Friday, February 11, 2011

1:56 AM - No comments

Dari Orang Kebanyakan


Suatu siang perjalanan saya ke kampus harus terhenti seketika. Beberapa polisi sudah sigap di tengah perempatan dengah peluit saktinya. Kontan semua orang takluk dan berhenti. Lalu dapat saya dengar sirine dari kejauhan yang semakin mendekat. Semula saya mengira suara sirine itu adalahh iring – iringan pelayat. Namun saya salah besar. Suara sirine itu adalah iring – iringan pejabat atau siapa lah dia, saya tidak peduli. Bagi saya iring – iringan itu menghambat perjalanan saya ke kampus.



Tapi bukan itu sesungguhnya yang mengganggu fikiran saya. Hal lain yang lebih membuat mata saya tidak nyaman. Ketika iring – iringan yang dikawal oleh polisi itu lewat, beberapa kendaraan pribadi mencoba meloloskan diri dari jaring maya peluit sakti polisi. Saya rasa itu wajar, siapa yang rela waktunya dibiarkan berlalu begitu saja dengan iring – iringan semacam itu. Yang membuat mata saya tidak nyaman adalah ketika pengemudi mobil polisi pengawal tiba – tiba menurunkan kacanya dan mengeluarkan tangannya untuk memaki dan seperti hendak mengusir pengendara kendaraan pribadi yang mencoba memanfaatkan iring – iringan tersebut untuk mempercepat langkahnya. Sungguh tidak nyaman dipandang, saya rasa raut wajah dan kelakuan si polisi itu. Ia tak Nampak seperti orang bar – bar yang mencoba mengusir ayam yang hendak merebut makanannya. Makiannya yang racau itu menambah ketidak nyamanan mata saya, seperti ia adalah seorang suci yang tak ingin didekati oleh orang kebanyakan.



Sepanjang sisa perjalanan saya lalu berfikir, entah sudah berapa kali saya menemui hal itu. Dan sebanyak itu pula saya tak pernah peduli sepenting apa si pejabat yang betul – betul dijaga tersebut. Sebegitu suci kah nyawanya hingga sebegitu dilindungi? Atau justru terlalu rapuh kah dia hingga begitu dilindungi?



Jika ia pejabat, yang menjabat untuk orang kebanyakan, bekerja untuk kesejahteraan orang kebanyakan, melayani orang kebanyakan, mengapa ia tak boleh tersentuh oleh orang kebanyakan yang diurusinya tersebut?



Bukan kah seharusnya orang kebanyakan atau rakyat dilayani oleh si pejabat? Atau kah selayaknya orang kebanyakan melayani pejabat?



Lalu bagaimana si pejabat dapat memutuskan dengan bagaimana melayani orang kebanyakan, jika ia tak langsung bersentuhan? Tak beda dengan seorang anak kecil yang menceritakan jamu itu pahit, tanpa ia pernah mencobanya setetes pun.



Saya ini hanya orang kebanyakan yang merasa aneh dengan hal tersebut.



Saya juga masih ingat betul, ketika Tuanku Presiden berkunjung ke kota yang begitu saya cintai ini. Beberapa jam sebelum Tuanku Presiden melewati suatu jalan, jalanan tersebut sudah disterilkan. Lalu saya sempat mendengar percakapan beberapa bapak tukang becak, “presiden datang kok kita yang malah rugi”. Jelas saya tersenyum geli dan mengenaskan. Seorang presiden bukan kah seharusnya menyejahterakan rakyatnya, lalu jika kunjungannya saja membuat tukang becak tidak dapat mencari nafkah bagi keluarganya, karena jalanan yang disterilisasi, bagaimana selanjutnya?



Sekali lagi saya hanya merasa heran dengan semua kejadian yang ada di depan mata saya. Mereka mengaku bahwa, pekerjaannya adalah melayani orang kebanyakan. Lalu bagaimana mereka tahu cara melayani, jika tidak bersentuhan dengan yang akan dilayani.



Tuanku Presiden tidak pernah tahu bagaimana terik matahari harus ditantang oleh para tukan becak. Beliau juga tidak pernah tahu bagaimana kelunya mengayuh pedal becak yang begitu berat ketika penumpang berada di dalamnya. Tuanku juga tidak mengerti bagaimana para tukang becak harus mati – matian membela tarif jasanya, ketika ada calon penumpang yang dengan begitu tega ingin memberikan tarif yang begitu rendah.



Sekali lagi, saya ini hanya orang kebanyakan yang merasa aneh dengan apa yang terjadi tersebut J

0 komentar:

Post a Comment