No comments
Seribu Maaf Untuk Hujan

Malam ini aku rasakan hujan tak seramah dulu. Tak lagi ada rasa berani untuk melawan hujan. Tak ada lagi rasa yakin, hujan tak akan membuatku basah. Ya. Kesombonganku akan hujan yang dulu seketika lenyap. Mungkin ia melebur. Tapi entah melebur oleh apa. Ku rasa hujan begitu membenciku, atau aku yang membenci hujan. Dulu kucemooh ia habis – habisan. Sampai ia enggan lagi membasahiku.
Kurasakan rintik hujan begitu menusuk. Ia tajam. Seperti kerikil yang tertumpah dari langit. Oh, bukan, ia bukan kerikil, tapi butiran es batu. Tajam dan dingin. Cukup untukku mampu menggigil di sepanjang jalan menuju rumah. Cukup juga untuk membuat telapak tangan dan kakiku membeku pucat seperti tak pernah teraliri darah. Sungguh, aku benci rasa kedinginan. Kurasakan pula kini ia membasahiku. Es batu itu seperti melumer di atas tubuhku yang baru saja menanggalkan keangkuhanku. Titik – titik airnya terserap oleh kain yang membalut tubuhku. Perlanah namun pasti ia merata ke suluruh kain pembalut tubuhku. Lalu ia pun menyerang pertahanan lemakku yang seharusnya mampu menangkis rasa dingin untuk memelukku erat.
Di tengah pelukan erat dingin itu, aku masih betul ingat, bagaimana aku yakin hujan tak akan membuatku basah kuyup. Bagaimana rintiknya yang tajam tak akan membuat kulitku sakit. Masih kuingat pasti, dinginnya air hujan bukan lah tandinganku, masih lah aku mampu bertahan walau air bah yang berusaha menenggelamkanku. Itu aku dengan angkuhku. Angkuh yang terus menemaniku seperti Anda yang selalu kupertahankan di dalam hatiku.
Sudah banyak kurancang cerita hidup masa depan. Kurangkai kata – kata pada dialog sacral yang ingin aku lakoni. Kuaransemen semua musik pengiring dari adegan – adegan yang telah kucatat dengan teliti. Semua detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Telah kuanggarkan segala yang mungkin akan dibutuhkan. Sudah pula kusiapkan plot – plot indah yang akan membuat orang lain terkagum nantinya. Semuanya. Kecuali ending-nya. Bagian yang paling menjadi pertanyaan bagiku. Dan kini, pertanyaan itu telah terjawab. Sudah tertulis ending yang tak terencana itu. Ending yang merusak jalan cerita yang telah kurangkai sedemikian rupa bersama bercangkir – cangkir kopi. Tapi aku sendiri lah yang memilihnya. Aku memilih ending yang seperti ini. ini ceritaku. Aku yang berkuasa, walau aku tak pernah pasti bagaimana menyelesaikannya. Tak dapat sekali pun aku merefleksikan ceritaku pada cerita milik orang lain. Tak peduli seindah apa pun cerita orang lain, bahkan tak akan kuhiraukan film – film dengan happy ending yang mereka ciptakan.
Malam ini, harus kuakui, aku pernah membenci hujan dengan angkuhku. Dan kini, aku harus mulai mencintai hujan dan mengakui bahwa, ia akan membuatku basah kuyup.
Seribu maaf untuk hujan. Lain kali akan kubiarkan diriku basah kuyup saat engkau tengah menari elok J
