No comments
life is how the way you choose your choice and sure that it always be great scene
No comments
No comments
No comments
No comments
No comments
Saya sudah hidup selama 21 tahun lebih. Sudah ratusan bulan tentunya yang saya lewati. Tapi untuk satu bulan ke depan. Hhmmm serasa seperti lorong gelap yang akan segera saya lewati. Saya mau sebulan itu cepat berlalu. Dan 20 Desember 2011, saya ingin kamu !
Sebulan itu dalam bayangan saya seperti unlimited time. Sebulan itu dalam bayangan saya seperti ruang tanpa batas. Sebulan itu dalam bayangan saya seperti lorong tanpa ujung. Tapi saya harap sebulan itu dalam kenyataannya nanti adalah waktu yang menyenangkan.
P.S : December 20th, Please come fastly ! J
No comments
Ini hujan. Butir air yang turun dari langit. Ia lembut saat berbentuk gerimis. Namun ia begitu tajam ketika menjadi deras. Hujan apapun itu ia adalah air. Dengan awal bau tanah yang menenangkan dan meregangkan pekatnya aroma lelah yang mengikat raga.
Aku ingat hujan di bawah jembatan layang. Menantinya sejenak mereda sebenarnya seperti memaksa sesuatu menajdi nyata, sementara ia hanya memiliki 0,5 persen harapan. Itu hujan yang aneh dan beku.
Aku juga masih ingat hujan ketika berada dalam sebuah ruangan beraroma kopi yang pekat saat malam semakin berani menunjukkan siapa dia. Terjebak tanpa berani untuk menantang hujan. Aku penakut. Juga kami, mungkin. Itu hujan dengan tawa yang lepas.
Aku masih ingat hujan di antara rimbunnya pepohonan. Hujan yang tak lembut dan juga tak deras. Hujan yang gelap. Seperti di dalam hutan. Hujan yang sekali pun tidak menyenangkan !
Tak juga aku lupa dengan hujan di teras ruko yang telah tutup itu. Berteduh dari hujan yang deras tak terkira dan petir yang dengan bahagia menggelegar.
Pada setiap masanya hujan datang dengan rasa yang berbeda. Dengan kenangan yang berbeda. Namun aku tetap merindukan hujan yang semakin lama waktuku untuk merindukannya.
Dulu aku pernah begitu angkuh kepada hujan. Bagiku ia tak akan pernah membuatku basah kuyup. Tapi ternyata aku salah. Hingga hujan sendiri lah yang melunturkan angkuhku.
Hujan…
Yang kali ini aku tidak lagi ingin angkuh. Aku tahu kamu dapat membuatku basah kuyup. Aku tahu kamu dapat membuatku menggigil kedinginan hingga matahari yang menyingkirkan dinginmu.
Hujan yang kali ini merdu ketika menyentuh tanah bumiku, sudah tak akan lagi kubiarkan diriku tak kau buat basah kuyup sekalipun telah ada payung kebahagiaan yang ada di guci ruang hatiku.
Kali ini aku tak akan memintamu untuk berhenti atau terus turun saja tanpa henti. Karena bagaimana pun kamu, kamu tetap hujan yang selalu menjadi bagian dari siklus bumiku.
Salam rindu,
Seribu peluk untuk hujan
No comments
Goreskan saja semuanya biar jelas
Jelas seberapa dalam goresan itu
Bahkan, tanpa diraba pun akan jelas oleh mata
Tapi coba saja raba jika ragu yang angkuh itu masih menemani
Sudah tidak perlu dipaksakan
Sementara ini yang dapat aku lakukan
Atau mungkin memang hanya ini
Tidak perlu memaksa hingga menghardik atau memerahkan wajah
Percuma saja, karena hanya suara angin sore yang akan terdengar,
Sementara suaraku akan kalah
Toh lambat laun juga akan terdengar
Karena sesungguhnya sudah lama suaraku mengenalnya
Biar saja hanya aku, kamu, dan Tuhan yang mendengar
Sementara yang lain, biarkan mereka membacanya saja
Coba saja mulai dengarkan
Sebenarnya suaraku sudah mulai menghampiri telingamu
J
No comments
Kalau ini luka pasti sudah membusuk
Karena tak pernah setetes obat pun menghampirinya
Kalau ini sebuah almari kayu pasti sudah berdebu dan berjamur
Karena pintunya tak sekali pun kubuka
Kalau ini cinta sudah biarkan saja
Karena dia sudah tahu akan berdiam dimana
No comments
Tidak asing bukan dengan istilah Negara agraris. Ya. Indonesia sebagai Negara agraris di samping Negara maritim. Sedari kita belajar di sekolah dasar (SD) kita telah mengenal bahwa Indonesia adalah Negara agraris. Dimana pertanian menjadi sumber mata pencaharian utama penduduknya. Sedari SD juga kita telah diberi bayangan bahwa Negara ini memiliki bumi yang subur dan laut yang luas. Hasil bumi dan laut yang melimpah. Yang ada di bayangan kita adalah rakyat Negara ini tidak akan kekurangan pangan yang layak.
Tapi lihat saja di berita televisi, Koran, dan media lainnya. Rakyat yang masih susah untuk membeli bahan pangan justru banyak. Di Negara yang konon katanya memiliki hasil bumi yang berlimpah ini, rakyat masih saja kesulitan untuk makan. Walau sekedar makan beras, lalu tak jarang nasi aking menjadi pilihannya. Di Negara yang konon katanya adalah Negara agraris ini masih saja ada rakyat yang begitu kesulitan untuk mampu memiliki beras dan bahan pokok lainnya.
Mau hal yang lebih nyata lagi?
Lihat saja di sekitar kita. Banyak sawah yang sudah menghilang dan berganti dengan bangunan – bangunan. Di kota Jogja saja saya sudah begitu lama tidak melihat sawah. Justru yang ada bangunan – bangunan baru yang berdiri. Entah itu rumah atau ruko (rumah-toko). Tak hanya di kota Jogja, saat saya tengah berjalan ke daerah Bantul, perubahan banyak tertangkap oleh mata. Dulu sewaktu saya kecil, sawah hijau begitu luas membelalak. Tapi sekarang? Ya, sawah hijau itu masih ada, tapi tembok – tembok yang saling terhubung dan membentuk sebuah ruang itu semakin banyak. Tak jarang saya melihat sawah yang dikeringkan lalu diuruk. Bayangkan saja jika ego semua orang untu memiliki rumah meningkat tanpa memperdulikan lahan untuk pertanian. Dimana petani akan bekerja? Bagaimana kebutuhan rakyat negeri ini dapat terpenuhi? Impor? Perdagangan bebas?
Sewaktu kecil saya memiliki anggapan bahwa profesi petani adalah profesi yang menjanjikan. Bagaimana tidak? Semua orang jelas membutuhkan pangan. Petani menanam bahan pangan. Jelas lah hasil tani mereka begitu dibutuhkan. Tapi ternyata anggapan saya itu tidak sepenuhnya benar. Yang saya temui belakangan adalah banyak petani yang hanya menjadi buruh tani. Petani yang hanya menjadi tenaga untuk mengerjakan sawah orang. Lalu hasil tani pekerjaan mereka dibagi dua dengan si pemilik tanah. Tak sampai di situ saja. Hasil tani mereka pun kebanyakan tidak untuk dijual, namun untuk dikonsumsi sendiri. “Yang penting cukup pangannya dulu, masalah kebutuhan yang lain itu bisa dicari walau serabutan,” itu lah jawaban mereka setiap saya bertanya mengapa banyak dari mereka yang tidak menjual hasil taninya.
Ironis memang. Di negeri yang memiliki julukan agraris ini profesi petani ternyata masih sulit untuk mencapai makmur. Di negeri yang digadang – gadangkan agrarisnya kepada anak bangsa ini, ternyata sawah dan lahannya justru dirubah menjadi bangunan – bangunan. Di negeri yang bertitel agraris ini, petani kebanyakan hanya lah sebagai buruh. Lalu masih kah pantas negeri ini menyandang keagrarisannya sepuluh atau duapuluh tahun mendatang?
No comments

No comments
Saat mata terbuka aku menemukan ucapan selamat pagi. Atau terkadang aku yang terlebih dulu mengucapkannya. Saat hawa senyap menelusuri hati dan lorong rusuk aku meretas rindu. Hey, kamu tahu aku bilang pelangi itu indah. Memang. Aku juga pernah bilang senja itu ganteng. Selalu. Tapi kau tahu, terik siang itu bisa saja membuat aku tertawa walau menyipitkan mata, saat kamu berkata bodoh.
Melihatmu tertidur bermalas – malasan dan aku selalu menjadi penganggu tidur siangmu. Kamu tahu aku bahagia setiap melihat lekuk cemberutmu saat kamu terbangun. Kamu marah? Iya pasti. Tapi aku bahagia.
Atau sekedar meracau panjang tak beraturan mengenai kamu. Semuanya yang ada pada kamu. Tidak ada maksud untuk menjadi pemerintah bagi hidupmu. Walau sering semua yang aku katakana kamu abaikan. Tapi aku bahagia.
Mendapati kata maaf setiap kamu selesai berlaku menyebalkan. Atau setiap kamu mengakhiri kebohongan bodohmu itu. Jengkel memang. Tapi sekali lagi itu bahagia.
Saat tengah malam atau sepanjang hari aku menangis. Air mata yang mungkin tidak pernah kamu tahu. Rasa sedih yang mungkin tidak pernah sampai padamu. Itu bagian dari ‘kita’. Dan ternyata aku bahagia..
Salah tingkahmu saat aku memintamu menjadi imam sholat maghribku. Hal menyebalkan memang. Tapi ternyata aku masih bahagia.
Bukan orang yang sempurna menurut idealku memang. Jauh dari sesuatu yang begitu aku inginkan. Tapi Tuhan sudah menakdirkan aku bahagia dengan jalan seperti ini.
Untuk rasa sakit yang suatu hari pasti akan datang, semoga kamu juga masih menyimpan kebahagiaan.
Untuk Tuhan yang sudah menuliskan takdir ini. Seribu maaf untuk semua salah.
Untuk kamu, apa pun itu suatu hari nanti. Aku sebut ini semua bahagia J
No comments

Entah ini hitungan waktu yang keberapa. Dalam dimensi yang bagaimana. Apa aku pernah peduli?
Entah ini seperti apa keliahatannya. Terlihat atau tidak. Apa aku pernah peduli?
Entah ini jalan yang bagaimana. Tikungan macam apa. Jalan buntu yang seperti apa. Apa aku pernah benar – benar peduli?
Mungkin mereka bilang aku sedang dalam posisi yang tak mampu melihat sisi lain
Atau aku tengah dalam keadaan dimana cahaya lain di sekitarku meredup
“Terserah”, itu kataku
Aku sudah tahu bagaimana rasanya air mata karenamu
Aku juga tahu bagaimana bahagianya tertawa karenamu
Atau sekedar menjadi malu hanya di hadapanmu
Aku sudah menemui hal yang lebih indah daripada bulan sabit yang tergaris di tengah bintang
Bukan karena coklat yang selalu ada di dalam tasku setiap hari
Bukan karena ucapan selamat pagi setiap mata terbuka
Bukan juga karena kata ‘maaf’ yang terucap setelah rasa beku menyesap
Cukup menatapmu saat tertidur lelah
Atau melihat bibirmu mengerucut saat tingkahku menyebalkan
Sekedar tawa kecil saat kamu mengakhiri tingkah bohongmu yang bodoh
Kamu tahu, kamu lebih pahit dari espresso
Mungkin juga akan lebih pekat dari espresso
Maaf untuk kata yang belum mampu aku ucapkan sekalipun sering kamu ucapkan
Mungkin aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkannya
Atau ini memang caraku untuk mengucapkannya
Terimakasih apa pun itu
Semoga saling menyelipkan nama dalam doa
P.S. sedang apa pun kamu sholatnya jangan lupa ya J
No comments
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.(Pasal 1 Undang – undang Perlindungan Anak)
Anak adalah harapan bagi masa depan suatu bangsa. Maka dari itu, kenyamanan dalam tumbuh kembang anak sangat penting bagi terciptanya suatu masa depan bangsa yang lebih baik. Keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara bertanggung jawab dalam melindungi hak anak demi tumbuh kembang anak yang baik dan partisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat.
Walaupun merupakan asset masa depan bangsa, namun sejumlah anak Indonesia masih saja belum mendapatkan hak dan perlindungan yang sepatutnya mereka terima. Masih banyaknya perdagangan anak, pekerja seks anak, dan buruh anak di Indonesia menandakan betapa anak Indonesia masih kurang mendapatkan perlindungan. Untuk mengawal perlindungan hak – hak anak maka, dibentuklah komisi Perlindungan Anak Indonesia sesuai dengan Undang – undang No. 23 Tahun 2002 yang diratifikasi dari Konvensi Hak – Hak Anak Internasional.
Anak adalah anugerah dari Tuhan yang seharusnya kita lindungi. Hal tersebut sepertinya belum disadari oleh semua orang di dunia ini. Keluarga dan orang tua seharusnya adalah perlindungan pertama bagi anak, tapi tak jarang kita mendengar kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan orang tua atau pihak keluarga dengan berbagai macam dalih termasuk dalih sebagai suatu proses mendidik anak. Tak hanya itu, semakin banyak saja kita mendengar berita anak yang dijadikan objek seksualitas oleh ayah kandung atau ayah tirinya. Jika sudah begitu, bagaimana anak dapat merasakan kenyamanan untuk tumbuh kembangnya dengan baik?
Human trafficking menjadi isu yang tak kunjung padam. Beragam regulasi dan tindakan telah disahkan guna melawan human trafficking. Tapi tetap saja, human trafficking masih marak terjadi, terlebih pada anak – anak. Tak hanya anak yang telah lahir di dunia saja yang diperdagangkan dengan mudahnya. Bahkan, perdagangan anak ini dapat terjadi sejak anak masih di dalam kandungan. Jika anak yang notabennya merupakan masa depan bangsa kita saja dengan begitu mudahnya diperdagangkan, lalu bagaimana bangsa ini di masa depan?
HIV/AIDS adalah ancaman lain bagi anak Indonesia. Gaya hidup bebas orang dewasa ternyata tidak hanya menghancurkan masa depan si orang dewasa tersebut, tapi juga dapat mengancam masa depan anak. Karena, sebagian besar anak yang mengidap penyakit tersebut, terjangkit dari orangtua mereka. Dapat kah anda bayangkan bagaimana jika sedari lahir saja mereka sudah terjangkit penyakit yang menyerang system imun tersebut? Ditambah lagi, kultur di Indonesia yang masih belum dapat menerima dengan begitu legowo para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Jika kita di jalanan, kerap kita melihat anak – anak yang harus harus bersahabat dengan teriknya matahari dan kerasnya aspal demi mendapatkan rupiah. Bukan kah dunia anak yang sebenarnya adalah bermain dan belajar? Lalu bagaimana anak tersebut dapat memiliki waktu untuk bermain dengan teman – teman sebayanya dan belajar sesuai dengan (minimal) ‘wajib belajar Sembilan tahun’?
Kecerdasan anak bangsa adalah kunci sukses dari pembangunan bangsa di masa depan. Pendidikan adalah cara untuk mengembangkan kecerdasan anak. Namun, pendidikan gratis masih merupakan suatu mimpi bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Maraknya korupsi dana pendidikan yang tak sampai 10% dari anggaran Negara membuat pendidikan gratis masih memerlukan proses yang lebih lama lagi, walaupun kini sudah ada program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Selain itu, kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat sejumlah anak harus putus sekolah dan memutuskan untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga mereka.
Anak yang telah hidup pada taraf keluarga yang mampu memberikan perlindungan dan pendidikan bagi mereka pun tak begitu saja lepas dari ancaman. Pornografi dan hedonisme masih saja membayang – bayangi kehidupan anak Indonesia belakangan ini. Semakin canggihnya teknologi menuntut semakin waspadanya orangtua dalam mengawasi anak – anak mereka. Mengawasi bukan berarti membatasi, karena pada dasarnya anak memiliki sifat selalu ingin tahu. Pengarahan dan pendekatan secara psikologis oleh orangtua adalah salah satu cara untuk menghindarkan anak dari pornografi. Gambaran gaya hidup mewah dibeberapa tontonan televise pun turut membentuk mindset anak, karena anak bagaikan sebuah lilin yang dapat dengan mudah dibentuk. Gaya hidup yang seperti ini dapat membentuk perilaku konsumtif pada anak yang berlebihan. Jika anak sudah memiliki perilaku konsumtif, maka bias jadi kreatifitas mereka untuk berkreasi menjadi semakin minimal. Lalu bagaimana bangsa ini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri di masa depan, jika anak bangsanya memiliki perilaku hedonis dan konsumtif?
No comments
Aku dan kamu adalah dua hal yang diciptakan Tuhan dengan berbeda
Aku dengan segala aku
Dan kamu dengan segala kamu
Aku dengan segala yakinku
Sementara kamu dengan segala yakinmu
Jika kau Tanya apa pendapatku tentang perbedaan,
Maka hening sejenak lah yang akan menjawab
Jika kamu tanyakan aku sebagai ego, maka aku menginginkan perbedaan itu menjadi sama
Namun, jika kamu tanyakan aku sebagai hati, maka hanya bahagia yang muncul seberapa pun perbedaan itu merekah
Kamu tahu apa rasanya menjadi berbeda?
“Asing”, itu jawabmu
Sementara aku hanya menggelengkan kepalaku
Aku dan kamu berbeda, tapi tak lantas kita adalah asing
Kamu tersenyum, sejenak hening memunculkan dirinya kembali
Lalu sekarang apa rasanya berbeda itu?
“Segaris senyum saja aku rasa sudah cukup menjawabnya,” itu jawabmu
Tak peduli kamu meracau seperti apa pun
Apa pun itu, aku rasa Tuhan menginginkan kita berbeda dan bertemu
Walau sebenarnya kita memijak tanah yang tak sama
Ini tanah yang aku yakini, dan itu tanah yang kamu yakini
Tak ada kata 'cukup' untuk lalu menuntaskan perbedaan
Itu tidak akan pernah tuntas,
Selama Tuhan belum membuat takdirnya berakhir
P. S : Untuk kamu yang berbeda, selamat bahagia. Aku bahagia J
No comments
Ambil saja belatinya
Belati di atas meja bundar itu
Sudah cukup aku lelah terus menangis
Tawa seakan berlari dari hidupku sekerjap tadi
Bahkan, kalau kini kau ingin berlari akan ku biarkan saja
Entah apa ini namanya
Marah?
Sesal?
Marah yang berujung sesal?
Atau..
Sesal yang berujung marah?
Sudah tak lagi mampu otakku memilahnya
Jika hati ini tiang, maka retak pun di pangkalnya
Hey, dapat kau lihat itu retaknya?
Ya, karena hanya kau yang dapat melihatnya
Sentuh lah sekejap saja retakan itu
Terasa bukan rembesan air yang semakin lama semakin basah
Sudah tidak perlu difikirkan
Karena nyatanya aku sendiri masih belum yakin
Hunus saja belati di tanganmu itu
Biar semua selesai
Entah seperti apa nantinya
……..
No comments
Terkadang sore datang tak bersama jingga yang indah. Untuk itu lah kerinduan merasuk di antara aku dan jingga yang indah. Dan itu lah mengapa jingga bagiku adalah indah. Langit sore itu sudah seperti belahan jiwa yang rasanya tak ingin sekali pun aku melewatkannya. Karena kamu tahu begitu menyiksa rasa rindu pada jingga. Ku cari ia pada sejuk pagi tak pernah mampu aku dapati. Ku cari ia pada gemerlap malam tak juga mampu aku dapati. Sekali pun ku cari ia pada hingar bingar siang masih juga tak ku temui ia.
Beberapa bulan belakangan begitu sering saya melewatkan senja yang selalu saya nanti itu. Mungkin itu lah mengapa bagi saya jingga terasa semakin indah. Anda tahu bagaimana rasanya saat rindu itu datang dan rasa ingin memeluk datang begitu kuat, sementara saya hanya mampu melihatnya tanpa merasakan hadirnya. Semburat jingga itu membuat saya yang tengah berada di dalam ruangan begitu sedih.
Hanya sesekali waktu aku menikmati mencuri waktu untuk menikmati jingga. Di atas jalanan kota yang mulai lelah. Hanya sekedar duduk pasrah dengan segelas es krim sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang membawa orang – orang kembali ke rumah nyaman mereka. Aku bahagia saat seperti itu.
Saat ini, aku dapat sebebas – bebasnya memeluk jingga. Aku dapat sepuas – puasnya menyesap semburatnya hingga senyum tak lekang dari wajahku. Tak perlu lagi mencuri waktu untuk merasakan udara yang perlahan mulai dingin. Tapi bukan berarti aku tak lagi memiliki kerinduan. mungkin ini adalah pengganti kerinduanku pada jingga. Kamu.
Kamu yang selama ini ternyata menggeser posisi jingga ke ruang rindu. Kamu yang perlahan menepiskan jingga menjadi hal langka bagiku. Dan kini jingga yang menggesermu ke ruang rindu. Jingga yang menepiskanmu menjadi hal yang begitu langka. Kamu dan jingga adalah hal yang saling mensubtitusi dalam ranahku.
Hay, kamu, suatu saat aku perlu mencuri – curi waktu untuk dapat melihatmu tersenyum dan menertawakan hal konyol bersama. Suatu saat aku yang akan merasakan begitu langkanya waktu bersamamu.
J
No comments
Seperti biasa saya melajukan kendaraan roda dua saya di atas jalanan aspal sore. Lelah menyertai dengan setia. Entah mengapa saya merasa lelah adalah teman paling setia, Ia akan menjauh saat saya terbangun dari tidur di pagi hari. Di atas jalanan aspal kota ini lah saya kerap merenung. Memikirkan hal yang tiba-tiba saja datang. Kali ini saya merenungi tentang betapa Tuhan selalu ada di dekat saya.
Setengah jam dalam perjalanan saya pulang dari kampus sore itu penuh dengan perenungan saya akan Tuhan yang ternyata kerap saya lupakan. Tuhan. Ya. Sosok yang begitu Agung. Yang begitu berharga. Apa jadinya jika saya tak punya Tuhan? Apa jadinya jika Tuhan membuang saya? Saat saya kehilangan harta, teman, atau pun keluarga, mungkin saya masih tetap bisa hidup dengan menghela nafas. Tapi, bagaimana jika Tuhan yang meninggalkan saya?
Tuhan. Saya menyebutnya lagi. Entah sudah berapa juta atau bahkan miliyar kali saya mengucapkan sosok itu. ‘Tuhan’. Entah itu terucap dari mulut saya secara sadar. Atau saat saya merasa ‘kepepet’. Mungkin saja terucap di dalam hati saya saat saya tengah ‘bengong’. Pengucapan ‘Tuhan’ bagi saya tak dapat terduga.
Dalam perjalanan sore saya itu, saya kembali menyadari, Tuhan telah banyak memberi saya. Saya diberi nyawa dan hidup. Diberi udara untuk bernafas tanpa saya harus membayar. Saya diberi kemampuan untuk bertahan hidup, walau dalam keadaan itu saya sendiri merasa saya tak dapat hidup. Saya diberi hati, akal, dan fikiran. Saya dapat merasakan banyak hal. Saya diberi dua mata untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Saya diberi telinga untuk mendengar kemerduan dunia. Saya diberi tangan untuk dapat menyentuh sekitar saya. Tapi mengapa saya selalu merasa saya ini ‘tak punya apa-apa’? Ini kah rasa kurang bersyukur saya?
Saya diberi kebahagiaan, tapi saya kerap merasa saya tidak bahagia. Saya diberi kemampuan untuk terus bangkit, tapi saya selalu merasa terpuruk. Saya diberi berkah, tapi saya selalu merasa kosong.
Saya lalu berfikir, bagaimana jika Tuhan saya marah? Bagaimana jika Tuhan ‘ngambek’ pada saya? Lalu Tuhan enggan memberikan secuil pun nikmat-Nya kepada saya. Sudah diberi nikmat saja saya masih sering merasa tak punya apa-apa. Apa jadinya jika Tuhan tak memberikan sedikit pun nikmat-Nya?
Di sepanjang perjalanan saya seharusnya dapat lebih bersyukur. Untuk bepergian saya memiliki kendaraan. Dompet saya cukup untuk mengisi tangki bensin kendaraan saya. Saya tak perlu berpanas-panas untuk mengisi dompet saya, setidaknya untuk saat ini. Tapi sering hal-hal kecil tersebut tidak saya sadari untuk disyukuri. Apa rasanya jika saya harus berpanas-panas di bawah terik matahari dan bertelanjang kaki di atas aspal keras yang bisa saja mematangkan telur? Apa jadinya saat saya tak dapat lagi memikirkan bagaimana melindungi kulit dari sengatan matahari dan dari asap kendaraan di jalanan? Bagaimana jika dulu, sewaktu kecil, ibu saya tidak bisa membuatkan makanan untuk makan saya sehari-hari? Bagaimana jika sewaktu saya berumur empat tahun saya harus merasakan sengatan matahari yang begitu dahsyat dan harus merelakan kaki saya setengah dilepuhkan oleh panasnya aspal? Saya harus menengadahkan tangan saya kepada para pengendara kendaraan atau saya harus menyanyikan lagu dengan alakadarnya. Saya harus memasang muka se-memelas mungkin agar kepingan rupiah jatuh pada telapak tangan saya yang lemah. Saya tak akan pernah merasakan bagimana harus belajar mengeja satu per satu huruf abjad dan mengenali angka-angka. Fikiran saya pun tidak akan sampai ngelu hanya untuk memikirkan soal matematika. Saya juga tak akan menangis saat saya begitu kesulitan menghafalkan materi ilmu pengetahuan sosial. Saat saya mulai berusia limabelas tahun, saya juga tak akan mengerutkan kening dan menyipitkan mata untuk belajar melihat makhluk-makhluk mikro dari mikroskop. Saya juga tak harus menghafal unsur-unsur kimia dan bilangan atomnya. Sekelumit waktu saya juga tak akan saya habiskan di laboraturium sekolah hanya untuk mengukur berapa kali sebuah bandul bergerak dalam waktu semenit dan pekerjaan itu harus diulang minimal sampai tiga kali. Yang jelas, saat ini saya tidak akan memiliki kartu yang menyatakan saya adalah seorang mahasiswa dari sebuah universitas swasta.
Saya menghela nafas dalam dan panjang. Kedua mata saya dengan telanjang dapat melihat anak-anak kecil yang berjalan di atas aspal dengan muka memelas dan menengadahkan tangan mereka. Jujur, saya begitu miris. Bagaimana jika saya adalah dia? Bagaimana jika saat saya memiliki anak kelak, dia adalah anak saya? Hati saya ingin agar tangan saya merogoh kepingan uang di dalam tas dan meletakkannya di atas telapak tangan anak itu. Tapi, fikiran saya bertentangan dengan hati saya. Fikiran saya beralasan, semakin anak itu diberi kepingan uang maka, semakin lama ia akan menjalani hidupnya yang seperti sekarang ini. Atau bisa saja uang yang mereka terima itu bukan benar-benar untuk mereka, bisa saja mereka menengadahkan tangan mungil mereka demi menghidupi orang dewasa yang berotak bebal dan dengan tanpa berdosa memanfaatkan keluguan anak-anak kecil untuk mengumpulkan kepingan rupiah.
Perenungan lain saya tentang Tuhan adalah bagaimana jika saya mati.
Saya hidup. Kata ‘hidup’ berpasangan dengan kata ‘mati’. Dulu saya tiada dan suatu saat nanti saya akan kembali tiada. Saya rasa itu bukan hal besar. Itu hal wajar. Satu hal yang saya yakini akhir-akhir ini. Hidup adalah suatu energy. Dalam hukum kekelan energy, “energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energy hanya berubah bentuk”. Saya percaya itu. Saya tidak ada, lalu ada, dan akhirnya kembali tidak ada. Itu hanya lah konsep ‘keberadaan’ saya di dunia. Mungkin saja saya selalu ada. Atau mungkin saja, saya memang tidak pernah ada. Saya berasal dari tanah, lalu saya berubah menjadi manusia atas kuasa Tuhan saya. Suatu saat nanti, saya akan kembali berubah menjadi tanah. Saya hanya ‘berubah’ wujud. Saya tidak pergi. Saya tetap ada, dalam lingkungan bumi.
No comments
Aku tidak pernah tahu bagaimana mulanya. Semua mengalir seperti air, bagiku. Walau kamu tidak pernah suka dengan istilah itu. Kamu tahu, bagiku tidak lah penting istilah apa yang masing - masing kita gunakan. Itu hanya masalah kata dan tanda baca. Toh, seharusnya kita sama - sama mampu menerima istilah masing - masing walau berbeda. Kata kan saja 'ya' pada setiap perbedaan yang ada. Karena itu lah yang kekal. Kadang aku tidak perlu mengatakan apa yang sering kamu katakan. Karena bagiku yang terpenting bagaimana menyikapimu sebagaimana seharusnya kamu. Seperti jiwa dari apa yang kamu katakan. Sebenarnya yang aku butuhkan adalah keyakinan. Keyakinan akan kamu yang memang sanggup untuk aku dampingi. Kamu tahu memiliki hal yang sering kamu ucapkan itu secara sederhana dan ikhlas bukan lah hal yangg mudah. Tapi aku selalu berusaha untuk itu. Dan kamu, yang entah nantinya akan bagaimana. Aku selalu berdoa semoga selalu ada KITA
:)
No comments
Saya punya rencana. Untuk hari ini, besok, minggu depan, bulan depan, tiga bulan ke depan, setahun ke depan, bahkan sampai nanti saya tak mampu lagi menyusun rencana. Saya punya mimpi, tentang bagaimana saya menjalani hari – hari saya ke depan. Detik demi detiknya dan segalanya yang akan kaki saya langkahi. Saya yakin anda semua pun juga demikian.
Saya punya keinginan untuk hidup saya. Target rumah seperti apa yang akan saya miliki nanti. Rumah yang sederhana namun teduh dan begitu nyaman untuk menghabiskan waktu bersama orang – orang yang saya cintai. Dimana saya dapat membaca berlembar – lembar halaman buku di teras rumah ditemani secangkir teh atau kopi hangat atau hanya sekedar membincangkan aktivitas sehari tadi.
Saya juga punya target tahun berapa saya akan menyelesaikan studi saya. Tidak ingin saya berlama – lama merasakan kehidupan sebagai mahasiswa di kampus. Rasa jengah yang membuat saya semakin mengukuhkan target saya tersebut di dalam benak saya.
Dulu saya tidak pernah membayangkan apa yang tengah saya jalani saat ini. Tidak sedikit pun dalam benak saya mengenal dan mempelajari bidang akuntansi. Tidak sedikitpun berkelebat di benak saya, menjalani hari – hari saya yang begitu jarang berada di rumah. Juga tidak pernah terlintas sedetik pun dalam fikiran saya mengenal semua orang yang ada dalam hidup saya saat ini.
Anda tahu bagaimana rasanya terbiasa dengan ritme yang telah saya jalani selama Sembilan bulan ini, lalu tiba – tiba saya harus memulai ritme saya yang baru. Rasanya seperti mengganti makanan pokok saya, dari beras menjadi jagung. Rasanya seperti mengganti air putih sehabis bangun tidur di pagi hari dengan air jeruk yang masam.
We never know what will the future brings.
Masa depan adalah hal yang paling tak pernah tertebak.
Saya tidak pernah tahu bagaimana akhirnya keinginan, target, dan mimpi saya. Saya tidak akan pernah tahu apa kah semua itu akan berjalan dengan lancer dan baik – baik saja atau menemui hambatan yang tak terduga. Yang saya tahu, apa yang saya jalani adalah apa yang telah saya pilih. Hidup saya, apa yang menjadi ritme saya, dan kamu. Yang saya yakini adalah saya pasti dapat melalui apa yang tengah saya jalani. Tuhan selalu baik. Saya percaya itu.
Sementara kamu. Kamu yang di sana dengan segala sabar yang saya tahu. Kamu yang dengan segala upaya untuk berubah, yang saya tahu. Terimakasih. Saya bahagia J
No comments
No comments
No comments
No comments
Dulu saya menyebut dan menganggapnya rumah. Tempat saya berteduh dan melepas lelah sejenak. Tempat dimana saya tidak lagi merasa hampa dan dimana saya mendapat kehangatan. Di sana saya menemui tawa. Lepas namun bermakna. Kalian tahu? Saya bahagia. Bahagia seperti seorang anak kecil yang diajak bermain layang – layang oleh si kakak.
Dulu saya menyebut dan merasanya ranjang. Dimana saya dapat membinasakan kantuk yang menggelantung. Dimana saya dapat merasakan betapa segarnya setelah bangun tidur. Kalian tahu? Saya merasa begitu nyaman. bahkan tanpa selimut hangat maupun bantal dan guling.
Dulu saya menyebutnya kotak kebahagiaan. Kecil namun berkesan. Kotak itu memang Nampak kecil dari luar. Namun, saat kalian melongok ke dalamnya. Sungguh, begitu luas. Saya dapat menata semua buku – buku favorit saya, saya dapat memajang lukisan – lukisan masa kecil saya, dan saya dapat meletakkan boneka – boneka kesayangan saya. Kotak itu memuat banyak pelajaran. Pelajaran menghargai, menyayangi, menerima, dan memaafkan. Saya menyayangi kotak itu. Sungguh. Lebih dari yang anda tahu.
Dulu saya mau menghabiskan seharian waktu hingga larut malam di sana. Bercerita lalu menertawakan. Saya pun belajar untuk berani. Berani pada malam. Malam tidak lagi menakutkan. Saya tidak lagi takut malam dan jalanannya. Ya. saya berani J
Sekarang, saya merasa semuanya hilang. Perlahan tapi terus berjalan. Saya tidak tahu bagaimana menghentikan kehilangan ini. Kalian bilang, “senyum”. Saya sudah tersenyum, bahkan juga tertawa. Tapi kehilangan yang perlahan itu belum juga berhenti.
Sungguh, saya merindukan rumah saya, ranjang saya, dan kotak kecil saya. Saya merindukan kebahagiaan seorang anak kecil yang diajak bermain layang – layang oleh si kakak. Saya merindukan alunan cerita yang terlantun hingga larut malam, juga ledakan tawa hingga mata berair. Hey, dimana kalian semua?
No comments
Dalam hati aku berkata, “Ini Tuhanku”.
Lalu aku bertanya, “Ada berapa Tuhan?”
Aku lalu berfikir dan bagiku, “hanya ada satu Tuhan. Tuhan itu Esa”.
Ya. Tuhan itu satu. Bukan dua, tiga, atau lima.
Lalu mengapa kami menyebut Tuhan dengan berbagai nama dan menyembah – Nya dengan berbagai cara?
Itu keyakinan. Ya. keyakinan. Aku meyakini dengan caraku, dengan lafal yang kerap kuucap. Mereka pun begitu. Aku tidak menyalahkan mereka yang berbeda dariku. Entah sesungguhnya aku salah atau tidak?
Bukan kah Tuhan sudah membentangkan banyak jalan dan cara? Lalu kita manusia dipersilahkan memilihnya. Tuhan tidak pernah memaksa, bukan? Jika Tuhan memaksa, maka jadi lah kami ini berpegang pada keyakinan yang sama. Jadi lah kami menyebut Tuhan dengan satu nama, jadi lah kami ini menyembah Tuhan dengan satu cara.
Tuhan itu sempurna. Ia indah. Ia mengesankan.
Dengan sempurna Tuhan menciptakan awal kehidupan sampai akhir kehidupan. Dengan sempurna Tuhan mengadakan aku di tengah keluarga yang menjadi tempatku hidup dan aku berharap suatu saat menghidupi. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan KALIAN. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan rasa saling membutuhkan diantara kami. Satu sama lain. Dengan sempurna Tuhan menjauhkan hampa saat kami bertemu. Dengan sempurna Tuhan menghadirkan rasa rindu untuk nantinya bahagia saat bertemu.
Tuhan itu sempurna. Ia menciptakan manusia yang berasal dari tanah. Adakah dari kita yang mampu menjadikan segenggam tanah itu menjadi hidup, bergerak, bernafas, memiliki rasa, menyayangi, mencintai, merindukan, membenci, dan saling memaafkan?
Jika Tuhan sempurna, mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia secara sempurna?
Jika Tuhan menciptakan manusia secara sempurna, maka tidak akan ada yang namanya persahabatan. Tidak akan ada yang namanya saling menolong dan membutuhkan. Tidak akan ada yang namanya saling mengasihi, mencintai, dan menjaga. Jika manusia sempurna, maka manusia akan hidup sendiri – sendiri. Tidak akan pernah ada yang namanya rasa hampa dan merindukan manusia yang lain.
Bagiku Tuhan tetap lah sempurna. Bagimu? Itu pilihanmu untuk mendefinisikan Tuhan. Dan setiap pilihan berhak untuk dihargai, bukan? :)
No comments
Dear, Senja dan Jingga.
Hay, apa kabar kalian? Tahu kah aku selalu merindukan kalian?
Ya. aku teramat merindukan kalian. Di setiap pagi, siang, dan malam. Bahkan, kala sore datang tak jarang aku juga merindukan kalian. Rasanya begitu lama aku tak bercengkerama dengan kalian. Rasanya lama sekali aku tak tertawa dan menatap keindahan kalian. Kalian. Ya. kalian.
Kalian tahu? Malam kerap mencoba mengobati rinduku terhadap kalian. Kerap ia menampilakn bintang yang begitu bertabur dan bulan yang entah itu sedang sabit, separuh, atau penuh. Ia juga kerap menghadirkan belaian anginnya yang sejuk. Tapi, tahukan kalian, itu semua tidak akan mampu mengobati rinduku terhadap kalian.
Tahu kah juga kalian, bahwa siang juga kerap mencoba menghapuskan rinduku pada kalian. Ia kerap menjadi teduh kala aku menyapa jalanan. Tak jarang pula ia berbaik hati mengundang gerimis lembut yang cantik. Tapi tetap saja kerinduan akan kalian tidak pernah dapat terobati.
Masih dapat aku membayangkan angin sore lembut yang menyapa wajahku saat aku menapaki trotoar kota. ya. saat aku menyapa kalian. Aku banyak bercerita pada kalian. Tentang semua lelah, harapan, kebahagiaan, keputus asaan, dan segalanya. Dan aku suka saat kalian tersenyum. Entah tersenyum karena kekanak – kanakanku, atau tersenyum meneduhkan gelisah jika ia tengah menari dalam diriku.
Kalian tahu? Aku benar – benar merindukan aroma tanah di halaman rumah yang baru saja disiram oleh anak – anak si pemilik. Aku juga rindu dengan suara rewel anak – anak yang disuapi makan sore oleh ibu mereka. Dan itu semua tidak pernah dapat dihadirkan oleh malam atau pun siang.
Hay, senja dan jingga…
Suatu hari nanti, aku berjanji menyapa kalian lagi dengan waktu yang benar – benar lapang. Aku akan bercerita lagi kepada kalian tentang banyak hal seperti biasanya. Aku akan tertawa saat kalian hadir. Dan aku akan melambaikan tangan saat kalian berpamitan pergi.
Sejuta rindu untuk kalian, senja dan jingga J