidak butuh menebak ataupun membuat hipotesis, bukan?



Sekalipun tanggal lahirku adalah dua kali tanggal lahirmu
Ketika jarak bulan lahir kita merupakan bagian dari deret aritmatika tanggal lahir kita
Tetap saja tidak ada pola untuk takdir dan masa depan



Tidak ada yang meragukan kemampuanmu dalam membaca deretan – deretan angka
Dan hanya sedikit yang meragukan kemampuanku membaca suasana
Hanya saja aku dan kamu tidak pernah mampu mengukur hati
Mengukur seberapa jauh jarak dua hati yang tidak dapat disamakan dengan jarak raganya
Mengukur kedalaman hati yang tidak akan sama dengan laut
Aku dan kamu tidak akan mudah membaca pola dari lingkaran yang tidak terduga



Aku dan kamu hanya sebagai pelaku
Hanya pelaut yang tengah mengarungi samudera tanpa tahu dimana tepian pantai akan ada





Aku dan kamu hanya dua langkah kaki,




Dua sosok tubuh,




Dua kumpulan harapan,




Dua tangkupan doa,




Dua penanti sekaligus pejalan takdir,




Seperti katamu,





Terkadang, akan lebih indah menjalani tanpa mengharapkan,





Daripada mengharapkan tanpa menjalani







~ Yogyakarta, awal musim hujan ~





Monday, November 2, 2015

4:55 PM - No comments

Semua Karena Terbiasa


 
Aku terbiasa menjadi aku dan kamu terbiasa menjadi kamu
Namun aku dan kamu tidak terbiasa menjadi kita
Mungkin belum terbiasa
Atau memang aku dan kamu tidak mampu terbiasa


Aku terbiasa berjalan dengan seluruh tubuhku,
Seluruh jiwa, raga, dan fikiranku
Aku terbiasa mengejar apa yang menjadi mimpiku
Dengan cara dan keyakinanku


Kamu terbiasa berlari dengan seluruh ambisimu,
Seluruh asa, peluh, dan keberanianmu
Kamu terbiasa memendam rasa
Lalu berbagi hanya kepada bintang sendu


Kemudian aku dan kamu bertemu pada satu titik takdir
Menyapa dan tersenyum, memulai mengenggam erat tangan masing – masing
Berharap dapat menyatukan asa, menepis keterasingan


Aku dan kamu terus mencoba segala cara
Mencoba untuk terbiasa
Aku dan kamu tidak jarang terjatuh
Langkahmu yang tidak jarang lebih panjang, kadang membuatku terpeleset
Langkahku yang harus terus menjadi cepat agar tetap beriringan denganmu
Aku dan kamu terus mencoba
Terjatuh, lalu saling membantu untuk berdiri kembali
Aku dan kamu tidak henti untuk saling terbiasa,
Terbiasa menjadi kita
Bukan lagi aku dan kamu


Tapi seperti kamu tahu,
Tidak mudah untuk menjadi terbiasa


Semoga memang belum terbiasa,
Bukan tidak mampu terbiasa

Jika semua karena terbiasa,
Maka aku ingin terbiasa denganmu
Terbiasa dengan kita
Hingga tidak lagi mampu untuk tidak terbiasa





~ Yogyakarta, November 2nd, 2015 ~

Sunday, August 23, 2015

10:14 AM - 1 comment

Waktu Yang (Mungkin) Telah Cukup

Aku tahu, ada saatnya dimana kita bertemu, mengenal, saling bersama, dan merasa nyaman. Merasa senasib mungkin. Atau merasa terlindungi dan percaya satu sama lain. Ada masanya saat kita saling merasa tidak akan pernah berpisah dan akan selalu bersama dalam keadaan apapun. Satu hal yang kita lupakan kala itu. Yaitu, masa depan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dibawa oleh masa depan, bukan? Entah seperti apa bentuknya. Pahit atau manis. Atau bahkan campuran keduanya. Atau justru bukan keduanya. Tidak satu pun dari kita yang akan tahu.

Seperti saat itu. Saat yang akhirnya tiba juga. Masa depan telah membawa apa yang ingin dibawanya. Tanpa ada yang tahu apa yang akan dia bawa. Kecuali dirinya sendiri. Hanya dia yang tahu. Tersenyum dan menyindir lah, betapa egoisnya dia. Karena kadang aku juga melakukannya.

Sudah tidak ada artinya lagi membicarakan yang telah berlalu. Tapi toh masa lalu tidak pernah habis. Tidak pernah dapat hilang dan dipisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia dan apapun. Masa lalu adalah bagian. Entah bagi yang hidup maupun yang mati. Masa lalu adalah bagian terbesar dari sesuatu. Pada tingkat yang lebih bijak, kadang orang menyebutnya sejarah. Tapi aku tidak ingin menyebutnya seberat itu. Sebut saja tetap dengan masa lalu.

Jika ingatanku tidak salah, kita dulu selalu bersama. Berkabar apapun yang tengah terjadi. Menunggu momentum untuk kita bertemu dan bercerita. Memberikan pandangan yang berbeda atas suatu hal. Segala keromantisan manusia yang lupa bahwa masa depan selalu penuh dengan kejutan. Bertahun – tahun semuanya berlangsung dengan begitu sempurna. Sesuai dengan apa yang kita harapkan. Atau jika kau tidak lagi sudi menganggapnya sebagai ‘apa yang kita harapkan’, sebut saja dengan ‘apa yang aku harapkan’. Sepertinya hampir semua hal tercurah dengan begitu tumpah ruah. Tidak lagi perlu merasa memiliki sekat. Semua terasa aku adalah kamu dan kamu adalah aku.

Sampai tiba lah pada giliran masa depan menampakkan dirinya. Tanpa peringatan atau bahkan ia tidak tahu bahwa kita lupa akan dia. Masa depan datang membawa apa yang tidak pernah kita tahu. Datang dengan begitu saja. Datang dengan sebagaimana mestinya dirinya.

Entah karena kesalahan atau memang sudah seperti apa yang dibawakan oleh masa depan. Kekentalan yang kerap terdengar dengan ‘kita’ pun mencair. Seolah ada air hujan yang tiba – tiba tertuang dan membuat apa yang kental menjadi cair. Kecairan itu pun membuat bejana tidak lagi mampu menampung seluruh cairan. Hingga tiba waktunya cairan di dalam bejana meluap. Kekentalan itu pun berpisah. Mencari apa yang mampu membuatnya berhenti. Aku dan kau, pada akhirnya tidak lagi serasa seperti dulu.

Jika ada pertemuan yang berpasangan dengan perpisahan. Lalu ada kerekatan yang beranoim dengan kerenggangan. Ada satu ruangan waktu yang memang harus diisi. Mungkin saat itu kita tengah mengisi ruangan waktu secara bersamaan, selayaknya dua rangkaian kereta yang berhenti bersamaan di stasiun yang sama, tapi pada waktunya harus melanjutkan perjalanannya masing – masing.

Mungkin waktuku telah cukup dan sudah saatnya kau melanjutkan perjalanan. Mungkin aku sudah cukup menemanimu, sesuai dengan jadwal yang seharusnya. Perlahan tapi pasti, akhirnya kita pun melanjutkan perjalanan masing – masing. perlahan tapi pasti,ternyata arahmu berbeda dengan arahku.

Jika rel kereta api terus diteruskan sampai mengelilingi bumi, layaknya garis bujur dan garis lintang. Mungkin kita akan bertemu lagi pada suatu koordinat yang sama. Atau malah kita akan saling menumbuk bertabrakan. Siapa yang tahu? Kita tidak pernah tahu apa yang akan dibawa oleh masa depan, bukan?

Karena hidup tidak seperti novel best seller atau film peraih penghargaan sinematografi. Mungkin ini lah guna dari masa lalu. Untuk menjadi pengingat agar tidak lagi lupa bahwa, kita tidak pernah tahu apa yang akan dibawa oleh masa depan. Juga sebagai pembelajaran, bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup. Hanya ketidak pastian lah yang pasti di dalam hidup.



Selamat malam. Semoga tidurmu nyenyak. Sampai jumpa lagi pada koordinat yang sama. Entah di bumi. Atau di surga J


~Untuk waktu yang (mungkin) telah cukup~




Yogyakarta, August 23rd, 2015

Monday, August 17, 2015

12:19 PM - No comments

17 Agustus ke-70



Sudah 70 kali, mungkin, hari ini diperingati dengan beberapa yang merasa haru dan beberapa merasa biasa saja. Sudah 70 kali, mungkin, upacara pengibaran bendera merah putih di pada pukul sepuluh pagi lebih sepuluh menit, lalu 70 kali sudah, mungkin, upacara penurunan bendera pada sore harinya. Sudah 70 kali, mungkin, terdengar suara orchestra yang melantunkan lagu kebangsaan yang tidak henti – hentinya membuat bulu kuduk merinding. Sudah 70 tahun, semenjak Soekarno membacakan teks proklamasi, beriringan dengan harapan yang tidak putus dari seluruh penjuru negeri agar Indonesia merdeka. Mungkin masih ada para veteran yang sudah merasakan 70 kali perayaan dari semenjak mereka tegap hingga kini merenta seiring usia.Sudah 70 tahun, Negara ini merdeka, namun masih terus memperjuangkan kemerdekaannya.


Kemerdekaan bukan sebatas teks proklamasi yang dibacakan 70 tahun lalu. Kemerdekaan bukan hanya sekedar menang dalam perang revolusi pasca tahun 1945. Kemerdekaan bukan sekedar sebagai Negara, tapi juga bangsa. Kemerdekaan yang ternyata masih belum dirasakan oleh beberapa orang yang tercatat sebagai warga Negara yang merdeka sudah 70 tahun ini. Kemerdekaan bukan hanya sekedar kemeriahan pesta perayaan dan sorak sorai pemuda – pemudi yang terus meneriakan kata “merdeka!” dalam euphoria perayaan.


Sudah kah lebih baikkah kemerdekaan Indonesia? Atau justru semakin buruk kemerdekaannya?


Dulu, Negara ini mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Dari sawah, ladang,dan kebun yang digarap oleh para petaninya sendiri. Dari daging dan telur hasil ternakan para peternak. Dari ikan – ikan hasil tangkapan para nelayan.


Dulu warga Negara di Negara ini begitu bangga menjadi seorang guru. Menjadi seorang pengajar dan pendidik. Mendidik, tidak hanya sekedar mengajar. Bahkan, Malaysia pun sempat meng-import pengajar dari Indonesia.


Dulu, para pejuang berperang dan melawan penjajah, penjajah lah yang dibunuh bukan rakyat Negara ini. Para aparat Negara bertugas melayani masyarakat dengan kesadaran bahwa mereka adalah pelayan bagi masyarakat. Pejabat menjabat dengan kesadaran bahwa mereka bekerja untuk rakyat.


Sekarang?


Sudah sampai mana titik “kemerdekaan”?


Kemerdekaan. Kata – kata yang selalu diteriakan di setiap acara di stasiun – stasiun televisi yang berlomba – lomba menampilkan tayangan terbaiknya dalam edisi khusus kemerdekaan. Kata – kata yang tidak pernah absen dari naskah pidato dan sambutan berbagai acara dan upacara kemerdekaan.
Tidak kah para veteran yang masih mengikuti berita dan perkembangan Negara ini patut menangisi dengan tragis kemerdekaan yang dulu mereka perjuangkan? Sudah kah generasi setelah mereka sungguh – sungguh berterimakasih atas pengorbanan mereka yang tidak mengenal batas?


Pada 17 Agustus yang ke-70 ini, saya kembali teringat cerita – cerita perang yang dulu kerap diceritakan oleh Eyang, ketika kami para cucu – cucunya berkumpul. Bagaimana ia harus berpisah dengan anak istrinya saat perang geriliya. Bagaimana ia harus rela berpisah dengan keluarganya dan mengungsikan keluarganya di tempat yang seaman mungkin. Bagaimana ia harus merangkak dan berperang senjata langsung dengan para penjajah dari sejak Belanda hingga Jepang dan kembali berperang dengan Belanda. Kesedihan – kesedihan saat ia kehilangan sahabat – sahabat terbaiknya di medan perang. Sahabat yang merenggang nyawa setelah terkena peluru musuh atau setelah terkena ledakan bom. Masih teringat selalu, di setiap akhir ceritanya, ia selalu berkata, “bersyukur lah kalian lahir setelah kemerdekaan.”


Beberapa kali setelah ia menonton siaran berita di televisi, ia kerap berdecak heran dengan keadaan Negara yang dulu kemerdekaannya diperjuangkan mati – matian. Semua tingkah polah perangkat Negara yang dirasanya sudah jauh berbeda dari saat dulu ia masih tegap. Konflik – konflik kegamaan yang selalu muncul terutama saat hari – hari besar keagamaan. Sehela nafas panjang yang sedih pun tidak jarang dihelanya pada akhir siaran berita.  


Kalau Eyang masih ada hingga 17 Agustus yang ke-70 ini, mungkin keheranannya akan semakin berlipat ganda. Kesedihannya akan semakin bertambah setiap menonton siaran berita di televisi atau setelah membaca surat kabar. Perasaan bersalahnya pada sahabat – sahabatnya yang gugur di medan perang pun akan semakin berlipat ganda.


Selamat 17 Agustus yang ke-70, Eyang. Selamat beristirahat di rumah terindah. Sampai jumpa lagi, nanti J




~ Yogyakarta, 17 August 2015 ~

Sunday, August 9, 2015

8:50 PM - No comments

Selamat Datang Di Rumah

Jika harus banyak tempat untuk kau singgahi, maka singgahi lah hingga kau puas
Lalu kau kembali melanjutkan perjalananmu


Jika perlu banyak waktu untuk kau menyelesaikan tugasmu, maka habiskan lah hingga tugasmu selesai
Lalu kau kembali dapat menikmati waktumu sendiri


Jika dengan dirimu sendiri memang memerlukan beribu jam untuk  kau rasa cukup, maka lakukan lah hingga kau rasa cukup
Lalu nanti kau siap memberikan sisa waktumu


Jika masih terlalu banyak fikiran yang membuatmu ragu, maka cari lah hal yang meyakinkanmu
Lalu nanti kau akan mantap melanjutkan langkahmu


Jika terlintas banyak pertanyaan di kepalamu , maka temukan lah jawaban terbaik
Lalu selanjutnya kau dapat melanjutkan mimpimu dengan kelegaan


Jika lelah menyergapmu seketika, maka berhenti lah pada telaga terdekat
Lalu dapat kau teruskan menelusuri jalur menuju telaga impianmu sendiri



Jika sudah tiba waktunya langkahmu berhenti di halaman yang kau sebut rumah,
Maka berhenti lah sejenak di depannya,
Pandang lah seluas kau mampu, hela lah nafas sedalam kau bisa
Ada sebuah senyum yang menyambutmu di depan pintu yang kau sebut rumah
Sepasang tangan yang mengayunkan gagang pintu dengan begitu bahagia
Bertangkup kehangatan yang tidak perlu lagi kau cari – cari
Berentangan peluk dimana dapat kau sandarkan tubuhmu saat lelah menyergap









Ini lah yang kau sebut rumah,
Tujuan yang membuatmu rela menjadi pengembara




Semoga ini lah rumah yang menjadi jawaban dari pertanyaan – pertanyaan besarmu
Juga jawaban dari doa – doa yang telah kau panjatkan ke langit




Selamat datang di rumah wahai kau yang bersedia melangkah untuk sampai di sini







~ Yogyakarta, August 9, 2015 ~



Friday, August 7, 2015

9:15 PM - No comments

Hidup dan Kita



Yang kerap terucap, kadang justru tidak pernah menjadi yang sejati
Yang kerap tertaut, kadang malah pada akhirnya mengurai menjadi masing – masing
Yang selalu dikisahkan, tidak jarang harus ditutup dengan drama yang membuat hati kelu
Yang begitu terencana, kadang hanya menyisakan mimpi


Kelakaran hidup tidak pernah sembarangan
Tidak ada ketidak sengajaan yang disajikannya
Semua sudah terencana, dalam perencanaan Pemilik yang kekal


Kenakalan hidup tidak pernah sembrono
Tidak ada permainan tanpa makna
Semua sudah meresapi maknanya masing – masing


Kebijakan hidup tidak pernah hanya sebuah kiasan
Tidak ada laut tanpa garam
Selalu ada arti di dalam setiap unsurnya



Lalu manusia, hanya lah manusia
Yang terkadang kerap merasa lebih dari yang seharusnya

Yang tak jarang merasa lebih dari Pemilik hidup yang kekal




~ Yogyakarta, August 7, 2015~

Monday, June 15, 2015

6:29 PM - No comments

Jika Kamu...



Jika kamu adalah akhirku,
Perkenankan aku untuk menunggu sembari memperbaiki diriku
Sampai nanti masanya tiba Tuhan akan mempertemukan kita
Sebagai sepasang insan yang ditakdirkan untuk saling melengkapi



Jika kamu adalah ujungku,
Perkenankan aku untuk terus berjalan
Hingga nanti sampai pada suatu ujung langkahku dan langkahmu bertemu
Bukan lagi menjadi dua pasang langkah hidup, tapi sepasang




Jika kamu adalah takdirku,
Perkenankan aku untuk terus berdoa agar kita selalu dimampukan
Menjalani pahit dan getirnya kehidupan masing – masing
Hingga nanti genggaman tangan kita akan bertaut jadi satu, saling menguatkan



Jika kamu adalah imamku,
Semoga kita tak pernah lelah untuk bersujud di sepertiga malam
Selalu mengucap harap dalam doa
Hingga nanti tiba waktunya aku mengucap amin atas al-fatihah yang kau lantunkan





~ Untuk kamu yang ada di masa depan ~



Sunday, April 26, 2015

10:09 PM - 1 comment

Ada

Aku hanya mendengar sekilasan hembusan angin
Cahaya hanya setitik dari bintang yang entah berapa juta kilometer dari bumi
Tak ada sekelebatan hangat yang lewat

Namun sesekali ku dengar lonceng gereja berdentang
Sekalipun jauh sekali kedengarannya
Sesekali kulihat kilat menyambar
Walau serasa di ujung bumi yang jauh nampaknya

Sejenak aku berhenti di tepian telaga
Lelah rasanya menyusuri peta yang ada di genggamanku
Simbol-simbol itu kupecahkan sendiri dari beberapa waktu lalu
Bukan perjalanan yang mudah nampaknya
Karena semua orang bahkan enggan melongok pada gambar peta ini

Sehela nafas panjang telah ku hempaskan
Berharap lelahku banyak berkurang
Setidaknya malam ini aku harus berhenti sejenak
Lalu berdoa sebelum tidur
Siapa tahu, esok pagi ada sepasang langkah yang menjadi temanku dalam perjalanan ini
Atau ada sebuah tegur sapa yang kebetulan lewat di hadapanku

Sejenak ku pejamkan mata,
Lalu ku tangkap cahaya bintang

Bukan kah Engkau masih ada di dekatku?
Selalu mendekapku dengan keromantisan yang tak pernah lekang
Selalu ada uluran kasih setiap aku terjatuh

Bukan kah Kau yang kerap cemburu?
Saat aku menemukan lawan bicara yang asyik
Sampai aku lupa engkau selalu ada

Tapi Kau tak pernah pergi, bukan?
Secemburu apapun Kau padaku,
Semenyebalkan apapun keadaanku

Aku harus beristirahat malam ini,
Berebah dan memejamkan mata
Tapi sebelumnya...
Terimakasih untuk selalu ada
Karena yang benar - benar ada akan selalu ada 
:) 

Wednesday, April 1, 2015

11:37 PM - No comments

Dalam Diam


Dalam diam aku melihat,
Kedua matamu memancarkan apa yang selama ini aku impikan

Dalam diam aku merasa,
Segaris senyummu lah yang membuat segaris senyumku tak mau pergi

Dalam diam aku menebak,
Sudah berapa hati yang kau datangi dalam perjalananmu mencari jawaban

Dalam diam aku berharap,
Kau menetapkan langkahmu kepadaku, sekalipun aku tempat penetapanmu yang kesekian

Dalam diam kita berbicara,
Hal yang tak perlu orang lain tahu

Dalam diam kita menjaga,
Menjaga hati yang tidak pantas untuk disakiti

Dalam diam aku mengerti,
Tak semudah itu merengkuhmu dalam hidupku

Dalam diam aku memahami,
Tak mudah untuk mempertemukan mimpi yang berada dalam dua kepala

Dalam diam aku bersedia mengalah,
Semoga tidak ada dendam dan keinginan lagi jika kau lebih memilih pergi

Dalam diam aku masih menunggumu,
Entah hanya untuk sembari atau untuk selamanya



~ Untuk sesuatu yang lebih baik disimpan dalam diam ~



Sunday, January 4, 2015

9:32 AM - No comments

Dimana (mana) sawah (beton)

Ini awal tahun 2015. Dalam perjalanan saya mengunjungi rumah orang tua bapak saya, yang biasa saya panggil simbah, di daerah pesisir selatan. Saya kembali menyadari banyak hal yang berubah di sepanjang perjalanan. Saya masih ingat betul, dulu sewaktu saya masih kecil. Dari balik kaca bis antar kota yang saya naiki bersama keluarga saya, begitu luas pemandangan hijau di kiri dan kanan jalan yang menemani pengelihatan saya. Saya sempat berkata, “Pak, ini lautan hijau ya”. Karena begitu luas tanpa batas sawah hijau saat itu. Begitu jarang rumah, warung, atau pun bangunan lainnya di pinggir jalan. Hanya ada pohon – pohon lumayan besar dan lampu – lampu jalanan yang berdiri tinggi sekali, serta beberapa tiang listrik dan telefon.

Tapi itu pemandangan belasan tahun yang lalu.

Sekarang?

Pemandangan hijau yang sering membuat saya bernyanyi ketika melihatnya itu kini sudah begitu berubah. Banyak petak – petaknya yang tak lagi hijau. Petak – petak yang menjadi sebuah tanah datar dan kering mulanya, bukan lagi tanah sawah, Petak – petak yang sudah tertimpa tanah – tanah urug. Lalu, beberapa waktu kemudian, berdiri lah kerangka – kerangka bangunan yang disusul dengan bata – bata yang di tata ke atas dan semen – semen yang ditempelkan pada bata – bata tersebut.

Taaaaarraaaammmm…

Jadilah sebuah bangunan. Rumah. Warung. Toko. Kantor. Kios. Kebanyakan dari mereka tidak terlalu bagus menurut saya. Kini, bangunan – bangunan itu seperti membuat pagar bagi sawah – sawah yang masih ada.

Miris rasanya

Lalu bagaimana dengan petani – petani yang dulunya menggarap sawah – sawah mereka yang kini sudah tak lagi berupa sawah? Apa pekerjaan mereka saat ini? Bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga? Pertanyaan yang terlalu polos mungkin.

Simple-nya, mereka menjual tanah dan mendapatkan uang yang lebih banyak daripada mereka hasil panen mereka selama setahun. Uang itu dapat digunakan untuk membuat suatu usaha, membuka toko, menyekolahkan anak mereka setinggi – tingginya hingga anak – anak mereka mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk menghidupi kehidupan mereka sekeluarga. Atau hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Mereka butuh begitu banyak uang bukan untuk hidup? 

Tidak dosa bukan jika mereka menjual tanah – tanah sawah mereka. Toh, itu hak mereka.

Tapi fikiran saya tidak hanya melayang sampai di situ

Bukan kah Indonesia adalah Negara agraris? Yang sebagian besar mata pencahariannya adalah bercocok tanam. Makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beras. Beras yang didapatkan dari sawah – sawah yang terhampar begitu luasnya. Jika semakin bertambah penduduk Indonesia yang memakan beras, namun semakin berkurang sawah yang ada, bagaimana penduduk Indonesia bisa makan? Bagaimana anak, cucu, dan keturunan penduduk Indonesia lainnya bisa makan?

Jawabannya begitu mudah

Import beras !

Beras impor harganya lebih murah daripada beras lokal. Gula impor harganya lebih murah dan lebih bersih daripada gula lokal. Daging impor harganya lebih murah daripada daging lokal. Buah impor, terkadang juga harganya lebih murah daripada buah lokal, juga rasanya lebih enak.

Lalu apa yang dikhawatirkan dari kegiatan import beras dan bahan pangan lainnya?


Akan lebih terasa ringan juga bagi masyarakat Indonesia untuk membeli produk import dibandingkan dengan produk lokal.

Jika untuk mencukupi pangan pokok saja kita harus melakukan import. Artinya, kita memiliki ketergantungan dengan Negara asal beras dan bahan pokok tersebut. Kita akan menyetujui berapapun harga yang mereka tawarkan, karena kita butuh untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kita. Ada juga kecenderungan kita akan menuruti apa pun yang diminta Negara tersebut agar kita tetap bisa mendapatkan pangan pokok tersebut. Kita begitu membutuhkannya bukan?

Masih merasa ini semua simple?

Bagaimana sebuah bangsa dapat menjadi besar dan merdeka, jika untuk mencukupi sendiri kebutuhan pangan pokoknya saja tidak mampu dan harus bergantung pada Negara lain?

Bisnis properti memang begitu menjanjikan keuntungan besar. Semua orang butuh tempat tinggal. Tapi semua orang jauh lebih butuh untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Bukan kah kita butuh makan nasi, bukan makan beton atau pun semen J

Semoga anak, cucu, dan keturunan kita semua masih memiliki kesempatan untuk merasakan nikmatnya hasil bumi dari nusantara J


*maaf untuk kata – kata yang kurang berkenan*