Monday, February 28, 2011

4:19 AM - No comments

Seribu Maaf Untuk Hujan


Malam ini aku rasakan hujan tak seramah dulu. Tak lagi ada rasa berani untuk melawan hujan. Tak ada lagi rasa yakin, hujan tak akan membuatku basah. Ya. Kesombonganku akan hujan yang dulu seketika lenyap. Mungkin ia melebur. Tapi entah melebur oleh apa. Ku rasa hujan begitu membenciku, atau aku yang membenci hujan. Dulu kucemooh ia habis – habisan. Sampai ia enggan lagi membasahiku.

Kurasakan rintik hujan begitu menusuk. Ia tajam. Seperti kerikil yang tertumpah dari langit. Oh, bukan, ia bukan kerikil, tapi butiran es batu. Tajam dan dingin. Cukup untukku mampu menggigil di sepanjang jalan menuju rumah. Cukup juga untuk membuat telapak tangan dan kakiku membeku pucat seperti tak pernah teraliri darah. Sungguh, aku benci rasa kedinginan. Kurasakan pula kini ia membasahiku. Es batu itu seperti melumer di atas tubuhku yang baru saja menanggalkan keangkuhanku. Titik – titik airnya terserap oleh kain yang membalut tubuhku. Perlanah namun pasti ia merata ke suluruh kain pembalut tubuhku. Lalu ia pun menyerang pertahanan lemakku yang seharusnya mampu menangkis rasa dingin untuk memelukku erat.

Di tengah pelukan erat dingin itu, aku masih betul ingat, bagaimana aku yakin hujan tak akan membuatku basah kuyup. Bagaimana rintiknya yang tajam tak akan membuat kulitku sakit. Masih kuingat pasti, dinginnya air hujan bukan lah tandinganku, masih lah aku mampu bertahan walau air bah yang berusaha menenggelamkanku. Itu aku dengan angkuhku. Angkuh yang terus menemaniku seperti Anda yang selalu kupertahankan di dalam hatiku.

Sudah banyak kurancang cerita hidup masa depan. Kurangkai kata – kata pada dialog sacral yang ingin aku lakoni. Kuaransemen semua musik pengiring dari adegan – adegan yang telah kucatat dengan teliti. Semua detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Telah kuanggarkan segala yang mungkin akan dibutuhkan. Sudah pula kusiapkan plot – plot indah yang akan membuat orang lain terkagum nantinya. Semuanya. Kecuali ending-nya. Bagian yang paling menjadi pertanyaan bagiku. Dan kini, pertanyaan itu telah terjawab. Sudah tertulis ending yang tak terencana itu. Ending yang merusak jalan cerita yang telah kurangkai sedemikian rupa bersama bercangkir – cangkir kopi. Tapi aku sendiri lah yang memilihnya. Aku memilih ending yang seperti ini. ini ceritaku. Aku yang berkuasa, walau aku tak pernah pasti bagaimana menyelesaikannya. Tak dapat sekali pun aku merefleksikan ceritaku pada cerita milik orang lain. Tak peduli seindah apa pun cerita orang lain, bahkan tak akan kuhiraukan film – film dengan happy ending yang mereka ciptakan.

Malam ini, harus kuakui, aku pernah membenci hujan dengan angkuhku. Dan kini, aku harus mulai mencintai hujan dan mengakui bahwa, ia akan membuatku basah kuyup.

Seribu maaf untuk hujan. Lain kali akan kubiarkan diriku basah kuyup saat engkau tengah menari elok J

Thursday, February 24, 2011

12:01 PM - No comments

Sesapan Terakhir Dari Secangkir Espresso :)

I’m not perfect. You’re not perfect. But, I should make it better…

Hey, saya berada di titik ini. Titik dimana saya mulai goyah. Masih betul saya ingat, saya begitu yakin atas Anda. Anda yang selalu berada di hati saya. Anda yang tak perlu menjadi sempurna untuk saya memperdulikan anda. Anda yang segala keburukan dan kebaikannya saya terima dengan begitu apa adanya. Ya. Anda yang tetap bertahan di hati saya walau banyak orang yang memaki anda. Sekali pun fikiran saya atas anda tidak berubah. Anda yang saya percaya dihadirkan Tuhan yang baik untuk mengingatkan kepada-Nya selalu. Seburuk apa pun anda, bagi saya anda adalah baik.

Bertahun, saya tidak pernah memperdulikan kelu yang sebenarnya perlahan menggerogoti diri saya sendiri. Saya merasa kelu itu adalah bagian yang memang seharusnya ada bersama anda. Saya terima semuanya. Namun, kali ini kelu itu datang menghantam dengan sangat jauh lebih keras lagi. Anda tahu rasanya? Saya seperti tidak lagi memiliki kemampuan untuk berfikir dan merasa. Mati mungkin. Tapi saya masih dapat bernafas dengan lancar dan berjalan dengan tegap. Mayat hidup mungkin.

Sekali pun saya tidak pernah memohon kepada Tuhan yang baik untuk menghilangkan anda dari hidup saya. karena saya tahu, jika memang sudah waktunya, maka anda akan berlalu dengan sendirinya, dan saya hanya ikhlas yang dapat saya lakukan.

Di titik ini, di saat kelu itu membabi buta, saya melongok ke dalam diri saya sendiri. Benar saja, kelu itu bertahun – tahun menggerogoti diri saya sendiri. Pintu di ruang hati saya sudah tertutup dan kuncinya telah terlebur oleh kelu itu sendiri. Sementara isi di dalam ruang hati saya? Ada sebuah kotak persegi yang besar di dalamnya, yang sikunya begitu tajam hingga menusuk dinding ruang hati saya. anda tahu rasanya? Air mata saja tidak cukup untuk meringankan rasa sakitnya.

Jika anda bertanya apakah saya menyesal? Saya akan menjawab dengan senyum terakhir saya, “Tidak”. Karena seribu tahun saya menyesal pun tidak akan mengalahkan kelu yang menggerogot itu.

Mungkin ini sudah waktunya bagi saya untuk tidak lagi mempertahankan anda di dalam hati saya. Walau saya kerap menyebut, semuanya hanya karena Tuhan yang selalu anda ingatkan. Mungkin pula ini memang sudah saat yang disiapkan Tuhan. Saat dimana saya harus mengganti secangkir espresso di hati saya dengan secangkir jasmine tea atau secangkir espresso lainnya.

Jika memang ini semua adalah luka, saya tahu semua ini indah. Semua ini sudah seperti apa yang seharusnya terjadi. Dengan senyuman yang masih tersisa, saya hanya dapat mengucapkan terimakasih atas segala yang telah anda berikan dan anda ajarkan kepada saya. Saya bersyukur atas semuanya J

Ini sesapan terakhir dari secangkir espresso. Saya tahu tidak mudah, tapi saya yakin perlahan anda akan berada di tempat yang tepat bagi hidup saya. J

Sunday, February 20, 2011

10:27 AM - No comments

Salam sayang untuk Tuhan :)

Tuhan…

Aku minta ampun untuk hal yang tidak pernah aku lakukan,

Untuk hal yang seharusnya aku lakukan

Tuhan…

Terimakasih karena menghukumku,

Dengan rasa bersalah dan tidak enak


Tuhan…

Aku sudah lama berdiri dan berjalan,

Melangkah tanpa arah,

Hingga kini tak terarah


Ini kuasaMu

Untuk semua yang ada, untuk bahagia dan sedih

Untuk rasa bangga dan sesal


Sudah,

Mungkin ini cukup, Tuhan

Aku hanya butuh teman untuk berbagi,

Untuk selalu mengingatMu


Salam sayang untukMu, Tuhan

Yang selalu menyayangiku J

Tuesday, February 15, 2011

9:21 AM - No comments

~

Yang terkasih

Yang tercinta

Yang tersayang

Beribu syukur atas kebahagian

Kebahagiaan karena adanya kalian

Selalu aku memuja Tuhan yang baik

Yang mencukupkan rahmat-Nya padaku



Aku dapat merasakan kita bergandengan, berangkulan, saling memapah kala langkah terlalu lelah

Nyata aku merasakan ketenangan saat emosi tanpa ampun melilit



Di suatu saat ketika kita tengah melanjutkan langkah sambil bercengkerama aku melihat yang berbeda

Aku melihatmu berada di jalan yang lain,

Jalan yang tidak aku pilih

Kau melangkah dengan cara yang berbeda,

Bukan dengan cara yang ku lakukan

Lalu aku mendengarmu melantun yang berbeda,

Yang tak pernah aku lantunkan



Tapi sungguh aku tak pernah merasa ada yang beda

Sering kau sebut tujuan kita sama dan aku mengamini

Ini hanya caranya saja, tidak ada cara yang ‘paling indah’



Sejenak aku meminta untuk berhenti,

Segumpalan otak ini terus bertanya,

“Tuhan menyayangimu dan Tuhan menyayangiku,” itu katamu

Lalu kau meminta untuk melanjutkan langkah



Di satu titik yang lain aku mengerti,

Ini cara Tuhan menyayangi

Tuhan yang baik tidak sekali pun memaksa

Ia membentangkan banyak cara untuk kita pilih



Lalu kau berujar,

Aku dengan caraku, kau dengan caramu

Itu tidak salah

Ini kehendak Tuhan yang baik J

Friday, February 11, 2011

1:56 AM - No comments

Dari Orang Kebanyakan


Suatu siang perjalanan saya ke kampus harus terhenti seketika. Beberapa polisi sudah sigap di tengah perempatan dengah peluit saktinya. Kontan semua orang takluk dan berhenti. Lalu dapat saya dengar sirine dari kejauhan yang semakin mendekat. Semula saya mengira suara sirine itu adalahh iring – iringan pelayat. Namun saya salah besar. Suara sirine itu adalah iring – iringan pejabat atau siapa lah dia, saya tidak peduli. Bagi saya iring – iringan itu menghambat perjalanan saya ke kampus.



Tapi bukan itu sesungguhnya yang mengganggu fikiran saya. Hal lain yang lebih membuat mata saya tidak nyaman. Ketika iring – iringan yang dikawal oleh polisi itu lewat, beberapa kendaraan pribadi mencoba meloloskan diri dari jaring maya peluit sakti polisi. Saya rasa itu wajar, siapa yang rela waktunya dibiarkan berlalu begitu saja dengan iring – iringan semacam itu. Yang membuat mata saya tidak nyaman adalah ketika pengemudi mobil polisi pengawal tiba – tiba menurunkan kacanya dan mengeluarkan tangannya untuk memaki dan seperti hendak mengusir pengendara kendaraan pribadi yang mencoba memanfaatkan iring – iringan tersebut untuk mempercepat langkahnya. Sungguh tidak nyaman dipandang, saya rasa raut wajah dan kelakuan si polisi itu. Ia tak Nampak seperti orang bar – bar yang mencoba mengusir ayam yang hendak merebut makanannya. Makiannya yang racau itu menambah ketidak nyamanan mata saya, seperti ia adalah seorang suci yang tak ingin didekati oleh orang kebanyakan.



Sepanjang sisa perjalanan saya lalu berfikir, entah sudah berapa kali saya menemui hal itu. Dan sebanyak itu pula saya tak pernah peduli sepenting apa si pejabat yang betul – betul dijaga tersebut. Sebegitu suci kah nyawanya hingga sebegitu dilindungi? Atau justru terlalu rapuh kah dia hingga begitu dilindungi?



Jika ia pejabat, yang menjabat untuk orang kebanyakan, bekerja untuk kesejahteraan orang kebanyakan, melayani orang kebanyakan, mengapa ia tak boleh tersentuh oleh orang kebanyakan yang diurusinya tersebut?



Bukan kah seharusnya orang kebanyakan atau rakyat dilayani oleh si pejabat? Atau kah selayaknya orang kebanyakan melayani pejabat?



Lalu bagaimana si pejabat dapat memutuskan dengan bagaimana melayani orang kebanyakan, jika ia tak langsung bersentuhan? Tak beda dengan seorang anak kecil yang menceritakan jamu itu pahit, tanpa ia pernah mencobanya setetes pun.



Saya ini hanya orang kebanyakan yang merasa aneh dengan hal tersebut.



Saya juga masih ingat betul, ketika Tuanku Presiden berkunjung ke kota yang begitu saya cintai ini. Beberapa jam sebelum Tuanku Presiden melewati suatu jalan, jalanan tersebut sudah disterilkan. Lalu saya sempat mendengar percakapan beberapa bapak tukang becak, “presiden datang kok kita yang malah rugi”. Jelas saya tersenyum geli dan mengenaskan. Seorang presiden bukan kah seharusnya menyejahterakan rakyatnya, lalu jika kunjungannya saja membuat tukang becak tidak dapat mencari nafkah bagi keluarganya, karena jalanan yang disterilisasi, bagaimana selanjutnya?



Sekali lagi saya hanya merasa heran dengan semua kejadian yang ada di depan mata saya. Mereka mengaku bahwa, pekerjaannya adalah melayani orang kebanyakan. Lalu bagaimana mereka tahu cara melayani, jika tidak bersentuhan dengan yang akan dilayani.



Tuanku Presiden tidak pernah tahu bagaimana terik matahari harus ditantang oleh para tukan becak. Beliau juga tidak pernah tahu bagaimana kelunya mengayuh pedal becak yang begitu berat ketika penumpang berada di dalamnya. Tuanku juga tidak mengerti bagaimana para tukang becak harus mati – matian membela tarif jasanya, ketika ada calon penumpang yang dengan begitu tega ingin memberikan tarif yang begitu rendah.



Sekali lagi, saya ini hanya orang kebanyakan yang merasa aneh dengan apa yang terjadi tersebut J

1:17 AM - No comments

Powerless

Ini jalan begitu sepi

Langit sudah menggelap dan aku masih terjaga dari lelap

Temaram lampu kota hanya mencoba mengalahkan gelap, namun tetap tak mampu


Ini angin begitu dingin

Menusuk tulang dan melilit rusuk

Terasa betul dada ini berongga lebih besar


Ini hari sudah berganti

Aku masih terjaga di atas jalanan aspal yang pasti lah menggigit dinginnya

Aku masih menapaki jalanku sendiri dengan lelah yang menggelayut


Ini waktu tak pernah habis

Sampai nanti Si Empunya menghabisi sesuai takdir

Ia tak pernah lelah terus berjalan, sementara aku ingin berhenti


Ini hati sungguh kelu

Kelu karena lelah, mungkin juga jenuh

Sungguh keyakinan sedang goyah, mungkin nyaris padam


Ini titik sungguh nadir

Betapa begitu merasa kosong, nol, di dasar

Lalu nanti akan kah berbalik lagi?


Ini hidup belum habis

Tak perlu mintakan ia habis

Ia punya masanya sendiri

Cukup jalani dengan ikhlas


Ini sahabat sungguh nyata

Ketika semua acuh

Dia mendengar, dia memberi lihat sisi lain


Ini jiwa sungguh rindu

Rindu pada Tuhan yang baik

Walau selalu kasih sayang tak pernah padam

Hanya rasa saja kerap lumpuh merasa

Thursday, February 10, 2011

9:43 AM - No comments

Bait Untuk Tuhan

Tuhan…

Di titik ini aku merasa lelah

Aku merasa hampir punah oleh energiku sendiri

Aku merasa hanya tinggal sebuah partikel kecil tak bernyali



Tuhan…

Di garis ini aku merasa vakum

Kebingungan merajai cerebellum ku

Keterperangahan akan waktu memampatkan medulla oblongataku


Tuhan…

Di patok ini aku terantuk

Merasa sudah tak ada lagi daya hidup



Tuhan…

Apakah apiku sudah akan padam?

Nyalakan lagi, Tuhan…

Nyalakan dengan sejuk kasihMu…

Wednesday, February 9, 2011

8:38 AM - No comments

Tentang Sahabatku :) #2

Aku berdoa di setiap saat yang ku mampu. Aku memohon dan terus meminta dengan sangat tidak tahu diri kepada Tuhan yang baik. “Tuhan beri aku seseorang yang dapat menjadi tempatku berbagi”. Tuhan yang baik tak serta merta mengabulkan doaku.

Dan tau kah kau, aku seperti mendapat jawaban untuk doaku, saat kau mendengarkan aku mengeluh. Saat kau melontarkan kata – kata semangat. Saat kau berkata ‘iya’ untuk meyakinkan bahwa kau mengerti atas apa yang ku maksud. Ya.

Serasa berton – ton benda yang menumpuk di atas perasaanku perlahan menghilang. Entah kemana ia menghilang, aku tidak peduli. Lalu aku dapat merasakan kelegaan yang selama ini selalu bersembunyi dariku. Ini lebih lega daripada aku harus menangis semalaman.

Kau tahu apa rasanya saat kau merasa sesak dan kau mencoba bercerita pada yang lain, namun semua orang serasa justru melangkah ke dunianya masing – masing. Ya. Kau seperti sendirian.

Kau tahu apa rasanya saat dengan terbata kau coba berbahasa dengan bahasa yang mampu kau pahami, namun mereka tak juga memahaminya. Justru mereka menuntut agar kau memahami bahasa mereka sendiri. Ya. Kau seperti asing.

Sekali lagi Tuhan memang begitu baik. Tuhan mengizinkanmu untuk mengerti bahasaku dan juga mengizinkanku untuk mengerti bahasamu (semoga).

Kau ceritakan dengan bahasa yang mampu aku pahami, tentang kesabaran, keihklasan, ketulusan, keyakinan, dan kekuatan yang harus aku miliki. Ya. Kita tahu itu semua tidak mudah. Tapi aku selalu ingin memilikinya. Tidak kah kau juga begitu?

Tak banyak waktu yang kita miliki, aku tahu. Tapi hari ini kau perlihatkan padaku waktu itu sahabat, bukan lagi musuh yang harus selalu dilawan.

Tuhan yang baik… terimakasih untuk orang yang kau hadirkan untukku dapat berbagi. Untukku tak harus selalu terlihat kuat, karena terkadang atau bahkan sering aku adalah lemah.

Terimakasih Tuhan yang baik, untuk sahabatku yang baik J

Tuesday, February 8, 2011

9:30 AM - No comments

Debu


Pernah kah anda memperhatikan debu pada suatu tempat? Mungkin ada dari anda yang begitu membenci debu. Atau bahkan alergi terhadap debu. Debu mungkin terlihat kotor dan tidak bersahabat. Bisa saja debu merupakan lambang dari kemalasan untuk membersihkan suatu tempat.

Beberapa hari yang lalu saat saya membersihkan kamar, sejenak saya berhenti dan mengamati debu yang menebal di atas meja belajar saya. Debu itu memang berhasil membuat saya terbatuk, namun saya tak lantas membersihkannya atau menghindar darinya. Entah mengapa saya takjub melihat debu yang menebal itu. Warna abu – abunya dan teksturnya yang begitu halus namun sukar dihilangkan jika tanpa terkena air.

Saya tahu debu itu kotoran. Kotoran yang harus sesegera mungkin dibersihkan. Namun saya merasa sayang membersihkannya kala itu, ia terlihat begitu cantik. Ia tidak perlu tersenyum atau menari gemulai untuk saya sebut cantik. Ia cantik dengan caranya sendiri. Dengan diam. Dengan membuat meja belajar saya kotor.

Saya sentuh debu itu. Ia sedikit menyingkap dari permukaan meja belajar saya. kini ia menempel pada telunjuk saya. Saya mencoba menghilangkannya dengan menggosokan telunjuk dan ibu jari saya. Ia hanya secara tidak kasatmata. Namun secara kasatmata, ia masih ada. Saya dapat merasakannya. Saya dapat merasakan butirannya yang begitu lembut.

Saya memikirkan betapa ringannya debu. Ia dapat terbang sesuai arah angin. Ya. Mengikuti kemana angin menuju. Ia begitu santai terbawa angin dan hinggap di suatu tempat yang baru. Dengan mudahnya ia dapat berpindah tempat dan keadaan. Begitu bebasnya ia.

Dala, keyakinan saya ada debu yang dapat menjadi pengganti bagi air wudhu. Itu artinya ia dapat membersihkan kotoran. Debu yang ini jelas berbeda dengan debu yang ada di atas meja belajar saya. Ya. Itu juga lah yang membuat saya semakin mengangkat kopi terhadap debu. Ia kotor. Namun, di satu sisi yang lain, ia juga membersihkan kotoran.

Lalu saya berfikir, apakah menjadi debu adalah bahagia?

Ia ringan dan dapat berpindah tempat dengan mudah. Ia kotor namun di sisi lain membersihkan kotoran. Ia hanya tinggal mengikuti kemana angin berhembus. Ia tidak perlu menghabiskan waktu untuk berfikir kemana ia akan pergi. Angin akan membawanya serta dengan senang hati.

Tapi pernah kah debu ingin pergi ke suatu tempat? Suatu tempat yang sungguh – sungguh diinginkannya. Tempat yang kebetulan berlawanan dengan arah angin. Pasti lah sangat menyiksa bagi debu saat ia tak mampu mencapai tempat itu, tempat yang arahnya berlawanan dengan arah angin. saya tahu betapa kesalnya saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, bahkan sewaktu kecil, saya kerap menangis jika tidak mendapatkan hal yang saya inginkan. Apa kah debu juga menangis? Jika ia menangis, tidak kah air matanya justru meluruhkan dirinya sendiri?

Tuhan yang baik, terimakasih untuk debu yang Kau hadirkan di kamarku. Untuk debu yang Kau hadirkan di sekitarku J

Monday, February 7, 2011

8:38 AM - No comments

Bertanya Pada Jingga

Di suatu sore aku pernah bertanya pada jingga

Apa kau tidak merasa sedih saat kau hanya diberi kesempatan untuk hadir begitu sejenak di antara duapuluhempat jam waktu dalam sehari?

Ia hanya tersenyum syahdu sembari angin berhembus membelaiku

“Jika aku sedih, lantas siapa yang akan membuatmu tersenyum?”

Lalu aku kembali bertanya kepada Jingga,

Apa kau tak takut terkalahkan oleh keindahan pelangi yang lebih beragam itu?

Ia lalu tersenyum teduh

“Jika aku takut, untuk apa Tuhanku mentasbihkan aku untuk menyambut malam datang?”

Aku lalu terdiam, hanya kunikmati saja jingga yang semburatnya selalu indah

Aku jatuh cinta pada jingga

Jatuh cinta karena ia seperti lukisan abstrak yang keindahannya tak pernah lekang

Aku jatuh cinta hingga selalu merindukannya di sepanjang pagi dan siang


Lalu suatu hari pelangi muncul

Ia tersenyum padaku, senyumnya tak pernah seindah jinggaku

Ia menyapaku hangat setelah hujan mengahantarkannya hadir di langitku

Ia berbeda, warnanya tak hanya Satu

Semua orang berdecak kagum akan banyak warna itu

Sementara aku hanya diam memandangnya

Saat ia hadir aku selalu berfikir tentang perbedaan,

Perbedaan yang tak pernah ditunjukkan oleh jinggaku

Ia seolah menyindirku

Aku berbeda,

Berbeda dengan dia

Ya…

Tapi Tuhan tak pernah marah,

Atau ini kah cara Tuhan untuk marah?


Suatu saat aku kembali bertanya pada jingga

“Ada yang salah dengan yang berbeda?”

Jingga tersenyum dengan syahdu kembali

“Jika salah mengapa Tuhanmu menciptakannya?”
Tapi mengapa pelangi tak pernah seindah dirimu?

“Semuanya indah karena Tuhan yang menghendaki”

Tuhan?

“Ya Tuhan. Apa yang kau fikirkan tentang Tuhan?”

Tuhan itu Satu

Jingga lalu tersenyum hangat

“Pernah kah kau sadari, ujung pelangi itu seperti berasal dari satu ujung yang sama, lalu ia memancar berbeda”

Perlahan jingga pamit dan memudar untuk digantikan oleh malam

Aku hanya dapat melihat pudarnya semakin hilang